Rabu, Juli 27, 2022

Batanghari: Sungai Kebanggaan Sumatera yang Kian Merana

 

Pada abad ke 14, sebuah arca batu Bhairawa dengan berat sekitar 4 ton dan memiliki tinggi sekitar 4,41 meter, melintasi sungai itu. Meliuk dari muara melewati alirannya yang besar menuju pedalaman di Dharmasyara. Bambang Budi Utomo, seorang arkeolog Indonesia, memandang batang sungai itu, dan belum menemukan jawabannya, bagaimana orang-orang masa lalu mengangkutnya. Memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain, dengan jarak ratusan kilometer.

“Pengangkutan barang dan manusia melalui jalan darat di wilayah Asia Tenggara baru dikembangkan pada abad ke 19,” begitu Bambang Budi Utomo menuliskan makalahnya.

500 tahun berselang, perjalanan darat baru dimulai dengan massif. Rentang waktu itu menjadikan sungai dan secara umum perairan adalah lalu lintas yang jadi nadi utama. Dan di batang sungai Batanghari inilah, saya dan Bambang Budi Utomo berdiri di pesisirnya, menyaksikan jalan itu.

Sejak 11 Juli hingga 19 Juli 2022, saya bersama 50-an peserta dalam Ekspedisi Sungai Batanghari, oleh Direktorat Pelindungan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia, menjelajahi sungai ini dari pedalaman Dharmasraya di Sumatera Barat (tujuh kabupaten/kota), menuju hilir di kampung Teluk Majelis, kabupaten Tanjung Jabung Timur, provinsi Jambi. Perjalanan itu, menggunakan kapal mesin yang berpendingin ruangan dari kepolisian air Polda Jambi. 

Pada awalnya, ekspedisi ini akan menyusur batang sungai tanpa jedah, lalu berhenti di perkampungan. Namun, beberapa badan sungai, rupanya tak bisa dilayari karena kondisi sungai yang sudah mengalami pendangkalan. Praktis perjalanan penuh dengan mlintasi air, dilakukan di Dhamasraya menuju situs Pulau Sawah, kemudian di dari kampung Rambutan Masam, menuju kota Jambi dan Teluk Majelis.

Saat melihat dan menyentuh air sungai Batanghari yang keruh dan berlumpur itu, pengetahuan yang dibangun sebelum menjejaknya menjadi sirna seketika. Saya menjadi tak tahu apa-apa. Ini adalah sungai purba yang menciptakan kebudayaan agung di sepanjang pesisirnya. Ratusan situs budaya, dari mulai candi, stupa, wihara, hingga bangunan kolonial  menjadi saksinya.

Sungai agung yang membentang sejauh 800 km. Sungai yang penuh romantisme yang diabadikan dalam pantun melayu. Tapi, rasanya sulit mengembalikan kiasan “mewah” dalam pantun tentang Batanghari, yang ada malah kemarahan dan kekecewaan. Di situs benteng Tembesi, siang hari ketika kapal mulai menelusuri airnya menuju Jambi, kami terperangkap di tengah sungai karena lambung kapal kandas. Pasir dan lumpur menumpuk serupa pulau kecil di tengah badan sungai.

Saya sungguh terperanjat. Memandangi sekeliling sungai dan menjadi begitu sedih melihat keadaannya. Dan ketika seorang ABK mengangkat mesin kapal, baling-balingnya terlihat kecoklatan, karena tertempel lumpur. Dia kemudian membuka kaos dan mengganti celana panjangnya dengan celana pendek, lalu melompat turun ke air. Plung, orang itu tak berenang melainkan berdiri dan badannya hanya tenggelam hingga pinggang. Dia berjalan mengelilingi badan kapal lalu memasang tali, lalu sebuah speedboat karet bermesin menariknya. Kapal bergoyang dan lepas.

Jika Batanghari punya air yang jernih, peristiwa kapal kandas ini, bisa jadi adalah sebuah berkah. Sejak awal, ikut dalam ekspedisi, saya selalu menyiapkan celana pendek dalam tas kecil untuk persiapan mandi dan berenang. Tapi saat kapal kandas, dan punya alasan untuk turun membantu mendorong, keinginan itu sudah tak pernah lagi muncul.

Batanghari sungguh tak elok dijadikan sungai untuk melepas penat.

Batanghari menjadi sungai yang menjemukan. Sungai yang lebarnya mencapai 500 meter itu, kini serupa aliran pembuangan raksasa. Di sepanjang perjalanan saya menyaksikan tebing-tebing sungai rubuh dan terkikis. Ada pohon yang beserta akarnya jatuh ke aliran. Ada sempadan yang dipenuhi sawit juga ikut tergerus. Pemandangan selama perjalanan menuju hilir, tak memuaskan hasrat. Pepohonan yang berada di masing-masing sisi sungai, menoton. Jika bukan tanaman karet, maka itu sawit. Jika bukan perkebunan maka itu adalah konsesi pertambangan batubara, atau industri pengolahan karet alam.

Selain daya dukung sungai di sempadan yang sudah berubah, pemandangan di sepanjang sungai juga menyuguhkan kekhawatiran yang sama mencemaskannya. Alat-alat pengeruk pasir yang disebut dompeng, juga sekaligus dijadikan penghisap tanah dan pasir untuk menambang pasir emas.

