Kamis, Juni 14, 2012

Menunggu Kisah Ikan Purba

Danau Matano, di Kawasan Pontada Sorowako. 
Saban sore, apa lagi di akhir pekan pesisir danau Matano selalu saja ramai. Ada rombongan anak muda, ada rombongan keluarga, semua bergembira dan berenang bersama. Di dalam air ikut pula, ikan Opudi dan Luohan melenggok mengikuti gelombang, lembut sekali. Dan pada kedalaman tertentu, ada ikan Butini.

Opudi dan Butini adalah ikan purba endemik yang hidup di danau Matano. Opudi bentuknya lucu, kecil, punya beberapa varian. Ada yang siripnya putih, ada juga yang siripnya kuning. Sementara Butini lebih gelap, punya mulut yang lebar, gigi dan rahang yang kuat. Siripnya juga lebar-lebar.

Pada Oktober 2011, ketika memutuskan untuk tinggal sementara di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, pesisir danau Matano, melihat Upudi dan Butini merupakan pengalaman mengesankan.

Di kawasan Pontada, tempat akhir pekan pesisir Matano, saya berenang dekat sekali dengan Opudi. Kadang-kadang saya berusaha mengikuti gerakannya. Masuk ke sela-sela tiang balok, berada di bawah papan lompat, lalu meliuk menjauh.

Tapi bagi pengunjung yang tidak bisa berenang, mereka bisa dengan mudah mengamati Opudi dari atas dermaga. Kejernihan air Matano membuat semua makin mudah. Peter E Hehanusa, Ahli Limnologi LIPI, pada tahun 2005 pernah mencatat bila tingkat kejernihan air di Matano, mencapai jarak pandang hingga 25 meter.

Sementara untuk melihat Butini dibutuhkan ketekunan, harus menyelam, karena berada di kedalaman tertentu. Butini senang merayap di dasar danau.

Selain Matano ada empat danau lainnya yang tergabung kompleks danau Malili. Tapi posisi Matano dengan empat danau lainnya lebih tinggi, hingga menjadi hulu aliran, untuk danau Mahalona, Masapi, Wawantoa, dan Towuti. Matano memiliki luas 16.408 hektar dan kedalaman hingga 594 meter.  Dia menjadi danau kedelapan terdalam di dunia, dan terdalam di Asia Tenggara.

Keunikan lain Matano dari sisi proses pembentukannya sebanding dengan keberadaan Laut Mati di Jordania, yakni lebih rendah dari permukaan laut. Dan hal ini menjadi gejala alam yang paling langka di dunia. 

Warta Limnologi yang diterbitkan LIPI tahun 2009, juga mencatat bila kompleks danau Malili adalah bagian dari danau purba. Terbentuk lebih dari 1 juta tahun yang lalu dan hanya berjumlah 10 buah di seluruh dunia dan termasuk Matano, Mahalona dan Towuti.

Ketika saya berenang dan menikmati kehangatan permukaan air Matano, tiba-tiba saya membayangkan bergerak bersama binatang-binatang purba, seperti Dinosaurus. Tapi semua tiba-tiba buyar ketika meihat ikan Louhan yang mengermuni kaki saya saat menuju pesisir dan berdiri tegak.

Louhan-louhan itu, seperti hendak memangsa jari-jari. Dia bahkan berani menukik ke sela-sela jari untuk sekedar menyambut makanan. Louhan itu bahkan ada yang seukuran telapak tangan saya.

Awalnya saya sangat tertarik melihatnya. Lalu dengan bantuan kantong plastik biskuit, saya berhasil menangkap satu ekor. “Iya benar ini Louhan beneran,” kata salah seorang kawan yang mulanya merasa tidak yakin.

Louhan bukanlah ikan lokal atau endemik di perut Matano. Louhan adalah ikan luar yang masuk ke perut danau, entah darimana asalnya. Ikan ini mulai ditemukan dalam kumpulan antara tahun 2000 dan 2007. Ikan ini diperkirakan lepas ke danau secara tidak sengaja oleh pemelihara Louhan. Dan sekarang jumlahnya sudah tak dapat lagi dibatasi.

Beberapa catatan menuliskan bila habitat asli Louhan ada di Malaysia dan Thailand. Namun karena keunikan dan kecantikannya, akhirnya ikan ini menyebar kemana-mana untuk menjadi ikan hias di akuarium.

