Kamis, November 12, 2009

Pesta Terakhir Menuju Surga



Wajah-wajah mumi itu memandang melotot tanpa bola mata, abadi untuk menceritakan silsilah.

NAMA tempat itu Tana Toraja seperti nama sebuah kerajaan. Tak heran kebanyakan orang mengartikannya sebagai tanah bagi para raja. Secara harafiah pengartian itu mungkin sudah tepat. Tapi anda akan keliru bila tak mencari maksud sebenarnya, Tana Toraja adalah sebuah negeri di bagian atas, negeri yang menyerupai matahari. Bulat, indah, tapi tak panas.

Pekan lalu, saya naik kendaraan umum selama delapan jam dari Makassar menuju Tana Toraja. Pemandangan sepanjang jalan ternyata cantik sekali, hamparan sawah tersusun seperti anak tangga mengikuti kontur tanah perbukitan. Sementara di atas langitnya burung elang terbang mengitari bukit dengan bebas, sesekali gagak mengganggunya hingga terdengar lengkingan.


Negeri itu adalah salah satu bagian dari 24 kabupaten di wilayah Sulawesi Selatan, sekitar 500 km dari pusat ibukota provinsi. Penduduknya ramah dengan tonjolan rahang khas, rumah-rumah panggung, alam yang indah, ternak-ternak berseliweran, minuman tradisional dari sari nira, dan makanan khas yang dinamakan pa'piong - daging babi bakar yang dimasukkan dalam bambu. Orang-orang yang senang melahap makanan itu selalu mengatakan; rasanya marasa' - ciamik atau nendang banget.

Di Toraja tradisi leluhur terus terjaga; pesta kematian, kehidupan, memasuki rumah baru, hingga pengawetan jenazah. Kalau sekali pesta minimal menghabiskan uang Rp500 juta. Perbandingannya untuk seekor kerbau pilihan yaitu saleko harganya mencapai Rp120 juta, untuk jenis bonga Rp50 juta, dan kerbau biasa Rp7 juta. Biasanya sekali pesta ada ratusan kerbau yang terpotong dan babi. Tak salah pada tahun 2007 pemerintah kabupaten menulis tag line, “jangan mati sebelum mengunjungi Toraja.”

Sejarah Toraja seperti romansa tentang alam dan pesta. Selama berabad-abad, orang Toraja mengupayakan rejeki tambahan, mengumpulkan uang hingga berjuta-juta rupiah lalu dihabiskan hanya untuk pesta. Kematian dan kehidupan, suka dan duka, semua harus meriah.

Untuk kematian di Toraja tradisi itu di lakukan dengan memasukkan jenazah ke dalam sebuah peti, sebelum disemayamkan dalam patane' – sebuah bangunan kecil untuk rumah jenazah, bisa dari liang batu atau bangunan tembok modern – dalam patane' itu dibentuk sebuah dudukan kecil untuk meletakkan peti jenazah.





Pada 29 Agustus 2009 ketika saya menjumpai mereka, matahari sudah setinggi tombak. Sengatannya cukup perih, hanya butuh waktu beberapa menit untuk membuat warna kulit anda berubah. Para keluarga jenazah, satu persatu mengeluarkan jenazah dalam patane'. Membuka peti secara perlahan, membersihkan, kemudian membiarkan jenazah hingga disengat matahari. Hari yang cerah; ini baik untuk menjemur jenazah agar cepat kering.

Setelah kain pembungkus mumi-mumi itu terbuka lebar, beberapa keluarga mendekat. Mereka menangis, sesenggukan dan berurai air mata. Jika jenazah itu adalah seorang ibu, mereka memangilnya dengan kata indo, bila bapak adalah ambe. “Indo kilalai kan dikka, oh indo (Ibu ingat kami, oh ibu).”
“Ambe, oh ambe...matetonganmi dikka. Jagaikan ambe... (Bapak, oh bapak..sudah meninggal kasihan. Tolong jaga kami..).”