Dompeng itu berderet di sepanjang sungai dari mulai Tembessi menuju kota Jambi. Bahkan beberapa orang terlihat sedang mendulang di pinggiran sungai. Bagi masyarakat di bantaran Batanghari, kegiatan mendulang emas dengan tradisional sangat berisiko, karena menggunakan cairan merkuri, untuk mengikat emas. Logam berat itu bahkan sisanya dapat mengalir ke sungai.

Tahun 2014, harian Kompas melakukan melakukan uji kualitas air di sungai Mesumi, Merangin dan Tembesi, yang kesemuanya merupakan bagian dari Batanghari. Hasilnya, mereka menemukan jika bahan baku air minum hasilnya, kadar merkuri di permukaan Mesumai 0,0008 mg/l, arsenik 0,002 mg/l, dan besi 2,73 mg/l. Konsentrasi merkuri dan arsenik itu nyaris mendekati batas aman. Kadar besi sudah sembilan kali lipat ambang itu.

Lebih lanjut Kompas juga merinci, jika di wilayah Tembesi untuk kebutuhan air PDAM Tirta Sako Batuah, Kota Sarolangun, tepat di garis kritis. Di saluran intake-nya, kadar logam berat itu mencapai 0,001 mg/l, besi 1,39 mg/l, dan arsenik 0,001 mg/l. Dan sampel air di saluran intake PDAM Merangin, yang airnya bersumber dari Sungai Merangin, sama seperti Sungai Mesumai (0,0008 mg/l), arsenik 0,002 mg/l, tetapi kadar besinya empat kali di atas batas aman (1,31 mg/l).

Sementara itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 soal bahan baku air minum, batas aman adalah: Merkuri 0,001 mg/l, Arsenik 0,005 mg/l, dan Besi 0,3 mg/l. 

Empat tahun kemudian, pada 2018 Kompas kembali menyajikan hasil kajian Direktorat Pengelolaan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bekerja sama Pusat Pusat Studi Lingkungan Hidup Institut Teknologi Bandung, di kecamatan kecamatan IX Koto dan Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya.

Laporan itu kemudian menyebutkan, jika sampel air limbah tailing tambang emas dan sedimen melampaui baku mutu. Dan bahkan merkuri dari tambang emas juga telah mencemati komuditas pertanian warga.

“Dalam kajian itu disebutkan bahwa responden anak-anak terpapar merkuri. Di IX Koto, dari 30 responden anak, konsentrasi merkuri di urine 20 anak melebihi baku mutu 5 µg/g Creatinin. Salah satu responden bahkan datanya sangat ekstrem mencapai 967.742 µg/g Creatinin. Sementara itu, di Sitiung, dari 22 responden anak, 14 orang melampaui baku mutu,” tulis laporan KOMPAS.

Meninggalkan Sungai

Kabupaten Tebo, 13 Juli 2022, saya bertemu Novpriadi (36 tahun). Dia sedang mempraktekkan bagaimana ritual memandikan anak di sungai Batanghari. Prosesi ritual itu diturunkan oleh neneknya, Siti Aminah yang sudah sepuh.

Pelan-pelan dia, menjelaskan peralatan yan digunakan, dari mulai kembang sampai batu. Tapi intinya, ritual memandikan anak bayi ke sungai, sebagai ungkapan syukur dan suka cita. Dilakukan ketika bayi telah putus tali pusarnya, biasanya berusia 7 hingga 10 hari. Bayi itu digendong dan badannya dibasahi air sungai Batanghari. “Waktu saya kecil, cerita orang tua, saya merasakan ritual itu,” kata Novpriadi. “Tapi sekarang orang-orang sudah tak melakukannya,” lanjutnya.

Alasannya karena sungai sudah kotor sekali. Tidak membawa kesehatan, malah membawa penyakit. “Saya punya anak. Saya tidak mandikan anak saya lagi di sungai Batanghari, tapi di rumah saja. Tapi tetap dengan ritualnya,” katanya.

Bagi Novpriadi, bertahan dan mengingat ritual itu penting, untuk menjaga ingatan pada manusia dana lam. Jika sungai sudah rusak, ritual itu menjelaskan, jika masa lalu, setidaknya 20 tahun lalu, sungai itu masih bersih.

Di ujung aliran kampung Teluk Majelis, muara sungai Batanghari, ritual mandi pengantin pun sudah bergerak meninggalkan sungai. Jika dulu, air yang dilakukan dalam penyiraman menggunakan aliran air yang hidup dari Batanghari, kini menggunakan air sumur bor.

Orang-orang sepakat, jika Batanghari sudah rusak dan tak layak dikonsumsi atau bahkan dijadikan ritual.

17 Juli 2022, pagi yang cerah di Teluk Majelis. Indo Umang (40 tahun) baru saja menyiapkan semua perlengkapan sekolah anaknya. Rumahnya menghadap aliran sungai Batanghari yang lebar dan sekaligus berhadapan langsung dengan laut. Jika air pasang, kolong rumahnya yang tinggi akan dipenuhi air, lalu surut beberapa jam kemudian. Rumah Umang, adalah deretan dari rumah terakhir yang berhadapan sungai. Sebelumnya, ada dua lorong kecil mirip gang di perkotaan di depannya, tapi beberapa tahun lalu sudah lenyap, karena tebing sungai rubuh.

“Saya juga sudah bersiap. Sudah beli tanah di sana (dia menunjuk bagian daratan kampung). Kalau cukup uang akan pindah ke sana, karena di sini sudah tidak bisa lagi,” katanya.

