Kamis, November 10, 2011

Sepanjang Cerita Gondrong


Rambut gondrong punya cerita panjang, pernah dianggap tak pantas, lalu diberantas di masa Orde Baru. Bahkan disamakan dengan Gerombolan.

Saya mulai memanjangkan rambut sejak dua tahun lalu. Rambut panjang selalu membuat saya bahagia. Bukan untuk gaya-gayaan, tapi untuk menunjukan keseriusan. Bagi saya rambut seperti cerminan keperibadian. Saya memanjangkan rambut, karena yakin bisa merawatnya. Orang yang tak dapat memanjangkan rambut, adalah orang malas. Terlepas dari mereka tidak suka.


Saya selalu dapat teguran karena rambut. Beberapa waktu lalu saya bertemu seorang Om di Warung Kopi Dg.Sija Kecamatan Malili. Dia menegur rambut saya yang sudah melewati bahu. Waktu itu saya sengaja tak mengikatnya, karena baru sudah keramas dan masih basah. Menurut referensi saya, rambut basah jangan diikat dulu karena dapat merusaknya.


Tiba-tiba Om saya itu bilang, “kenapa rambutmu begitu. Gondrong sekali. Kayak tong mako gerombolan.” Gerombolan adalah kata ganti yang merujuk pasukan gerilya masa pergolakan DI/TII. Itu bukan kali pertama saya mendapat julukan Gerombolan.


Entah kenapa, di kampung saya Luwu (Luwu, Palopo, Luwu Utara, dan Luwu Timur) penggambaran seseorang yang memanjangkan rambut diganti dengan julukan Gerombolan. Saya berperasangka, mungkin saja masa-masa itu, pasukan Gerombolan tidak pernah terlihat bersih. Mereka jarang mandi. Atau bisa saja, itu adalah penggambaran masyarakat akan kelakuan Gerombolan. Di Luwu, orang yang melakukan kejahatan dengan bengis selalu dicap berkelakukan seperti PKI atau Gerombolan.


Tapi itu prasangka saja. Saya malah dengan rambut gondrong merasa selalu bersih. Setiap mandi saya harus keramas, membersihkannya dengan sampo dan kondisioner. Dua hari saja tak keramas, saya merasa rambut saya akan lengket. Dan kepala terasa berat.


Punya rambut gondrong ternyata banyak dilema. Harus bisa menerima beberapa konsekuensi. Misalnya kalau ada masalah perkelahian, tidak boleh lari. “Masa gondrong lari.” Tapi ada juga pujiannya saat melakukan ibadah. "Iyo tawwa, biar gondrong tapi salat."


Dilema lain, orang gondrong itu tak lazim untuk nonton sinetron, harus kuat begadang, tidak boleh minum susu melainkan kopi, dan masih banyak lainnya.


Tapi saya merasa beruntung, keluarga saya tak pernah cerewet dengan rambut. Mama bahkan kadang-kadang membantu mengikat rambut saya. “Kalau gondrong itu harus rapi dong,” katanya.


Mama saya juga sering memberi masukan, bagaimana memperlakukan rambut. Misalnya, dia tak keberatan memeras santan kelapa untuk kupakai dirambut sebelum keramas. “Santan itu bagus untuk buat rambut kuat dan berkilau,” ujarnya.


TAPI di Indonesia rambut gondrong punya cerita sendiri. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan Orde Baru, rambut gondrong malah dianggap tak mencerminkan “keperibadian bangsa. Militer bahkan turun tangan, bekerjasama dengan aparat lainnya untuk membawa gunting dan merazia.


Ada sebuah buku yang ditulis Aria Wiratma, judulnya Dilarang Gondrong! Praktik kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an. Risetnya melalui suratkabar dan majalah yang memberitakan perihal rambut gondrong itu. Pada 1971  artis-artis yang berambut gondrong malah dilarang tampil di TVRI. Lalu menyebar ke gedung-gedung pemerintah hingga swasta.


Pada 1 Oktober 1973, Jenderal Soemitro dalam acara bincang-bincang di TVR menyatakan: “Rambut gondrong membuat pemuda menjadi onverschillig alias ‘acuh tak acuh’.” Batas waktunya 5 Oktober, hari ulangtahun ABRI. Perintah itu berlandaskan radiogram Presiden Soeharto.


Saya sendiri pernah mengalaminya, ketika bekerja sebagai wartawan di Harian Fajar Makassar. Saat itu saya bertemu pemimpin redaksi Fajar, Sukriansyah S Latief, di lift menuju lantai 4 kantor redaksi. Kalau tidak salah pertemuan itu menjelang sore, ketika saya baru pulang liputan.


Sukriansyah menyapa saya. Dia menanyakan apakah saya adalah wartawan Fajar. Kemudian, dia melanjutkannya kalau masih ingin menjadi wartawan Fajar maka saya harus memotong rambut. Tentu itu membuat saya dongkol.


Menurut Sukriansyah, cerminan wartawan yang baik salah satunya adalah berpembawaan rapi. Tidak gondrong. (Eko Rusdianto)

5 komentar:

  1. This is a interesting topic, thank you for taking the time to make such a wonderful site. Another good site that I have found recently is .excellent one to check out.
    Website Hostings

    BalasHapus
  2. Eh gondrong, potong rambut dongggg

    BalasHapus
  3. Hello
    Sepanjang Cerita Gondrong
    Amazing blog post as always! I am very glad to see your post, I located what I was in search of here
    Thank you!

    BalasHapus
  4. rambut saya juga suah mulai panjang.. gondrong juga bukan panggilannya? hehe

    jadi ingat dosen statistik saya. setiap kali buat contoh sampel yang baik, dia merujuk ustadz2/ah asrama. kalo yg jelek, rujukannnya anak mapala yang pada. itu yg pada punya rambut gondrong.

    BalasHapus
  5. Hi Novi terima kasih sudah meninggalkan jejak. Iya ya, kenapa perempuan yang rambutnya panjang tidak pernah dipanggil gondrong. Atau ini hanya kebiasaan?

    ustads/ah atau apalah itu, kan manusia biasa juga, saya yakin mereka juga ada salah, keliru. Yang aneh, kalau mereka keliru terus tetap ngotot, hehehe..

    BalasHapus