Mumi yang terbaring itu tak peduli, tubuhnya sudah berdebu, usang dan jelek. Jenazah-jenazah itu memakai pakaian kesenangan mereka sewaktu hidup. Jas kulit, celana kain yang mantap, dan beberapa kebiasaan mereka; memakan sirih, mengisap rokok, dan beberapa lembar uang untuk menyertai mereka ke puya. “Uang, rokok, dan pakaian untuk bekal ke puya – surga atau alam setelah meninggal – kami harap mereka menggunakannya agar mereka tak kekurangan apa-apa di sana.”

Salah seorang tokoh adat desa itu, Yunus Lumbaa' terlihat sibuk membuka satu-satu peti jenazah keluarganya. Kain sarungnya menggantung di pundak. Dalam patane' keluarganya berkumpul puluhan jenazah. Mumi-mumi yang kering dan misterius. Rahang mereka terbuka lebar seperti menahan sakit dan menderita, gigi yang kokoh, cabikan-cabikan kulit yang melekat seperti plastik, dan mata-mata yang melotot tanpa bola mata. Orang-orang ini kebanyakan bertubuh pendek, dari tinggi rata-rata manusia Indonesia 168 cm.

Pengawetan jenazah di Toraja adalah sesuatu yang amat fenomenal, meskipun di beberapa daerah Indonesia memiliki adat seperti itu, tapi Toraja lebih dominan dan sudah lebih dulu dikenal. Di Toraja ini, hubungan antara orang hidup dan orang mati adalah sakral dan sangat erat. Mereka tahu, semakin tua dunia kehidupan modern semakin mengungkung adat. Tapi sebagian dari mereka bila mati tetap ingin di awetkan; kami ingin anak cucu kami melihat dan mengenang leluhurnya, seperti apa yang kami lakukan saat ini.

“Saya juga sudah berpesan sama keluarga, kalau meninggal jangan itu saya di suntik formalin tapi biar pake ramuan saja. Kalau pake bahan kimia ini jazad cepat hancur, saya tidak mau itu,” kata Yunus Lumbaa', yang sekarang berusia 53 tahun.

Negeri atas atau saudara dari atas atau Tana Toraja memang sudah ditakdirkan menjadi sebuah wilayah yang sarat dengan adat istiadat memukau. Luasnya sekitar 3.205,77 km persegi dan sebagian besar daerahnya adalah pegunungan. Populasi penduduknya diperkirakan 600.000 jiwa.

Di Toraja semakin anda memasuki pedalaman semakin eksotis fenomena yang dapat dijumpai. Buktinya, dibelahan dunia manapun bila menyaksikan pegunungan maka yang ada terhampar adalah hutan, pohon-pohon tinggi, besar dan lebat. Tapi di Toraja semua berbeda, pegunungan adalah lahan pertanian. Bukan sawah tadah hujan seperti di daerah pegunungan lain, tapi sawah reguler yang setiap saat bisa dialiri air dari pegunungan.

Mumi-mumi tertua terdapat di liang batu atau tebing yang dipahat. Usianya bisa mencapai rausan tahun. Berabad-abad sebelumnya ketika praktik pengawetan jenazah ini dimulai tak ada yang tahu persis kenapa dan kapan diawalinya. Yang jelas, sebelum agama kristen memasuki Tana Toraja pertama kali sekitar tahun 1913, orang Toraja memeluk kepercayaan aluk todolo atau kepercayaan kepada leluhur dan alam. Pada awalnya jenazah-jenazah itu dibaringkan dalam sebuah gua batu, kemudian diletakkan pada sebuah batu. Alhasil jenazah tersebut tak membusuk malah mengering.

Hingga suatu ketika pengawetan jenazah dilakukan dengan menggunakan ramuan. Seperti daun vinus, minyak tanah, batang tille – tumbuhan yang menyerupai batang tebuh tapi lebih kecil dan tak dimakan – daun teh, dan garam. Bahan-bahan tersebut kemudian dicampurkan lalu dihaluskan dan tuangkan kedalam mulut jenazah. Lalu sisahnya dioleskan pada kulit. Tak hanya itu, mereka percaya kemampuan alam Toraja yang dingin membantu pengawetan dan pengeringan jenazah yang baik.

Tapi, tidak semua jenazah mengering. Menurut beberapa penduduk, jenazah yang mengering dan yang berhasil menjadi mumi adalah para tokoh adat yang mempunyai pengaruh dan bisa jadi adalah orang baik semasa hidup. Atau mungkin adalah isyarat dari kehendak Tuhan untuk melindungi orang-orang tertentu.



