Danau Matano, di Kawasan Pontada Sorowako. |
Saban sore, apa lagi di akhir pekan pesisir danau Matano
selalu saja ramai. Ada rombongan anak muda, ada rombongan keluarga, semua
bergembira dan berenang bersama. Di dalam air ikut pula, ikan Opudi dan Luohan
melenggok mengikuti gelombang, lembut sekali. Dan pada kedalaman tertentu, ada
ikan Butini.
Opudi dan Butini adalah ikan purba endemik yang hidup di
danau Matano. Opudi bentuknya lucu, kecil, punya beberapa varian. Ada yang
siripnya putih, ada juga yang siripnya kuning. Sementara Butini lebih gelap,
punya mulut yang lebar, gigi dan rahang yang kuat. Siripnya juga lebar-lebar.
Pada Oktober 2011, ketika memutuskan untuk tinggal sementara
di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, pesisir danau Matano,
melihat Upudi dan Butini merupakan pengalaman mengesankan.
Di kawasan Pontada, tempat akhir pekan pesisir Matano, saya
berenang dekat sekali dengan Opudi. Kadang-kadang saya berusaha mengikuti
gerakannya. Masuk ke sela-sela tiang balok, berada di bawah papan lompat, lalu
meliuk menjauh.
Tapi bagi pengunjung yang tidak bisa berenang, mereka bisa dengan
mudah mengamati Opudi dari atas dermaga. Kejernihan air Matano membuat semua makin
mudah. Peter E Hehanusa, Ahli Limnologi LIPI, pada tahun 2005 pernah mencatat
bila tingkat kejernihan air di Matano, mencapai jarak pandang hingga 25 meter.
Sementara untuk melihat Butini dibutuhkan ketekunan, harus
menyelam, karena berada di kedalaman tertentu. Butini senang merayap di dasar
danau.
Selain Matano ada empat danau lainnya yang tergabung kompleks
danau Malili. Tapi posisi Matano dengan empat danau lainnya lebih tinggi,
hingga menjadi hulu aliran, untuk danau Mahalona, Masapi, Wawantoa, dan Towuti. Matano memiliki luas 16.408 hektar dan kedalaman hingga 594 meter. Dia menjadi danau kedelapan terdalam di dunia,
dan terdalam di Asia Tenggara.
Keunikan lain Matano dari sisi proses pembentukannya sebanding dengan keberadaan Laut Mati di Jordania, yakni lebih rendah dari permukaan laut. Dan hal ini menjadi gejala alam yang paling langka di dunia.
Keunikan lain Matano dari sisi proses pembentukannya sebanding dengan keberadaan Laut Mati di Jordania, yakni lebih rendah dari permukaan laut. Dan hal ini menjadi gejala alam yang paling langka di dunia.
Warta Limnologi yang diterbitkan LIPI tahun 2009, juga mencatat bila kompleks danau Malili adalah bagian dari danau purba. Terbentuk lebih dari 1 juta tahun yang lalu dan hanya berjumlah 10 buah di seluruh dunia dan termasuk Matano, Mahalona dan Towuti.
Ketika saya berenang dan menikmati kehangatan permukaan air
Matano, tiba-tiba saya membayangkan bergerak bersama binatang-binatang purba,
seperti Dinosaurus. Tapi semua tiba-tiba buyar ketika meihat ikan Louhan yang
mengermuni kaki saya saat menuju pesisir dan berdiri tegak.
Louhan-louhan itu, seperti hendak memangsa jari-jari. Dia bahkan
berani menukik ke sela-sela jari untuk sekedar menyambut makanan. Louhan itu bahkan
ada yang seukuran telapak tangan saya.
Awalnya saya sangat tertarik melihatnya. Lalu dengan bantuan
kantong plastik biskuit, saya berhasil menangkap satu ekor. “Iya benar ini
Louhan beneran,” kata salah seorang kawan yang mulanya merasa tidak yakin.
Louhan bukanlah ikan lokal atau endemik di perut Matano. Louhan
adalah ikan luar yang masuk ke perut danau, entah darimana asalnya. Ikan ini
mulai ditemukan dalam kumpulan antara tahun 2000 dan 2007. Ikan ini
diperkirakan lepas ke danau secara tidak sengaja oleh pemelihara Louhan. Dan sekarang
jumlahnya sudah tak dapat lagi dibatasi.
Beberapa catatan menuliskan bila habitat asli Louhan ada di
Malaysia dan Thailand. Namun karena keunikan dan kecantikannya, akhirnya ikan
ini menyebar kemana-mana untuk menjadi ikan hias di akuarium.