Pesisir kampung Teluk Majelis sepuluh tahun terakhir, telah kehilangan sekitar 150 meter daratannya. Sebuah kehilangan besar, dimana suara warganya, tak terdengar. Orang-orang itu mengeluhkan, dampak ekstraktif pengerukan dan perubahaan hutan yang massif awal tahun 2000.

Kapal-kapal dengan tonase besar melintasi sungai dan menciptakan gelombang raksasa di pesisir dan tebing sungai. Perkebunan skala besar, juga mengubah area tangkapan air, dan membuat semua saling bertautan.

Di Rambutan Masam, syair mengenai madu, sebelum para pemburu memanen madunya, kini tak lagi berfungsi. Meski mereka masih menghapalnya, tapi pohon besar dan bunga yang dijadikan lebah sebagai makanan utama telah raib sejak lama.

Harimau, juga gajah sudah lebih awal bersumbunyi di pedalaman, karena pembukaan lahan semakin massif. Binatang-binatang itu bersembunyi, bertahan untuk memenuhi makanan dan keturunan, dan bersembunyi dari para pemburu.

Tanaman yang menjadi kebanggaan warga, kulaitasnya semakin merosot. Dukuh sudah empat tahun terakhir, terserang hama, mula-mula daunnya menguning, kemudian seluruh tangkai dan rantingnya mengering dan mati. Para petani, tak berdaya, bagaimana menyelamatkannya, dan hanya melihatnya mati perlahan.

“Sekarang kita mulai mengenang semua itu. Tapi semua sudah berubah,” kata Bambang Budi Utomo.

Dia ingat betul, sejak tahun 1981, ketika pertama kali dia menjejakkan kakinya di Sumatera, dan membaca literature serta melihat bukti nyatanya dalam tinggalan arkeologis. Dia menyebutkannya sebagai kebudayaan yang besar. Sriwijaya atau pula Dharmasraya, menciptakan kapal untuk perdagangan lintas pulau bahkan negara.

Wihara di kompleks situs Muara Jambi yang kawasannya ditetapkan seluas 3.981 ha dengan ratusan situs membuktikan, peradaban yang besar. Orang-orang datang berguru dan belajar. “Orang-orang itu datang melalui lalulintas sungai. Mereka menjadikan sungai sebagai halaman depan yang perlu dijaga,” kata Bambang.

“Mengapa masa lalu orang bisa hidup baik dengan alam?,” kata saya.

Bambang Utomo, sesaat diam. Dia menggoyangkan baju berkancing yang dikenakannya untuk mendapatkan sedikit hembusan angin di badan. Kawasan situs Muara Jambi memang sangat gerah, meskipun ada banyak pohon besar yang menjadi peneduh. “Apakah orang-orang masa lalu tidak mengkonsumsi binatang?,” kata saya.

“Selama saya penelitian, saya belum pernah mendapatkan catatan mengenai itu. Orang Sriwijaya dan juga Dharmasraya, dalam berita China, dituliskan memperdagangkan Gajah dan Burung, juga hasil hutan lainnya, seperti buah,” kata Bambang Utomo.

“Kalau mereka memakannya, belum ada bukti. Harimau juga tak masuk dalam daftar hewan yang diperdagangkan masa itu. Tapi ingat, mereka menganut ajaran Budha, yang begitu menghargai alam,” lanjutnya.   

 * *Laporan ini juga dipublikasikan Mongabay Indonesia: Menelusuri Batanghari, Sungai Kebanggaan Sumatera yang Kian Merana 

Aktivitas warga di sungai Batanghari

Sungai Batanghari di Kota Jambi.


Di sempadan Batanghari.


Aktivitas bongkar bongkar muat batubara di sepanjang sungai Batanghari.


Hamparan perkebunan akasia untuk bahan baku tissu milik perusahaan.


Tanaman Duku warga yang mati terserang hama.

Senin, Mei 02, 2022

Mudik, Idul Firti pada 2 Mei 2022

Makan Kapurung bersama keluarga di halaman rumah. Foto: Asti

Kenapa mudik menjadi sesuatu yang mengagumkan. Selalu seumur hidup, akan selalu dilakukan oleh  jutaan orang. Bukan soal harga tiket bus, pesawat, dan kapal laut yang naik. Tak peduli pula bahan bakar kendaraan yang ikut mahal. Ini soal berkumpul dan bersama dengan keluarga. 
 
Kampung begitu selalu dianggap sebagai tujuan mudik. Iya adalah kehangatan yang menyenangkan. Ada keluarga, tetangga, dan sepupu. Kampung adalah masa kecil yang terus tersimpan rapi dalam ingatan. Pada tanah, udara, kerikil, sungai, dan kisah-kisah yang akan terus bertahan, seperti hidup.
 
Pada 2 Mei 2022, di kampung saya Kombong, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu, sejak pukul 06.00 ratusan warga telah berjalan dengan pakaian salat dua rakaat untuk idul fitri. Mereka melewati rumah-rumah, dan saling berteriak untuk membuat penghuni lainnya, bersigap. Warga berjalan dengan penuh semangat. Manggandeng anak dan mengenalkannya pada semua keluarga.
 
Ber-idul fitri, adalah bersama. Di kampung saya, salat dilakukan di lapangan kecamatan. Orang-orang datang menggelar tikar, terpal plastik, hingga koran bekas, sebagai alas sajadah. Diantara setiap baris, sendal terususun berjejer pula.
 
Ketika salat dimulai, kami menghadap alas kaki orang di depan. Bersujud hampir menyentuh sendal. Biasanya salat akan dimulai pada pukul.07.30. Dua rakaat itu akan kelar sekitar 10 menit.
 