Memasuki tahun 1990, pengawetan jenazah dilakukan lebih sederhana yaitu menyuntikkan bahan kimia atau lebih dikenal dengan nama formalin. Hasilnya puluhan jenazah tak se-awet leluhur mereka puluhan dan ratusan tahun lalu. Di salah satu patane', sebuah peti kecil dibuka. Bungkusan kecil yang usang dengan kain rombeng mirip kepompong dibuka. Seorang gadis kecil telentang 10 tahun. Selimut bermotif bunga kecil menutupi tubuhnya. Wajahnya sudah tak jelas nampak lagi, tak ada rambut. Tulang hidung kecil, jari kaki yang imut-imut. Dia meninggal tiga tahun lalu. Namun kondisi jenazahnya sudah tak keruan. Tulang-tulangnya sudah mulai hancur, ini adalah efek penggunaan bahan kimia. “Itu anakku. Meninggal sakit, tapi selalu seperti hidup,” kata seorang lelaki.

Di Toraja inilah kematian sungguh begitu dekat, selalu menghantui, dan seperti tak berjarak. Di tempat ini pula kematian menjadi sebuah tontonan. Puluhan hingga ratusan jenazah yang terpanggang matahari sepanjang jalan seperti pameran penuh misterius dan air mata.

Beberapa wartawan televisi merapatkan mata pada dudukan mata di kamera. Seorang tua diangkat berdiri, memakai jas hitam, celana putih kusam. Kulit mengering. Orang-orang di sekitar berseru, orang baik dan sabar akan abadi seperti itu. Yang lain berkata, “oe gagahnya.” yang lain pula, “oe dau pa'topi'i, tae na ditiro lindona (jangan pakekan topi, wajahnya tak tak kelihatan).”

Namanya Bapak Lambaa, meninggal usia 70 tahun. Tingginya sekitar 165 cm. Keluarganya menggulung celana dengan perlahan hingga lutut. Yang lain ikut mendandani Ambe Lambaa. Pakian usang yang dikenakannya bertahun-tahun sekarang ikut diganti. Kaos kaki, jas, celana luar dan dalam. Hingga rambut harus disisir.

Kini bapak Lambaa kembali menggunakan pakaian bersih. Perlahan-lahan ditidurkan kembali pada rumah petinya. Hanya tunggu berapa jam saja dia akan kembali sendiri, gelap dan senyap. Jadi, seperti inilah kematian – perbedaannya anda hanya akan melakukan apapun pada orang mati, memakaikannya pakaian, mempertontonkannya pada orang-orang meskipun, orang mati itu pada hidupnya tak suka. Anda bebas, sebab orang mati tak akan memprotes sedikit pun. “Kasi' menghadap kesana'i, masuk TV toh. Dari Trans 7, jadi kapan bisa di nonton, supaya keluarga di luar daerah bisa dihubungi,” kata seorang perempuan, sambil melambaikan tangan kirinya, yang kanan memegang pundak Bapak Lambaa.


BULULANGKAN ADALAH desa sunyi yang merakkak ke atas pegunungan, hingga memiliki pemandangan ke lereng-lereng bukit yang cantik. Desa dengan iklim yang sejuk, bila anda berbicara hawa panas dari dalam tubuh akan terlihat menyerupai asap kecil keluar dari balik mulut.

Rumah-rumah penduduk saling berjauhan. Sedangkan jalan penghubung ke kota masih cukup jelek, penuh batu kerikil dan berliku-liku. Jaraknya puluhan kilometer, dengan mengendarai sepeda motor akan butuh waktu sekitar 1 jam.

Di sini penduduk menggunakan kayu bakar untuk memasak. Ada juga yang sudah menggunakan kompor gas, tapi harga tabungnya cukup mahal, mencapai Rp120 .000 padahal harga seharusnya adalah Rp60.000. Sedangkan tabung gas dari program pemerintah untuk konversi minyak tanah belum menyentuh masyarakat pedalaman. “Tabung yang kecil itu, yang 3 kg. Di sini belum ada,” kata seorang penduduk.

