Senin, Agustus 12, 2024

Tako adalah Takdir di Kombong

29 Juli 2024, lelaki yang ramah dan keras kepala itu meninggal dunia. Saya memerlukan sepekan mengenangnya dengan takzim hampir saban hari. Saya dan kampung kami itu benar-benar merasa kehilangan.

Jika menyebut satu nama di kampungku yang begitu elegan, maka saya akan menyimpan satu: Takdir. 

Takdir adalah nama seorang lelaki. Di kampung, orang-orang menyapanya dengan sebutan Tako. Belakangan ketika dia menikah dan punya anak, dia kemudian disapa Bapaknya Bumi. Bumi, adalah nama anak pertamanya. 

Seingat saya, beberapa tahun sebelum dia menikah, di dekker, tempat kami selalu menghabiskan malam, dia mengeluhkan nama anak-anak yang lahir dengan meniru nama artis. Baginya itu ribet dan susah menyebutkannya. 

Ake deng mangka anakku, laku sanga aku litak,”katanya. 

Dan benar saja. Litak dalam bahasa Luwu, adalah tanah. Maka dinamai lah anak lelakinya menjadi Bumi. 

Tako, dalam ingatan saya sejak SMP, adalah seorang anak muda yang pandai bermain bola. Jika dia bermain, posisinya berada di gelandang serang. Dia juga kadang menjadi second striker – orang di belakang penyerang utama. 

Sebagai seorang gelandang, dia pandai sekali mengatur serangan. Jika Persatuan Sepakbola Kombong bermain, maka tak ada yang berhak mengikat ban kapten di lengannya kecuali dia. Di lapangan, Tako begitu tenang dalam memainkan bola. 

Belakangan, saya membayangkan dia seperti Zidane di Juventus dan Prancis. Serumit apapun bola di lapangan, para pemain cukup mengumpannya ke Tako, maka bola itu akan bergerak dengan begitu anggun. 

Selain kepiawaiannya bermain bola, hal utama lain yang wajib dimiliki pemain bola antar kampung adalah nyali. Tako, adalah manusia yang diberikan takdir dengan nyali diatas level wajar. 

Teman-temannya yang bermain bersama, akan merasa selalu terlindungi dengan hadirnya Tako. Suatu waktu, saya ikut menyaksikannya bermain di lapangan Desa Malela. Itu jika tak salah ingat sekitar tahun 2001. Kombong melawan Temboe. 

Ini adalah dua tim yang kuat. Punya materi pemain yang sangat baik. Pada babak pertama, tegangan antar pemain sudah mulai terlihat. Kami yang menonton tepat disisi garis lapangan, memberi semangat. 

Lalu tiba-tiba, seorang pemain Kombong dijatuhkan dan sangat keras. Pemain dalam lapangan saling dorong mendorong. Saya ingat waktu itu, Jareng, pemain Kombong langsung memukul salah seorang pemain Temboe. Keributan tak terhindarkan. 

Tako berlari ke kerumunan, berusaha melerai. Tapi tak bisa. Dan dia pun ikut berkelahi. Supporter tentu saja ikutan. Aksi saling kejar terjadi, hingga ke dalam kebun kakao.

Suatu waktu lagi, saya melihatnya menangis sesenggukan. Pertandingan itu membawa nama kecamatan Suli. Tako juga menjadi kapten tim. Pertandingan itu dilaksanakan di lapangan desa Kasiwiyang. 

Ini pertandingan yang selalu kami tunggu-tunggu. Sebab di tim lawan ada Gatot, seangkatan Tako yang sama mumpuninya dan sama besar nyalinya. Ketika pertandingan berlangsung, babak pertama begitu menyenangkan. Kasiwiyang tertinggal satu gol. Maka di babak kedua, tensi pertandingan meningkat. Saling sleding pemain dari arah belakang terjadi. 

Tako mengingatkan rekan-rekannya untuk tetap tenang. Tapi entah bagaimana dalam lapangan terjadi keributan dan Gatot mulai memukul. Perkelahian tak terhindarkan. Tako berupaya melerai, tapi dia kena pukul. 

Tak berlangsung lama, perkelahian berhenti. Tako berjalan ke pinggir lapangan dan menangis besar. Dia tak menyangka, Gatot yang dianggap karib dan saudaranya tega memukul adik-adiknya dari Suli. 

Saya menyaksikannya, Tako menangis dengan gemetar. Bagi dia, itu tak patut terjadi. Saudara itu saling menjaga. Saling membantu. “Apa sanganna,” katanya. (Kenapa dia (Gatot) bisa melakukannya) 

Kejadian itu terus membekas diingatan. Tako memberikan saya pelajaran yang jauh dari ucapan, tapi pembuktian. Ah Tako, saya mencintaimu dengan sepenuh hatiku. 