Namun persiapannya panjang. Sebelum salat, para perwakilan masjid dari setiap lingkungan kampung akan berdiri di mimbar dan mengumandangkan takbir. Jemaah akan mengikutinya. Setelah itu, baru kemudian mednengarkan kata sambutan Bupati Luwu, yang dibacakan kepala kecamatan.
 
Kali ini, di tengah matahari yang semakin tinggi, dan membuat punggung serasa terpanggang, saya berpikir mengenai sambutan itu. Sambutan yang entah siapa yang menuliskannya. Terasa sangat kering. Isi sambutan yang terulang setiap tahun, siapa pun bupatinya. Apakah pentingya sambutan itu?
 
Saya menimbang-nimbang dan berusaha mengikutinya dengan baik. Mencari pengetahuan baru di dalamnya, kepalanya saya bekerja keras. Sambutan itu, bilang kalau ini adalah hari kemenangan, hari dimana semua umat muslim bersuka ria, karena telah melalui puasa. Lalu diakhir sambutan, kepala kecamatan, kemudian membaca permintaan maaf pada semua masyarakat atas nama bupati, Basmin Mattayang dan keluarga.
 
Benarkah warga penting mendengar sambutan bupati dalam rangka idul fitri itu? Beberapa orang malah mengeluh. Mereka bilang, tidak tahu apa yang dibicarakan dalam kata sambutan itu.
 
Saya jadi berpikir, mungkin akan lebih menarik, setiap tahun sambutan bupati pada setiap perayaan idul fitri menjadi laporan pertanggung jawabannya. Berapa anggaran, dan apa saja yang telah dilakukannya dalam menjalankan pemerintahan di wilayahnya.
 
Tapi, apapun itu, saya kemudian menduga jika sambutan itu seperti halnya khutbah jumat, yang membaca buku lama. Dimana beragam perkembangan isu tidak menjadi landasan khutbah.
 
Pernah kalian berpikir, jika khutbah jumat dan sambutan bupati saat idul fitri itu sama saja dengan kalian mendengarnya puluhan tahun lalu sampai sekarang.
 
Jadi selepas salat idul fitri, di kampung kami juga mendegar ceramah dari orang yang ditunjuk pemerintah setempat sebagai ulama. Kali ini, ceramahnya sangat mengesankan kelirunya. Dia melontarkan kalimat seksis. Dia masih bilang jika perempuan yang akan mencium bau surga adalah mereka yang melayani suaminya dengan baik, untuk dapur, rumah, hingga kasur.
 
Anak saya berusia jelang tujuh tahun, melihat saya dengan baik. Dia hendak bertanya, tapi kusanggah dengan cepat. Bahwa yang dibicarakannya keliru. Semua orang punya cara beribadah sendiri, punya cara mensyukuri kenikmatannya sendiri sebagai manusia. Bukan soal layan melayani.
 
Jelang pukul 08.30, prosesi salat idul fitri selesai. Ratusan warga meninggalkan lapangan. Mereka berdiri, dan saling mengulurkan tangan saling bermaafan. Mereka saling memeluk dan saling mengenalkan diri pada orang yang lebih tua.
 
Berjalan keluar lapangan pun, dengan pelan. Sebab semua saling mengenal. Warga yang dilalui rumahnya akan meminta setiap orang untuk singgah dan mencoba makanan lebaran. Ada kue kering, ada kari ayam, ada sirup dingin, ada kopi, ada kisah.
 
Setelah itu, berbondong-bondong warga menuju kuburan umum. Di sana, orang-orang berziarah dan memberikan doa pada mendiang keluarga yang meninggal. Anak saya, yang ikut dengan antusias membaca semua nama di nisan.
 
Dia ingin mengenal siapa nenek moyangnya. Saya memperlihatkannya nama Nenek dan kakek. Lalu memperlihatkannya kuburan orang tua nenek saya, lalu saudaranya, dan keluarga lainnya.
 
Dia tak puas, dia ingin tahu siapa nama nenek-nya nenek moyangnya. Dan bagaimana kuburnya. Keluarga lain yang mendengar ikut tertawa dan menjawabnya jika itu susah. Sebab tradisi kami menguburkan jenasah dengan nama, hanya ada beberapa puluh tahun belakangan. Sebelumnya, orang tua kami hanya menandainya dengan nisan batu dan menurunkan kisah, jika itu adalah keluarganya.
 
Generasi selanjutnya kemudian banyak lupa. Ini tentu saja berbeda, dengan tradisi masyarakat Toraja, dimana jenasah dan kerangka leluhurnya terjaga dengan baik. Pun dilakukan ritual ma’nene – ritual membuka liang kuburan untuk mengenang kembali leluhur.
 
Ini lah mudik bagi saya. Dia membawa saya kembali terhubung dengan kampung dan leluhur. Dia menjelaskan mengapa kami para anak keturunan berada dalam dunia ini. Kami hidup dengan menekuni ilmu pengetahuan dan terus menjaga keterhubungan itu.
 
Saya pun masih mencintai kisah mistis di kampung. Jalanan yang punya hantu, agar pelan-pelan saat melajukan kendaraan. Atau pohon yang punya penjaga mahluk halus, agar benar-benar menghargai setiap yang hidup.
 
Kampung juga memberi saya pengetahuan akan perubahaan bentang alam. Sungai yang dikeruk menjadi lebih buruk. Pangan yang terus menerus dipenuhi pestisida. Hingga bagaimana anak muda semakin jauh dari pekerjaan dengan tanah.
 