Tapi di Matano, Louhan yang hidup tidak memiliki warna yang memikat, putih dan dan sedikit hitam. Jika saja bagian kepala dan motif sisiknya mempunya ciri khas, maka Louahan ini tak ubahnya seperti biasa. Seorang pencinta olah raga Kayak Sorowako, mengatakan pada saya bila Louhan itu sekarang memenuhi pesisir Matano. Louhan itu beranak pinak disela-sela batuan dengan ratusan penetasan telur setiap musimnya.

Ikan purba Butini, endemik danau Matano.
Foto oleh: Doni Setiadi.
Dan sialnya, Louhan itu, malah memangsa  telur-telur ikan Opudi dan Butini.

Mendengarnya, saya tiba-tiba menjadi miris. Sekarang apa gunanya, membicarakan bila di Matano kelak tak ada lagi Opudi dan Butini. Apakah akan membanggakan Louhan? “Cobalah ber-snorkeling di sepanjang pesisir itu, maka yang ada itu Louhan, Louhan, dan Louhan,” katanya melanjutkan.

Tidak hanya Louhan, ada pula ikan Nila dan Sapu-sapu. Ikan Nila bahkan tak kalah banyak dengan gerombolan Louhan. Sementara Sapu-sapu sudah menjadi monster. Beberapa pemancing di dermaga penyeberangan, sering kali memancing dan mendapatkan Sapu-sapu hingga seukuran betis orang dewasa.

Saya jadi ingat salah satu artikel VOA Indonesia tentang serbuan ikan luar yang juga sedang mengancam Sungai Missisipi, sebelah tenggara Minnesota, Amerika. Dalam laporan AS Nyatakan ‘Perang’ terhadap Ikan Gurami, Peter Sorensen salah seorang peneliti dari Universitas Minnesota menyatakan, bila Gurami-gurami itu sangat kuat makan dan berlomba dengan ikan-ikan setempat. Maka dinyatakanlah perang terhadap sang Gurami Asia.

Mereka juga membawa masalah tersebut ke rapat Kongres agar melakukan upaya penutupan pintu air. Mereka khawatir Gurami itu nantinya akan pindah ke wilayah yang terkenal dengan Sepuluh Ribu Danau dan akan membinasakan ikan lokal. “Ikan-ikan itu adalah suatu ancaman yang memerlukan tindakan cepat dan tepat. Kami mencintai Minnesota dan ingin tetap terkenal sebagai Negara bagian Sepuluh Ribu Danau. Kami tidak ingin dikenal sebagai Negara bagian dengan 50.000 ikan Gurami,” papar Senator Klobuchar .

Tapi Amerika dan Indonesia berbeda. Di Indonesia, para peneliti dan perangkat pemerintah hingga anggota legislatif, tak pernah terdengar menyatakan perang. Atau melakukan dan merencanakan strategi untuk melindungi Matano. Padahal  tingkat ancaman sudah di depan mata dan telah terjadi.

LIPI dalam Warta Limnologi tahun 2009, bahkan mencatat dari 87 jenis ikan Indonesia yang terancam punah, 66 spesies (75 persen) diantaranya adalah ikan air tawar, dan sebagian besar yang akan punah adalah ikan endemik.

Dan sekali lagi, kita hanya bisa berharap, kelak Opudi dan Butini tidak mengalami nasib seperti Dinosaurus. Punah dan hanya menemukan jejak-jekanya. Atau kelak hanya bisa menyaksikan kisah dan ceritanya, melalui mulut-mulut masyarakat.

21 komentar:

  1. kemungkinan besar ada pihak2 yang sengaja menghilangkan keunikan danau matano yang mempunyai ikan purba/endemik butini

    BalasHapus
  2. Cerita yang menarik bertemakan lingkungan. Ternyata alam Indonesia Raya itu kaya dengan berneka ragam makhluk hidup. tapi sayang kita tak menjaganya. Aku baru tahu ada danau seperti itu di Indonesia Raya, apakah aku kurang membaca atau promosi pariwisata kita yang mengabaikan akses informasi. Aku saja orang Indonesia baru tahu, bagaimana dengan orang asing dari luar?

    BalasHapus
  3. Itulah beda pemerintah Amrik sama Indonesia....bgaimana pemerintah mw melindungi species danau, Masyrakat sj kayaknya merasa ndak punya pemerintah....
    Sy yakin beberapa masyrakat di pesisir danau matano jg berperan dalam masalah ini. Banyak dari mereka yg memelihara jenis ikan luar didalam keramba di lokasi danau tsb, kalo keramba tsb rusak ikan peliharaan pada lepas ke danau......