Belakangan, ketika usianya semakin tua, beberapa anak-anak di kampung, termasuk ponakannya, menjadi piawai juga bermain bola. Tako mulai tak bermain. Di kampung, dia menjadi seorang petani yang ulet. 

Dia membangun rumah dan selalu ramah ketika berjumpa. Tako, juga punya mulut yang pedis. Ungkapannya yang jujur dan selalu spontan, tanpa memandang tempat menjadikan banyak orang menjadi telinga panas. 

Pada suatu waktu, seorang anak muda, sedang gemar-gemarnya belajar agama. Pada salat jumat, dia menjadi khatib. Ceramahnya panjang, hingga jelang pukul 13.00 belum usia. Semua orang merasa gusar, tapi tak seorang pun yang mengingatkan. 

Tiba-tiba, Tako teriak. “To la masumbajang sia raka te. Atau iko bammora la disadding maccarita,” protesnya. (Apakah kita akan tetap salat. Atau biar kita dengar kau saja cerita). 

Lalu gaduh terjadi. Dan si anak muda itu menyudahi ceramahnya. 

Tako hampir tak pernah meninggalkan kampung untuk merantau. Dimasa pensiunnya sebagai pemain bola tarkam, dia sangat mudah dijumpai. Dalam perangkat kampung, dia mengabdikan dirinya untuk menjadi seorang yang selalu bisa diandalkan dalam kedukaan. 

Tako belajar bagaimana menggali kubur ke orang-orang tua kampung. Bagi kami di kampung, menggali kubur bukanlah pekerjaan yang serampangan dikerjakan setiap orang yang kuat menggunakan sekop. Tapi penuh dengan doa. 

Jika ada keluarga yang meninggal di kampung, di kuburan, biasanya dia ada duduk didekat lubang dan menjadi penentu bagaimana ukuran liang yang tepat untuk jenasah. Jika secara kebetulan saya pulang kampung dan ada keluarga yang meninggal maka saya akan melipir ke kuburan. 

Di kuburan, kami akan saling bercanda banyak hal sembari menyeruput kopi dan menyulut rokok. Ada satu bahasan yang menyenangkan waktu itu. Tentang hal-hal kecil yang dilakukan oleh anak-anak muda di kampung. Tako mengingatkan untuk memperhatikan siapa yang akan mengangkat keranda kelak. 

Dan begitu saya ditampar dengan kejadian itu. Keluarga yang mengangkat keranda adalah anak muda, atau orang tua yang tidak tamat sekolah. “Ya bassia to tau micacca, panginu, tae jamangna. Ya bassia toi reso menang manjiong. Umba mi to panghapala korang, passubbajang,” kata Tako.  

Biasanya Tako akan melempar pernyataan macam itu ke saya. “Matumbaraka Eko. Tongang raka salah raka to kupau,” lanjutnya. 

Jika sudah demikian maka kami akan tertawa bersama. 

Pada Juni 2024, terkahir kali saya bertemu Tako di kampung. Kami berjumpa di pekuburan. Salah seorang keluarga kami meninggal. Dia menggunakan celana pendek. Dia marah-marah kepada orang yang mengambil papan yang digunakan untuk menahan galian tanah timbunan liang lahat. 

“Ake mi issengi, inda alai. Panguang lalona, la kurampoi. Apa iyya sanga, na baga-baga mele,” ceracaunya. (kalau kalian tahu, siapa yang ambil. Beritahu saya, akan saya datangi. Kenapa dia menjadi orang yang sangat bodoh)

“Apa mo to, passimparang mora dipake. Deng doping, dipameloi, diuki mo milik kuburan, innang pade duka iyya,” (Sekarang lihat, yang dipake itu hanya papan sisa. Sudah ditulis papan milik kuburan, tetap hilang) 

“Masaki te mai tau,” (Ini orang-orang memang sedang sakit semua)

Ah Tako, saya akan merindukanmu. Damailah meninggalmu. Saya mengenangmu sebagai manusia yang ditakdirkan memberikan kampung kita ini kedamaian dan keberanian. Terimaksih.


Kamis, Januari 18, 2024

Kenapa Anak Kecil Tidak Memilih Presiden?


Èlang melihat baliho Prabowo-Gibran di salah satu sudut jalan pusat Kabupaten Maros. Dia membacanya dengan baik. 

Lalu, “Siapa itu Prabowo Gibran?,” katanya.

“Itu calon Presiden dan Wakil Presiden Indonesia,” jawab saya.

“Siapa yang calonkan,”

 

Pertanyaan itu membuat saya harus sejenak mengambil nafas. Saya harus hati-hati menjawabnya. Rentetan perjalanan panjang pasangan calon presiden dan wakil presiden itu bermain di kepala. Kemudian, saya bilang, jika masih ada dua pasangan lain yang jadi lawannya. Anies – Muhaimin dan Ganjar – Mahfud.