Saya sendiri adalah generasi yang tak mampu mengolah tanah. Tangan saya tak piawai mengayunkan parang untuk menebas rumput. Punggung saya tak kuat membawa beban. Atau kulit saya menjadi begitu rapuh ketika digigit nyamuk dan daun yang punya efek gatal.
 
Padahal saat saya kecil, saya merasa daun dan rumput yang gatal untuk saat ini bukanlah sebuah masalah. Saya bisa berlari tanpa menggunakan sandal, kini tak kuat lagi. Ini lah yang menjadikan mudik menjadi begitu mengesankan. Memberi pengetahun yang jauh lebih dalam, mengenai kekurangan-kekurangan saya.

Senin, Februari 21, 2022

Elang, Sudah Tidur Sendiri

La Wellang Rawallangi, nama anak lelaki kami. Sapaannya Elang. Dia akan berusia genap tujuh tahun pada Mei mendatang.
 
Hampir tiga tahun ini, dia tumbuh di tempat yang sungguh indah. Berlari dan bermain dengan teman-temannya, dimana dia menghirup udara dari tebing karst. Dia juga sudah mengalami bagaimana seluruh badannya menjadi bentol, ketika musim ulat bulu. Kakinya yang penuhi bekas garukan karena gatal, dari rumput yang ditempatinya berlari atau tiduran bersama teman-temannya.
 
Dia anak yang energik. Pertanyaannya pun sudah semakin detil dan membuat saya harus belajar ulang. Dia bertanya tentang pohon yang bisa tumbuh dibatu karst. Bertanya mengenai aliran sungai, kenapa keluar dari batuan. Memperhatikan ular air yang memangsa kodok.
 
Dia tumbuh dengan sehat. Itu yang kami perhatikan. Saya dan Tika sebagai orang tua, berusaha menemaninya bermain. Saya sesekali membacakannya buku sebelum tidur. Tapi Mamaknya yang paling rajin. Kini dia, menggandrungi serial Avatar Ang. Kadang-kadang jika ingin minum gelas airnya diletakkan di meja, dan mempraktikkan gerakan Katara – si pengendali air – untuk meminta air itu melayang dan masuk ke mulutnya tanpa harus memegang gelas.
 
“Dimana saya harus belajar ilmu pengendali air bapak,” katanya.
 
Pertanyaan seperti itu selalu membuat saya gelagapan. Dan dia mengerti saya tak mampu menjawabnya. Lalu dia sendiri mengabaikannya, dan kadang dengan cetus bilang. “Bapak waktu kecil nda pernah mau belajar kendalikan air kah.”
 
Sepuluh hari ini, dia benar-benar dapat dengan tenang menikmati film itu. Tokoh favoritnya adalah Avatar Roku, sebab dia menjadi penyelamat Ang jika sedang membutuhkan bantuan. Roku juga tinggal di dunia arwah. Dialog favoritnya, ketika Roku mendatangi Ang; kami tidak perlu bersidih, karena ini adalah salah saya, yang seharusnya bisa mencegah perang ini terjadi pada masa lalu.
 
Dia sudah punya kamar sendiri, yang ditatanya dengan kemauan sendiri. Dia memilih sendiri letak kasur hingga bagaimana menyusun bantal.
 
Ya, Elang sudah tidur sendiri. Dimulai pada Kamis malam, 10 Februari 2022, ketika dua hari sebelumnya saya mengecet kamarnya dengan warna biru tua dan biru muda. Dia juga lah yang memilih warna itu. Kami mengajaknya ke toko bangunan dan memintanya menentukan pilihan.
 
Awalnya dia ingin warna merah dan hitam. Tapi kami memberinya pertimbangan, jika warna itu sangat gelap dan bisa mengundang banyak nyamuk. Lalu pencahayaan kamar pun harus bagus, sementara rumah kami, hanya menggunakan satu bola lampu standar setiap kamar.
 
Katalog warna di toko bangunan dia perhatikan dengan baik. Dan pilhannya jatuh pada warna kamar temboknya saat ini.
 
Rumah kami adalah perumahaan subsidi, yang hanya punya dua kamar. Rumah ini kami tata dengan kepala ideal kami. Dimana satu kamar kami anggap sebagai kamar utama. Tempat kami tidur bersama. Satu kamar lainnya, diperuntukkan untuk keluarga, tamu, dan teman-teman yang kebetulan bermalam di rumah.
 
Tapi kini, “kamar tamu” sudah menjadi milik Elang. Jadi bisa saja tamu yang akan menginap akan tidur di ruang utama rumah, di atas karpet, bersisihan dengan rak buku dan mesin jahit Tika. Tapi jika Elang mengizinkan masuk ke kamar, boleh lah tidur di kamarnya.
 
Kejadian, kemarin 19 Februari, adik perempuan saya yang kuliah di Makassar, datang ke rumah. Karena dia datang malam, dan Elang sudah tidur, mood-nya kurang bagus. Dia menolak tantenya menemaninya tidur. Dan akhirnya, harus rela tidur di karpet.
 
Keesokannya, dia membujuk Elang, menemaninya main dan akhirnya dengan ikhlas memberikannya ruang di kasur kamarnya tidur Bersama. 
 
Tapi, sebelum kamar itu menjadi milik Elang, kami punya rak buku di dalamnya. Dan juga boks yang berisi buku – karena kami masih kekurangan rak buku. Tapi ketika Elang resmi memiliki kamar itu, dia meminta mengeluarkan buku bacaan kami berdua. Dia ingin, rak buku itu diganti dengan semua koleksi bukunya.
 