Yunus Lumbaa' terlihat sibuk malam itu. Saya bermalam di rumahnya. Rumah yang cantik dengan ruang tamu yang luas. Ukiran-ukiran kayu yang penuh makna. “Ini adalah indo, kalau itu ambe,” katanya sambil menunjuk sebuah lumbung di depan rumah. Orang Toraja menyebut rumah adalah ibu dan lumbung adalah bapak, alasannya sederhana rumah tempat istirahat dan saling menjaga seperti fungsi seorang ibu, sedangkan lumbung tempat persiapan makanan, seperti fungsi bapak yang mencari nafkah.

Yunus Lumbaa' tak tenang duduk malam itu bersama saya, hanya sekitar 5 menit. Ada beberapa persoalan kampung yang harus diselesaikannya. Menurutnya, semua ada hubungannya dengan ritual ma'nene. Ma'nene atau ma'tanang bunga adalah ritual untuk menziarahi kembali orang yang sudah mati. Tahun ini, ma'nene dilakukan pada akhir Agustus.

Diawali pada 27 Agustus semua keluarga adat Bululangkan kecamatan Rinding Allo Kabupaten Tana Toraja membuka semua pintu patane'. Pada 28 dan 29 Augstus jenazah dikeluarkan dan dijemur hingga memakiakan kembali pakaian. Pada 30 Agustus keluarga memasukkan kembali jenazah ke patane'. Dan 31 Agustus patane' ditutup dan keluarga tak dapat mengunjungi lagi, kecuali ada anggota keluarga yang akan dimakamkan dalam salah satu patane'. Pada hari terakhir ini pula, diadakan pertemuan disuatu lapangan adat dinamakan rante' untuk mengadakan pesta syukuran sebagai penutup ritual ma'nene.

Pada saat ini, semua keluarga dan penduduk melakukan aktivitas seperti sediakala. Tak diperkenankan memikirkan kembali kematian, hingga ritual ma'nene diadakan tiga hingga lima tahun mendatang. “Sebenarnya ma'nene itu diadakan 3 tahun sekali tapi bisa juga sesuai ketentuan adat untuk menyesuaikan keuangan masyarakat lainnya. Karena biaya ma'nene ini cukup besar,” kata Yunus.

Sejumlah mumi kembali tertidur dalam peti-peti mereka yang rumit. Yang berbentuk bulat seperti batang pohon menunjukkan kemampuan keuangan keluarga. Hanya orang kaya yang mampu melakukannya membuat ukiran disisi peti, dengan pesta dan pembuatan tongkonan untuk menandu jenazah bisa mencapai Rp2 miliar. Sedangkan untuk peti mati yang berbentuk kotak hanya menghabiskan biaya puluhan juta rupiah. Saya jadi berfikir, ketika Michael Jackson meninggal, jauh di bagian dunia sana peti yang digunakan hanya berbentuk kotak, terpisah dari apapun bahannya bila bentuknya masih kotak dan tidak bulat berarti strata sosial keluarga masih rendah.

SEKARANG saya tak akan pernah berhenti berfikir apa arti mayat-mayat itu untuk mereka. Bila anda mengunjungi Toraja cobalah bertanya pada penduduk, apakah mereka menyimpan jenazah keluarganya di dalam rumah? Atau kapan memakamkannya, atau sudah berapa tahun jenazah itu dalam rumah? Biasanya mereka mengumpulkan uang dulu untuk pesta kematian, makanya ada beberapa penduduk yang masih menyimpan jenazah keluarga dalam rumah, dibaringkan di atas ranjang seperti bagian dari keluarga yang masih hidup dan hanya tertidur pulas dalam kamar.

3 komentar:

  1. Catatan seorang "antropolog" dari sumber original. Sangat memukau.

    Mohon ijin untuk posting di blog Torajacybernews


    salam blogger

    BalasHapus
  2. wowwww sangat senang membacah tulisan anda tentang toraja,jadi sangat kangen dengan Toraja dan ingin mendalami tentang adat istiadatnya....saya tidak pernah menyangka..... bahwa TANATORAJA tanah yang penuh dengan mistery..

    BalasHapus
  3. Cerita yang sangat menarik.

    BalasHapus