Bapak Erang saat melakukan demo di Sanggar Alam Benteng Somba Opu, Sabtu 7 April 2012. |
Mudding Daeng Erang – akrabnya Bapak Erang, seoarng pendiam
dan tidak banyak bicara. Penyendiri dan tak senang basa-basi. Bicaranya polos dan
tak menyenangi akal-akalan apalagi kebohongan. Hidupnya lurus seperti kisahnya
dalam mengabdikan diri didunia kesenian. Saya bertemu dengannya di Sanggar Alam
Benteng Somba Opu, pada Sabtu 7 April 2012.
Usia bapak Erang sudah lebih dari 60 tahun. Rambutnya
memutih. Dia tinggal dan berumah di Kabupaten Takalar sekitar 20 km dari Makassar. Di Sanggar Alam Benteng
Somba Opu, dia membantu kakaknya Serang Dakko menjalankan roda kesenian.
Serang Dakko bermain gendang, begitu pula Bapak Erang. Tapi kemampuan
utama Bapak Erang adalah meniup Pui-pui. Alat musik yang suaranya seperti
hendak memecahkan gendang telinga, nyaring, tapi terkadang lembut.
Bentuk Pui-pui seperti terompet kecil. Lubangnya ada tujuh
buah. Di pangkalnya diberi pembatas untuk bibir dengan satu buah lubang. Untuk meniupnya
menggunakann daun lontar, dilipat kecil dan pipih. Bagi orang belum mahir
menggunakan, akan sangat susah meniup dan menghasilkan nada. Pui-pui dibunyikan
seperti seruling orang India dalam ritual memanggil ular.
Bapak Erang mampu membunyikan Pui-pui hingga tiga jam tanpa
henti. Nafasnya kuat sekali. Kalau ditanya, bagaimana mengaturnya, “Itu ada
tehniknya nak. Ada ditenggorokan itu,” katanya, seraya memegang bagian lehernya.
Pada Minggu 8 April 2012, Bapak Erang kurang enak badan. Hidungya
seperti tersumbat dipenuhi oleh cairan ingus kental. Tapi dia harus melakukan
pertunjukan untuk mengiringi para penari dalam pelepasan ekspedisi Ring of Fire Adventure.
Saat pertunjukan, suara Pui-pui yang ditiupkannya terdengar
seperti biasa. Membuat merinding bulu-bulu. Permainannya tak memiliki beda,
baik dalam keadaan kurang sehat maupun sehat. Sama saja. Setelah pertunjukan
itu selesai kepalanya mulai terasa berat. Dia meminta tolong kepada Tika dan
saya untuk membelikannya obat.
Tika sayang sekali dengan Bapak Erang. Dia memberi empati penuh
padanya. Hampir apapun yang diminta Bapak Erang akan selalu diusahkannya. “Saya
anggap Bapak Erang dan Bapak (Serang Dakko) seperti bapak sendiri,” katanya.
Tika adalah seorang murid menari di Sanggar Alam binaan
Serang Dakko. Targetnya bukan untuk mentas melainkan belajar spiritual dalam
kesenian tari. Dia banyak mendapat pencerahan dan kedewasaan berpikir dalam
memahami gerakan dan hubungannya dengan kehidupan sehari-harinya. Dia belajar
cara bersabar, konsisten dan patuh pada prinsip. Seperti gerakan tari Pakarena
yang lembut dan tegas. “Belajar menari seperti belajar mengolah emosi,” katanya.
Bapak Erang, memerhatikan Tika saat mengatakan itu. “Dia
lembut, tapi kalau marah bisa seperti dan melebihi laki-laki,” kata Bapak Erang
membaca karakter Tika.
Serang Dakko memegang rokok memberikan pengarahan pada Bapak Erang beberapa menit sebelum pertunjukan di Karebosi untuk pelepasan ekspedisi Ring of Fire Adventure, Senin 9 April 2012. |
DARAH kesenian Bapak Erang menular dari bapaknya Parancing, yang
juga seniman kerajaan pada samannya. Parancing memainkan gendang yang turun ke
Serang Dakko. Bapak Erang memainkan gendang tapi kalah piawai, namun meniup
Pui-pui hampir dipastikan tak ada yang mengalahkan kepiwaiannya.
Pada pertengahan tahun 1980-an bersama kelompok kesenian
Sanggar Ujung Pandang dia berkeliling Eropa selama sebulan. Menicicipi panggung-panggung
teater. Di Prancis ketika, Pui-puinya membuawai ratusan telinga pengunjung, dia
kehilangan keseimbangan dan membuatnya saraf matanya terganggu.
Tak butuh waktu berbulan-bulan, dihari setelah pertunjukan
itu usai, kepalanya menjadi pusing dan penghilatannya terganggu. Mata sebelah
kirinya mengalami kerusakan, seperti orang katarak. Penglihatannya tak
berfungsi lagi. “Ya resiko itu nak,” katanya.
Meniup Pui-pui baginya saat ini seperti meniup melodi
kehidupannya sendiri. Bersama Sanggar Alam bentukan kakaknya, dia berpindah
dari hajatan-hajatan, mulai dari perkawinan, hingga sunatan. Kelompok ini
memainkan keseniannya terus menerus untuk menjaga tradisi dan sekaligus penjaga
asap asap dapur.
Di Sanggar Alam itu, beberapa anak-anak muda datang belajar
alat musik tradisional Makassar. Mereka membayar upah jasa setiap bulannya Rp50
ribu – biaya yang sangat kecil, melihat peminat yang ada tiap tahunnya tak
mencapai puluhan orang. “Tidak apa-apa. Saya senang kalau ada anak-anak mau
belajar, jadi ada generasi,” kata Serang Dakko.
“Saya perhatikan, sudah ada beberapa anak muda yang bisa
bermain. Saya senang lihat mereka semangat-semangat. Biar sedikit orang,”
sambung Bapak Erang.
0 comments:
Posting Komentar