Akhirnya tak ada pilihan lain, saya terpaksa harus memilah buku yang tak begitu saya gunakan untuk kemudian disumbangkan, begitu pula Tika. Rak buku itu punya enam kotak. Dua kotak dideret buku bacaannya. Dua kotak lainnya, kami minta untuk menempatkan beberapa buku yang kami anggap penting untuk tidak dipajang dirak ruang utama.
 
Dua rak lainnya, tempatnya menyusun tiga buah tabung celengan. Serta beberapa Pernik mainannya. Di bagian atas rak, ditempatkannya buku-buku besar, dan action figure berdiri rapi. Dari mulai Batman sampai Thanos. Boks mainan lainnya berada di sisi kasur dekat kepalanya.  
 
Malam pertama yang memukau
Ketika Elang sudah yakin akan tidur sendiri, kami cukup gembira. Saya dan Tika, akhirnya mengalami proses ini. Ketika dia sudah tidur di kamarnya, kami mematikan lampu kamar dan membiarkan pintu sedikit terbuka agar cahaya dari lampu dapur bisa menerobos masuk kamar.
 
Sementara saya dan Tika tidur dengan perasaan berbeda. Biasanya ada Elang ditengah kami, dan sebelum tidur selalu saling menjahili. Kini di kasur ukuran tiga ini, kami hanya berdua. Pintu kamar kami lebar, untuk memastikan jika Elang bangun tengah malam dan memilih masuk kamar.
 
Beberapa kali saya terbangun dan mengintip Elang di kamarnya. Dia nyenyak sekali tidur, sambil memeluk boneka Doraemon yang dijadikannya guling. Boneka itu adalah hadiah ulang tahunnya usia 2 tahun dari Mamak Cung – kolega kami di Makassar.
 
Elang tidur dengan nyenyak dan kami bangun pagi bersama, dan melihatnya dengan bangga. Lalu membantunya merapikan kasur. Setelah itu mandi, sarapan dan dia berangkat sekolah.
 
Dan di pintu kamarnya tertulis dengan tinta pensil: Orang endak boleh masuk hanya Elang.

Sabtu, Februari 19, 2022

Bagaimana selayaknya memperkarakan hasil penelitian. Perlukah mempidanakannya?

 

Malam pertengahan Februari 2022, pesan masuk dari seorang kawan, disertai dengan link berita. Komunitas masyarakat Rongkong melaporkan, Iriani, seorang peneliti dari Balai Nilai dan Pelestarian Budaya (BNPB) Sulawesi Selatan, karena dianggap menghina.  

Saya terhenyak. Sungguh benar-benar kaget. Lalu menghubungi beberapa kawan yang kemungkinan kenal dengan Iriani. Benar saja, saya mendapatkan akses jurnalnya secara utuh. Dan sebenarnya dapat diunduh. Saya membacanya dengan pelan dan hati-hati. Lalu menemukan paragraf yang menjadi pangkal masalah.
 
Saya kutipkan dengan utuh: “Secara tradisional orang Rongkong masuk dalam strata kaunang dan maradeka. Sehingga orang Rongkong tidak dapat menjadi datu atau raja, namun hanya sebagai prajurit perang Kedatuan Luwu pada masa lampau.”
 
Kalimat ini kemungkinan besar memang dapat melukai hati masyarakat Rongkong. Namun, apakah cukup dengan satu paragraf itu membuat Iriani harus dilaporkan ke polisi? Mari melihatnya;  penelitian itu diterbitkan, jurnal WALASUJI yang juga dikelolah oleh BNPB, pada Volume 7, No.1, Juni 2016. Judulnya, Mangaru Sebagai Senin Tradisi di Luwu.
 
Pada abstraknya, penelitian itu bertujuan untuk menjelaskan makna tari tradisi Mangaru di Luwu. Iriani menggunakan metode kualitatif, dengan wawancara, observasi, studi dokumentasi, dan studi kepustakaan.
 
Hasilnya, bahwa Mangaru, yang ditarikan oleh masyarakat Rongkong menggambarkan keperkasaan pasukan prajurit kerajaan masa lalu. Tarian ini juga menggambarkan bagaimana hubungan antara kerajaan dan masyarakat Rongkong. Dan tarian itu mengandung makna dan nilai-nilai dari masyarakat Rongkong. Selebihnya, penelitian itu mengulas bagaimana tata cara tari itu digelar. Apa saja perlengkapannya, kostum, musik, hingga cara melaksanakannya.  
 
Lalu paragraf yang dilaporkan ke polisi itu, berada dalam subjudul Stratifikasi Sosial, halaman 113. Pada laman ini, ada tujuh paragraf, yang menjelaskan soal stratifikasi kelas di Luwu. Dimana lapisan atas bergelar Opu. Lapisan menengah yakni Daeng. Dan lapisan bawah adalah To Maradeka dan Kaunang.  
 
Iriani dalam sub penjelasan itu mengutip satu narasumber, yakni Andi Sanad Kaddi Raja, pada 22 Februari 2011. Dan kemudian mengutip Chabot (1984:196) tentang pembagian kelas sosial. Belakangan Kaddi Raja membantah telah mengeluarkan pernyataan itu.
 
