Selasa, April 10, 2012

Bapak Erang dan Pui-puinya

Bapak Erang saat melakukan demo di Sanggar Alam Benteng Somba Opu, Sabtu 7 April 2012.

Mudding Daeng Erang – akrabnya Bapak Erang, seoarng pendiam dan tidak banyak bicara. Penyendiri dan tak senang basa-basi. Bicaranya polos dan tak menyenangi akal-akalan apalagi kebohongan. Hidupnya lurus seperti kisahnya dalam mengabdikan diri didunia kesenian. Saya bertemu dengannya di Sanggar Alam Benteng Somba Opu, pada Sabtu 7 April 2012. 

Usia bapak Erang sudah lebih dari 60 tahun. Rambutnya memutih. Dia tinggal dan berumah di Kabupaten Takalar sekitar 20  km dari Makassar. Di Sanggar Alam Benteng Somba Opu, dia membantu kakaknya Serang Dakko menjalankan roda kesenian.

Serang Dakko bermain gendang, begitu pula Bapak Erang. Tapi kemampuan utama Bapak Erang adalah meniup Pui-pui. Alat musik yang suaranya seperti hendak memecahkan gendang telinga, nyaring, tapi terkadang lembut.  

Bentuk Pui-pui seperti terompet kecil. Lubangnya ada tujuh buah. Di pangkalnya diberi pembatas untuk bibir dengan satu buah lubang. Untuk meniupnya menggunakann daun lontar, dilipat kecil dan pipih. Bagi orang belum mahir menggunakan, akan sangat susah meniup dan menghasilkan nada. Pui-pui dibunyikan seperti seruling orang India dalam ritual memanggil ular.

Bapak Erang mampu membunyikan Pui-pui hingga tiga jam tanpa henti. Nafasnya kuat sekali. Kalau ditanya, bagaimana mengaturnya, “Itu ada tehniknya nak. Ada ditenggorokan itu,” katanya, seraya memegang bagian lehernya.

Pada Minggu 8 April 2012, Bapak Erang kurang enak badan. Hidungya seperti tersumbat dipenuhi oleh cairan ingus kental. Tapi dia harus melakukan pertunjukan untuk mengiringi para penari dalam pelepasan ekspedisi Ring of Fire Adventure.

Saat pertunjukan, suara Pui-pui yang ditiupkannya terdengar seperti biasa. Membuat merinding bulu-bulu. Permainannya tak memiliki beda, baik dalam keadaan kurang sehat maupun sehat. Sama saja. Setelah pertunjukan itu selesai kepalanya mulai terasa berat. Dia meminta tolong kepada Tika dan saya untuk membelikannya obat.

Tika sayang sekali dengan Bapak Erang. Dia memberi empati penuh padanya. Hampir apapun yang diminta Bapak Erang akan selalu diusahkannya. “Saya anggap Bapak Erang dan Bapak (Serang Dakko) seperti bapak sendiri,” katanya.

Tika adalah seorang murid menari di Sanggar Alam binaan Serang Dakko. Targetnya bukan untuk mentas melainkan belajar spiritual dalam kesenian tari. Dia banyak mendapat pencerahan dan kedewasaan berpikir dalam memahami gerakan dan hubungannya dengan kehidupan sehari-harinya. Dia belajar cara bersabar, konsisten dan patuh pada prinsip. Seperti gerakan tari Pakarena yang lembut dan tegas. “Belajar menari seperti belajar mengolah emosi,” katanya.

Bapak Erang, memerhatikan Tika saat mengatakan itu. “Dia lembut, tapi kalau marah bisa seperti dan melebihi laki-laki,” kata Bapak Erang membaca karakter Tika.

Serang Dakko memegang rokok memberikan pengarahan pada Bapak Erang beberapa menit sebelum pertunjukan di Karebosi untuk pelepasan ekspedisi Ring of Fire Adventure, Senin 9 April 2012.
DARAH kesenian Bapak Erang menular dari bapaknya Parancing, yang juga seniman kerajaan pada samannya. Parancing memainkan gendang yang turun ke Serang Dakko. Bapak Erang memainkan gendang tapi kalah piawai, namun meniup Pui-pui hampir dipastikan tak ada yang mengalahkan kepiwaiannya.

Pada pertengahan tahun 1980-an bersama kelompok kesenian Sanggar Ujung Pandang dia berkeliling Eropa selama sebulan. Menicicipi panggung-panggung teater. Di Prancis ketika, Pui-puinya membuawai ratusan telinga pengunjung, dia kehilangan keseimbangan dan membuatnya saraf matanya terganggu.

Tak butuh waktu berbulan-bulan, dihari setelah pertunjukan itu usai, kepalanya menjadi pusing dan penghilatannya terganggu. Mata sebelah kirinya mengalami kerusakan, seperti orang katarak. Penglihatannya tak berfungsi lagi. “Ya resiko itu nak,” katanya.

Meniup Pui-pui baginya saat ini seperti meniup melodi kehidupannya sendiri. Bersama Sanggar Alam bentukan kakaknya, dia berpindah dari hajatan-hajatan, mulai dari perkawinan, hingga sunatan. Kelompok ini memainkan keseniannya terus menerus untuk menjaga tradisi dan sekaligus penjaga asap asap dapur.

Di Sanggar Alam itu, beberapa anak-anak muda datang belajar alat musik tradisional Makassar. Mereka membayar upah jasa setiap bulannya Rp50 ribu – biaya yang sangat kecil, melihat peminat yang ada tiap tahunnya tak mencapai puluhan orang. “Tidak apa-apa. Saya senang kalau ada anak-anak mau belajar, jadi ada generasi,” kata Serang Dakko.

“Saya perhatikan, sudah ada beberapa anak muda yang bisa bermain. Saya senang lihat mereka semangat-semangat. Biar sedikit orang,” sambung Bapak Erang.  

0 comments:

Posting Komentar