 

“Jadi siapa yang jadi presiden?,”

“Tidak tahu. Nanti di pilih di acara yang namanya Pemilu – pemilihan umum,”

“Anak kecil bisa masuk di tempat acara itu?,”

“Bisa. Tapi tidak memilih,”

“Kenapa begitu,”

 

Cerita kami makin rumit. Dan Èlang kembali ke pertanyaan awal. Siapa yang mencalonkan para pasangan itu. Dan saya memberanikan diri menjawabnya. “Partai yang calonkan.”

 

Seperti dugaanku, dia akan bertanya tentang apa itu partai. Lalu saya menjawabnya, dengan pelan; tempat orang-orang yang mau melihat Indonesia dari sisi keuntungan. Tempat kerja dan cari uang juga.

 

“Bapak tidak masuk partai,”

“Tidak. Semoga tidak. Karena bapak masih bisa bekerja sebagai penulis,”

“Tapi bapak nanti pilih presiden siapa?,”

“Belum tahu,”

“Karena bapak bukan anggota partai?,”

“Iya.”

 

Di perjalanan itu, Èlang berbalik ke saya. “Bagaimana caranya orang pilih presiden?.”

 

Jadi saya mencoba membagi pengalaman. Bila, pemilu itu adalah kegiatan di hari yang sama di seluruh Indonesia. Akan ada kertas suara dan gambar pasangan calon presiden itu akan di pasang. Orang-orang akan masuk ke kotak yang tidak boleh dilihat orang lain, terus memilih calon presiden dan wakil presidennya dengan cara menusuknya dengan benda tajam di kertas foto pasangan itu.

 

Penusuknya, biasanya pakai paku. Di tusuk di sembarang tempat yang penting tidak keluar dari kotak foto pasangan. Kalau ada orang yang menusuk dua pasangan sekaligus, atau tiga sekaligus, suaranya dianggap tidak sah. Dan tidak akan diulang.

 

Èlang, terlihat kebingungan. Dia belum bisa membayangkan, bagaimana presiden dan wakil presiden dipilih lewat gambar. “Kalau saya, tidak bisa memilih. Kan saya tidak kenal,” katanya.

 

“Tapi anak kecil belum bisa memilih. Nanti kalau sudah umur 17 tahun baru bisa,”

“Tapi saya memang tidak kenal calon presiden,”

“Kalau mau memilih, Èlang mau pilih calon presiden yang bagaimana?,”

“Tidak tahu. Tapi yang baik saja,”

“Seperti apa baiknya?,”

“Sekolah SD dikasi bagus. Dikasi mobil sekolah. Sama tidak jahat seperti presiden Israel yang mau perang,”

 

Èlang, mengangkat kakinya ke kursi. Dia lalu bilang, “Kalau nanti ada presiden, berarti itu untuk presiden orang besar toh. Kan anak anak tidak pilih,”

 

Saya tertegun mendengarnya. Dan gelagapan mencoba menjawab. Ini menjadi soal serius di kepala saya. Èlang anak kelas dua sekolah dasar, di rumah, sudah mulai memiliki hak suara. Memilih pakaian dan memilih harus memiliki pulpen atau pensil. Atau sepatu. Dia juga selalu mengomentari, bagaimana pengendara yang tidak menggunakan helm, atau kendaraan yang melambung saat garis jalan tidak putus-putus.

 

Anak-anak, diwakili oleh orang dewasa. Berpura-pura mengerti kemauan anak. Orang partai juga bicara perihal yang mengawang-awang untuk anak kecil. Saya bertanya pada beberapa teman sebaya perihal impian dan cita-cita. Tak seorang pun yang hendak mau menjadi presiden.

 

Meski jauh tahun sebelumnya, ketika Soeharto jadi Presiden dan saya masih sekolah dasar. Ada banyak teman yang ingin menjadi Presiden. “Èlang tahu siapa presiden Indonesia sekarang?,”

 

“Jokowi toh,”

“Dia baik atau tidak menurut Èlang,”

“Tidak tahu. Dia juga saya tidak kenal,”

 

Saya tertawa mendengarnya. Menertawai keadaan saya tak bisa menjelaskan dengan baik, bagaimana presiden Indonesia itu. “Bapak sebenarnya, apa pekerjaan presiden itu?,” kata Èlang.

 

Kali ini, kendaraan kami sudah masuk ke jalanan kompleks perumahaan. Saya mengelak dan bilang, untuk berjanji mencari jawabannya. Apa yang tugas utama Presiden untuk anak-anak di Indonesia.?