Tapi di Matano, Louhan yang hidup tidak memiliki warna yang
memikat, putih dan dan sedikit hitam. Jika saja bagian kepala dan motif sisiknya
mempunya ciri khas, maka Louahan ini tak ubahnya seperti biasa. Seorang pencinta
olah raga Kayak Sorowako, mengatakan pada saya bila Louhan itu sekarang
memenuhi pesisir Matano. Louhan itu beranak pinak disela-sela batuan dengan
ratusan penetasan telur setiap musimnya.
Ikan purba Butini, endemik danau Matano. Foto oleh: Doni Setiadi. |
Mendengarnya, saya tiba-tiba menjadi miris. Sekarang apa
gunanya, membicarakan bila di Matano kelak tak ada lagi Opudi dan Butini.
Apakah akan membanggakan Louhan? “Cobalah ber-snorkeling di sepanjang pesisir itu, maka yang ada itu Louhan,
Louhan, dan Louhan,” katanya melanjutkan.
Tidak hanya Louhan, ada pula ikan Nila dan Sapu-sapu. Ikan Nila
bahkan tak kalah banyak dengan gerombolan Louhan. Sementara Sapu-sapu sudah
menjadi monster. Beberapa pemancing di dermaga penyeberangan, sering kali
memancing dan mendapatkan Sapu-sapu hingga seukuran betis orang dewasa.
Saya jadi ingat salah satu artikel VOA Indonesia tentang serbuan ikan luar yang juga sedang mengancam
Sungai Missisipi, sebelah tenggara Minnesota, Amerika. Dalam laporan AS Nyatakan ‘Perang’ terhadap Ikan Gurami,
Peter Sorensen salah seorang peneliti dari Universitas Minnesota menyatakan,
bila Gurami-gurami itu sangat kuat makan dan berlomba dengan ikan-ikan
setempat. Maka dinyatakanlah perang terhadap sang Gurami Asia.
Mereka juga membawa masalah tersebut ke rapat Kongres agar
melakukan upaya penutupan pintu air. Mereka khawatir Gurami itu nantinya akan
pindah ke wilayah yang terkenal dengan Sepuluh Ribu Danau dan akan membinasakan
ikan lokal. “Ikan-ikan itu adalah suatu ancaman yang memerlukan tindakan cepat
dan tepat. Kami mencintai Minnesota dan ingin tetap terkenal sebagai Negara bagian
Sepuluh Ribu Danau. Kami tidak ingin dikenal sebagai Negara bagian dengan
50.000 ikan Gurami,” papar Senator Klobuchar .
Tapi Amerika dan Indonesia berbeda. Di Indonesia, para
peneliti dan perangkat pemerintah hingga anggota legislatif, tak pernah
terdengar menyatakan perang. Atau melakukan dan merencanakan strategi untuk
melindungi Matano. Padahal tingkat ancaman
sudah di depan mata dan telah terjadi.
LIPI dalam Warta Limnologi tahun 2009, bahkan mencatat dari
87 jenis ikan Indonesia yang terancam punah, 66 spesies (75 persen) diantaranya
adalah ikan air tawar, dan sebagian besar yang akan punah adalah ikan endemik.
Dan sekali lagi, kita hanya bisa berharap, kelak Opudi dan
Butini tidak mengalami nasib seperti Dinosaurus. Punah dan hanya menemukan
jejak-jekanya. Atau kelak hanya bisa menyaksikan kisah dan ceritanya, melalui
mulut-mulut masyarakat.
kemungkinan besar ada pihak2 yang sengaja menghilangkan keunikan danau matano yang mempunyai ikan purba/endemik butini
BalasHapusCerita yang menarik bertemakan lingkungan. Ternyata alam Indonesia Raya itu kaya dengan berneka ragam makhluk hidup. tapi sayang kita tak menjaganya. Aku baru tahu ada danau seperti itu di Indonesia Raya, apakah aku kurang membaca atau promosi pariwisata kita yang mengabaikan akses informasi. Aku saja orang Indonesia baru tahu, bagaimana dengan orang asing dari luar?
BalasHapusItulah beda pemerintah Amrik sama Indonesia....bgaimana pemerintah mw melindungi species danau, Masyrakat sj kayaknya merasa ndak punya pemerintah....
BalasHapusSy yakin beberapa masyrakat di pesisir danau matano jg berperan dalam masalah ini. Banyak dari mereka yg memelihara jenis ikan luar didalam keramba di lokasi danau tsb, kalo keramba tsb rusak ikan peliharaan pada lepas ke danau......
butini mirip dengan ikan coko' di sungai suli
BalasHapuspemerintah nanti di urus matano kalau tebal kappek - kappeknya.