Jika Iriani memiliki rekaman wawancara, maka itu bisa membuatnya selamat. Namun, jika tidak, ini akan membuatnya menjadi semakin rumit. Tapi apakah dia memiliki catatan saat wawancara dengan Kaddi Raja, itu juga bisa membantunya.
 
Terlepas dari keliru, ataupun lemahnya penelitian itu – jika memang demikian – seharusnya tidak disikapi lewat ranah pidana. Dan membawanya ke polisi bagi saya adalah prseden buruk dalam dunia literasi Indonesia. 
 
Surat pada 25 November 2021, BNP membuat surat perihal Permohonan Maaf atas Publikasi Walasuji, dan menyatakan empat poin:
 
1. Menarik seluruh publikasi jurnal Walasuji volume 7 No.1, Juni 2016 khususnya artikel berjudul "Mangaru Sebagai Seni Tradisional di Luwu" dan mengajukan permohonan maaf secara terbuka. 
2. Melakukan revisi artikel "Mangaru Sebagai Seni Tradisional di Luwu" sesuai dengan kaidah ilmiah dan melalui pemeriksaan pakar budaya dan sejarah masyarakat Rongkong.
3. Membuka ruang diskusi secara terbuka yang bertujuan meluruskan informasi tentang adat Rongkong dan disiarkan di seluruh kanal media sosial BNPB Sulawesi Selatan. 
4. Mendorong program-program pengkajian lebih lanjut terutama terkait nilai-nilai budaya masyarakat Rongkong. 
 
Dan apakah BNPB telah melaksanakan isi surat itu? Tak jelas, tapi artikel itu sampai sekarang masih bisa ditemukan di kanal lembaga, tanpa perbaikan
    
Namun perihal stratifikasi sosial masa lalu, Leonard Andaya, The Herritage of Arung Palakka yang kemudian diterbitkan Inninawa menjadi Warisan Arung Palakka, pada Bab IV mengenai Perjanjian, juga menggambarkan bagaimana sistem sosial dalam masyarakat. “Kadang-kadang pakaian yang pantas bagi keturunan terhormat (todeceng) diberikan sebagai tanda kesukaan,” tulisnya.
 
Pada kalimat selanjutnya, Andaya mengutip Noorduyn (1955:238), jika Gilireng yang sekarang masuk dalam kabupaten Wajo, pada masa lalu statusnya bagi Kerajaan adalah budak (ata). Tapi, “ketika penguasa Gilireng mengorbankan hidup untuk atasannya, penguasa Wajo, dia mengangkat Gilireng dari status budak menjadi anak bagi Wajo.”
 
Bagaimana penjelasan kelas sosial ini, Andaya, melanjutkan, jika di dasar pada hirarki hubungan antar negara adalah hubungan antara tuan (puang) dan budak (ata’). Kerajaan bawahan yang berperang melawan kerajaan atasannya dan berhasil dikalahkan akan kehilangan status terdahulunya dan terperosok ke posisi budak.
 
Saya kira, hasil-hasil penelitian sejarah semacam itu akan menjadi sangat penting dalam memahami kerangka sosial politik di setiap wilayah pada masa lalu. Bahwa, para budak dapat saja menjadi tuan.
 
Namun Iriani, dalam penelitian ini tak menjelaskan, bagaimana tari Mangaru dan apakah memiliki hubungan dengan penjelasan mengenai strata sosial. Apakah tarian ini bagian dari strategi memasuki istana? Atau tari ini telah ada jauh sebelum kebesaran kerajaan Luwu?
 
Tapi apapun itu, melaporkan penelitian ke polisi bagi saya adalah sikap tergesa-gesa? Bukan tidak mungkin mendatangi kantor tempat Iriani bekerja dan meminta penjelasan. Tapi, Dan jika Iriani dinyatakan bersalah kemudian ditahan apakah itu akan mengubah keadaan? Saya kira, dalam rilis komunitas masyarakat Rongkong, selain akan melakukan aksi demonstrasi. Mereka akan membantah “bias” itu.
 
“Melakukan penelitian untuk membantah karya ilmiah yang ditulis oleh Iriani khususnya kalimat yang menyebut “secara tradisional orang Rongkong masuk dalam strata kaunang dan maradeka.”
 
Dan jika masyarakat Rongkong, melakukan penelitian tandingan itu, kelak saya dengan sabar akan menanti. Bukan kah, itu adalah sebuah langkah yang paling elegan dalam dunia literasi. Dan kita akan disuguhkan debat terbuka, yang memiliki masing-masing sumber, serta metodelogi.
 
Sebab, kita berharap kepolisian tidak melanjutkan laporan itu. Sebab membincangkannya pada ranah pidana untuk sebuah hasil penelitian dalam publikasi ilmiah tidak lah etis. Sebab bila, kepolisian menggunakan Undang Undang ITE. Sebab hal itu akan membuat banyak orang berdiri bersama Iriani.

Rabu, Februari 16, 2022

Mengenal Gua Sebagai Pintu Air di Kawasan Karst


Irwandi Maulana, adalah anggota Komunitas Pencinta Alam (Kompala) Unversitas Fajar Makassar. Dia mahasiswa jurusan Hubungan Internasional dan memiliki minat pada aktivitas penelusuran gua. Pada Senin, 16 Agustus 2021, saat tim mereka menelusuri kampung Lembang Tallasa, Kecamatan Samanggi, Kabupaten Maros, dia menjadi orang pertama menuruni sebuah gua vertikal.