    BalasHapus
  4. butini mirip dengan ikan coko' di sungai suli

    BalasHapus
  5. pemerintah nanti di urus matano kalau tebal kappek - kappeknya.

    BalasHapus
  6. Terima kasih sudah mengunjungi bilik saya.

    Jufrizal: Semakin berjalan-jalan mengunjungi tanah Indonesia akan menemukan banyak hal.

    Eddie: Saya kira pendapat bung ada benarnya juga. Dan mengenai ikan masyarakat yang lepas itu benar. Tahun 2010, ada ribuan bibit ikan Nila dan Mas yang terlepas ke danau saat karamba nelayan dihantam badai..

    BalasHapus
  7. baca tulisan ini saya juga teringat berita di koran beberapa hari lalu. jadi ada dok kapal milik jepang yang terdampar di amerika. dok yg lepas saat tsunami setahun lalu. ada ikan, kepiting dan hewan lain dlm dok. hewan2 tersebut rencananya akan segera dibasmi, biar tidak berkembang biak.

    yg ada dalam kepala saya; aduh, kasian bgt ikannya. kuk dibasmi? apa takut membawa penyakit, atau gimana?

    di tulisan kak eko, stidaknya dapat pencerahan yah.. 'ada ekosistem yg harus dipertahankan.'

    BalasHapus
  8. Wah, di mana pun berada, cerita2nya selalu menakjubkan. Penuh kejutan, dan mengalir, melenakan.

    BalasHapus
  9. Selalu bagus dan selalu bikin iri untuk mengunjungi tepat tempat yang kamu ceritakan, Ko...

    Oh iya, coba diek apakah ikan louhan bisa dmakan oleh manusia, atau dijadikan pakan ternak apa, begitu... Kalau akhirnya dia diburu, ungkin bisa sedikit banyak mengontrol populasi ikan louhan di danau itu, dan tetap melestarikan ikan ikan asli danau ini.. :P

    BalasHapus
  10. Tulisan Eko, selalu menawan.. Seperti orangnya :-)

    Soroako jadi lebih indah setelah Eko di sana. Kami jadi banyak tahu..

    BalasHapus
  11. Tulisan yang menarik Eko. Banyak dari kita memang tidak adil memperlakukan lingkungan. Baru peduli kalau ada efek langsung terhadap kenyamanan atau eksistensi kita seperti masalah tomcat.

    Dimana pemerintah? Sebelumnya tidak adakah publikasi riset mengenai ini? Ah payah, kalau begini, sepertinya perlu menggunakan liputan tv baru masalah ini bisa benar-benar mendapat perhatian kita semua.

    BalasHapus
  12. Kak Akbar. Sebenarnya sudah ada beberapa peneletian tentang kondisi Matano, Mahalona, dan Towuti. Masalahnya hasil-hasil penelitian itu banyak terangkut ke luar negeri. Artinya yang menaruh perhatian lebih pada danau ini adalah orang asing.

    Tahun 1970-1980an LIPI juga melakukan penelitian, tapi nda tahu hasilnya bagaimana. Sulit sekali menjejaknya. Atau hanya ditumpuk di rak-rak mereka.

    Padahal pemilik Matano dalam masyarakat Sorowako, sangat memerlukan hasil itu. Setidaknya mereka juga harus kondisi sebenarnya di danau kebanggaannya.

    Liputan TV, mungkin saja benar. Harus diheboh-hebohkan ya...hehehe

    BalasHapus
  13. Menarik sekali narasinya bro... salam hangat

    BalasHapus
  14. Terima kasih Mul, sudah mengunjungi laman ini. Baru belajar menulis, semoga ada manfaat. Salam hangat pula...

    BalasHapus
  15. tulisan om eko bikin makin kenal Indonesia dan tentu saja makin cinta negeri dengan segala benang kusutnya..

    tulisan ini adalah langkah kecil untuk mengurai benang kusut itu. paling tidak, om eko telah membuka mata kita akan bahaya yang mengancam ekosistem yang ada di danau matano..

    teruslah menulis om.. kabarkan Indonesia..

    BalasHapus
  16. garambang saja kau ....
    male sau

    BalasHapus
  17. Mantap sekali. Pertanyaan mendasar: apakah louhan memangsa opudi?

    BalasHapus
  18. Buyung Maksum: Lohan juga memangsa Opudi saat masih jadi telur dan anakan.

    BalasHapus
  19. http://limnologi.lipi.go.id/danau/profil.php?id_danau=sul_mtno&tab=gambaran%20umum, ini ada profil tentang danau matano hasil dari penelitian Puslit Limnologi LIPI

    BalasHapus