BalasHapusTerima kasih sudah mengunjungi bilik saya.
BalasHapusJufrizal: Semakin berjalan-jalan mengunjungi tanah Indonesia akan menemukan banyak hal.
Eddie: Saya kira pendapat bung ada benarnya juga. Dan mengenai ikan masyarakat yang lepas itu benar. Tahun 2010, ada ribuan bibit ikan Nila dan Mas yang terlepas ke danau saat karamba nelayan dihantam badai..
baca tulisan ini saya juga teringat berita di koran beberapa hari lalu. jadi ada dok kapal milik jepang yang terdampar di amerika. dok yg lepas saat tsunami setahun lalu. ada ikan, kepiting dan hewan lain dlm dok. hewan2 tersebut rencananya akan segera dibasmi, biar tidak berkembang biak.
BalasHapusyg ada dalam kepala saya; aduh, kasian bgt ikannya. kuk dibasmi? apa takut membawa penyakit, atau gimana?
di tulisan kak eko, stidaknya dapat pencerahan yah.. 'ada ekosistem yg harus dipertahankan.'
Wah, di mana pun berada, cerita2nya selalu menakjubkan. Penuh kejutan, dan mengalir, melenakan.
BalasHapusSelalu bagus dan selalu bikin iri untuk mengunjungi tepat tempat yang kamu ceritakan, Ko...
BalasHapusOh iya, coba diek apakah ikan louhan bisa dmakan oleh manusia, atau dijadikan pakan ternak apa, begitu... Kalau akhirnya dia diburu, ungkin bisa sedikit banyak mengontrol populasi ikan louhan di danau itu, dan tetap melestarikan ikan ikan asli danau ini.. :P
Weh, masuk VOA pula. Sadap..
BalasHapusWeh, masuk VOA pula. Sadap..
BalasHapusTulisan Eko, selalu menawan.. Seperti orangnya :-)
BalasHapusSoroako jadi lebih indah setelah Eko di sana. Kami jadi banyak tahu..
Tulisan yang menarik Eko. Banyak dari kita memang tidak adil memperlakukan lingkungan. Baru peduli kalau ada efek langsung terhadap kenyamanan atau eksistensi kita seperti masalah tomcat.
BalasHapusDimana pemerintah? Sebelumnya tidak adakah publikasi riset mengenai ini? Ah payah, kalau begini, sepertinya perlu menggunakan liputan tv baru masalah ini bisa benar-benar mendapat perhatian kita semua.
Kak Akbar. Sebenarnya sudah ada beberapa peneletian tentang kondisi Matano, Mahalona, dan Towuti. Masalahnya hasil-hasil penelitian itu banyak terangkut ke luar negeri. Artinya yang menaruh perhatian lebih pada danau ini adalah orang asing.
BalasHapusTahun 1970-1980an LIPI juga melakukan penelitian, tapi nda tahu hasilnya bagaimana. Sulit sekali menjejaknya. Atau hanya ditumpuk di rak-rak mereka.
Padahal pemilik Matano dalam masyarakat Sorowako, sangat memerlukan hasil itu. Setidaknya mereka juga harus kondisi sebenarnya di danau kebanggaannya.
Liputan TV, mungkin saja benar. Harus diheboh-hebohkan ya...hehehe
Menarik sekali narasinya bro... salam hangat
BalasHapusTerima kasih Mul, sudah mengunjungi laman ini. Baru belajar menulis, semoga ada manfaat. Salam hangat pula...
BalasHapustulisan om eko bikin makin kenal Indonesia dan tentu saja makin cinta negeri dengan segala benang kusutnya..
BalasHapustulisan ini adalah langkah kecil untuk mengurai benang kusut itu. paling tidak, om eko telah membuka mata kita akan bahaya yang mengancam ekosistem yang ada di danau matano..
teruslah menulis om.. kabarkan Indonesia..
garambang saja kau ....
BalasHapusmale sau
Mantap sekali. Pertanyaan mendasar: apakah louhan memangsa opudi?
BalasHapusBuyung Maksum: Lohan juga memangsa Opudi saat masih jadi telur dan anakan.
BalasHapushttp://limnologi.lipi.go.id/danau/profil.php?id_danau=sul_mtno&tab=gambaran%20umum, ini ada profil tentang danau matano hasil dari penelitian Puslit Limnologi LIPI
BalasHapus