Mulut gua, tak begitu lebar. Melihatnya dari permukaan, dasar gua seperti lubang hitam yang tidak menampakkan dasar. Di sekitaran mulutnya, beberapa pohon telah tumbang, dengan tanah yang cekung sebagai jalur air. Hawanya begitu sejuk. Batang-batang pohon yang berdiri di dekatnya terasa dingin saat disentuh.

Jika hujan deras, air dari permukaan akan meluncur deras memasuki lubang gua itu. Air itu akan jatuh dengan kedalaman 46 meter. Dasar guanya, dipenuhi tanah yang gembur dan kemungkinan suatu waktu akan kembali runtuh. Ini seperti pintu air menuju perut karst.

Puluhan tahun lalu, sejak anggota Asosiasi Speleologi Pyrénéene (APS),Prancis tahun 1985, menelusuri gua-gua dalam bentang alam kawasan karst maros Pangkep ini. Mereka menulis laporan lapangan dan menyatakan sebagai sebuah bentang alam yang unik dan khas dengan tower karst, koridor karst yang panjang, serta gua-gua dengan ukuran besar dan terpanjang di Asia tenggara.

Sementara itu, laporan akhir tahun 2016 Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung mencatat tidak kurang 257 gua sudah ditemukan di kawasan karst yang ada di TN Bantimurung Bulusaraung yang terdiri dari 216 gua alam dan 41 gua prasejarah. Catatan lain menyebutkan dalam luasan 50 km2 terdapat 14 gua yang memiliki kedalaman lebih dari 100 meter. Salah satunya adalah Leang Pute sebagai gua terdalam di Indonesia untuk pitch tunggal (single pitch) yang mencapai 263 meter di bawah permukaan tanah.

Dan gua terpanjang di Indonesia juga berada di kawasan ini, yakni sistem gua Salukang Kallang yang panjangnya mencapai 12.263 meter. Gua ini juga dinyatakan sebagai gua dengan tingkat keragaman hayati terbanyak di kawasan tropis dunia.

Tahun 2017 ini, Taman Nasional kembali menambahkan data gua sebanyak 193 gua gua horizontal sebanyak 160 gua dan 17 gua vertikal, serta terdapat potensi gua horizontal yang juga memiliki gua vertikal dalam satu sistem sebanyak 15 gua.

Ratusan gua ini, menjadi sangat penting sebagai bagian dari sistem penyimpanan dan penyaluran aliran air. Di bawah perut kawasan karst ini terdapat sungai bawah tanah yang, dan di tebing-tebingnya muncu beberapa mata air yang dapat digunakan sebagai sumber air penduduk sekitar serta fauna lainnya.

Kawasan karst ini mencapai 46.200 ha. Dimana 22.800 ha merupakan kawasanTaman Nasional (TN) Bantimurung Bulusaraung. “Tidak bisa selesai. Ini gudang pengetahuan dan petualangan apalagi mengenai gua di Indonesia,” kata Irwandi Maulana.

Ekspedisi menembus kedalaman 1000 meter

Nelfan adalah Ketua Kompala Universitas Fajar. Dia juga menjad ketua tim dalam memastikan semua anggota ekspedisi menelusur dengan aman. Sebelum para penjelajah menuruni perut bumi, dia memasang tali dengan ikatan yang kuat. Memeriksa simpul dan memastikan caribiner terpasang dengan tepat.

“Ini hari ketiga dalam ekspedisi susur gua khusus vertikal. Kami sudah mendapat 141 meter di bawah permukaan tanah. Targetnya adalah 1000 meter,” katanya. 

Untuk apa tim ini melakukan itu? “Untuk mengenalkan gua. Termasuk mengenal ekosistem gua. Selama ini, secara akses, gua horisontal lah yang mudah dijangkau. Nantinya, teman-teman atau para penelusur, akan lebih mudah memilih gua, karena kami sudah petakan,” kata Nelfan.

Peneliti Gua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr. Cahyo Rahmadi, penulusuran gua vertikal menjadi sangat penting untuk lebih mengenal keragaman hayati. “Selama ini, kita tak bisa membandingkan bagaimana biota atau keragaman hayati, antara gua horisontal dan gua vertikal. Karena penelitian untuk gua vertikal masih sangat sedikit,” katanya.

Secara khusus, gua memiliki ekosistem mikro sendiri yang sangat berguna bagi ilmu pengetahuan. Sementara dalam skala luas, gua ibarat sebagai penghubung sistem jaringan air dalam kawasan karst. “Jadi jika gua rusak, atau tertutup, maka itu akan berpengaruh pada sistem hidrologi yang menyambungkannya. Atau jika gua itu menjadi tempat kelelawar, maka secara ekologi akan sangat berdampak pada wilayah sekitar,” lanjut Cahyo.

Di kawasan wisata Rammang-rammang, desa Salenreng, Maros, terdapat gua yang dihuni kelelawar. Kotorannya (feses) yang mengendap di lantai gua menjadi sumber pupuk alami yang sangat penting bari para petani di sekitaran gua.

Di sekitaran kawasan karst Maros Pangkep, gua tidak hanya menjadi pelindung bagi beberapa spesies endemik, namun sangat erat dengan jejak kebudayaan. Gua-gua di sepanjang kawasan ini merupakan situs purbakala yang dindingnya terdapat lukisan tertua dunia pada 45.500 tahun lalu.

“Tak banyak yang menyenangi gua sebagai tempat belajar. Padahal nenek moyang kita dulu adalah penjelajah gua juga. Bukan hanya soal penjelajah laut,” kata Fardi, anggota eskspedisi lainnya.