Sabtu, Agustus 26, 2023

Bagaimana Irama Sangkakala


Pada 20 Agustus 2023, adik bungsu saya wisuda di Universitas Muslim Indonesia. Keluarga dari kampung datang untuk memberinya selamat dan merayakan kelulusan itu. Kami juga foto bersama di sebuah studio di Jalan Meranti. Rasanya menyenangkan.

 

Ini adalah perayaan kelulusan yang memukau. Meski bapak saya tidak bisa hadir karena sementara berlayar di kapal dan adik laki-laki saya juga masih di kapal. Kami tetap bergembira.

 

Tapi perayaan ini spesial. Adik bungsu saya itu merayakannya dengan lima orang ponakan. Yang paling tua dari ponakannya itu adalah Èlang berusia jelang 8 tahun. Dia adalah cucu pertama dari keluarga saya. Dan cucu nomor ke empat dari keluarga Tika, istri saya.

 

Èlang tentu sudah kelas dua Sekolah Dasar. Dia sudah cerewet dan banyak bertanya. Ketika kami berjalan-jalan ke wilayah reklamasi Center Point of Indonesia, karena permintaan mamak saya untuk melihat masjid dengan kubah banyak, dia terperangah melihat seni instalasi di gerbang kawasan megah reklamasi itu.

 

Warnanya emas. Dari dalam mobil kami memandangnya. Bentuknya seperti terompet. Èlang berandai-andai jika kemungkinan terompet sangkakala sebesar itu. Atau lebih besar lagi. Sangkakala adalah terompet yang dalam ajaran Islam, disimbolkan sebagai pertanda datangnya hari kiamat. Ditiup oleh malaikat, Isrofil.

 

Tapi Èlang tiba-tiba bertanya, bagaimana kira-kira irama terompet itu kelak. Apakah seperti nada Telolet, yang biasa dibunyikan mobil truk atau bus? Atau seperti irama klarinet Squidward di film Spongebob.

 

Di dalam mobil kami tertawa. Tapi itu menampar pengetahuan saya juga. Betapa selama ini, saya pribadi tak pernah mempertanyakan itu pada guru agama atau guru saya di sekolah masa lalu.

 

Kematian dan bunyi sangkakala. Apakah iramanya sendu, gembira, atau mengalun tenang. Èlang membawa perbincangan ini menjadi rumit. Di rumah, saya bertanya pada Èlang, bagaimana kalau iramanya, seperti musik yang penuh hentakan. “Pasti orang gembira. Dan joget,” jawabnya.

 

Kembali ke tempat reklamasi itu. Mamak saya akhirnya menjejakkan kakinya di masjid dengan kubah banyak. Dia duduk bersama adik-adik saya di terasnya sambil menghadap ke daratan Makassar. “Kenapa nenek harus melihat ini masjid,” kata Èlang.

 

“Saya juga tidak tahu. Mungkin karena banyak orang bilang ini masjid yang bagus,” jawab saya.  

 

“Kalau saya lihat biasa saja. Tidak bagus juga. Bapak sudah pernah ke sini juga?,”

 

“Tidak pernah. Ini baru pertama. Lihat dari jauh saja,”

“Kenapa? Tidak tertarik seperti nenek?,”

 

Saya dan Èlang kemudian memilih duduk agak menjauh dari rombongan. Saya membawanya jalan-jalan ke pesisir yang sekarang dinamakan Lego-lego. Airnya di bawahnya yang saat ini mereka sebut laut Losari menghitam. Seperti air comberan. Ada banyak sampah. Èlang menduga, pasti bau.

 

Losari, itu adalah keindahan pesisir Makassar. Kini berubah bentuk. Èlang menjadi sangat terkejut ketika saya bilang, bahwa apa yang dia lihat adalah laut. Dia tak habis pikir, laut tanpa ombak itu tak masuk akal.

 

“Terus kenapa sekarang sudah tidak ada laut?,”

 

“Ditimbun untuk menjadikannya perumahan dan toko. Sama tempat sangkakala tadi. Dan masjid,”

 

“Kenapa harus menimbun laut. Jadi laut hilang?,”

 

“Hilang,”

 

Saya melihat Èlang kebingungan. Saya membiarkannya. Baginya, mengganti laut dengan bangunan itu tidak sebanding. Kemudian saya membuka gawai dan memperlihatkan tulisan saya tentang para pencari kerang dan nelayan pemancing di sekitaran Losari masa itu. “Jadi mereka nda ada lagi,” katanya.

 

“Mereka digusur. Tempatnya cari ikan dan kerang dan udang hilang. Jadi mereka tidak bekerja lagi,” jawabku.

 

“Jadi mereka menjadi miskin?,”

 

Saya tak bisa menjawab pertanyaan itu. Lalu Èlang berasumsi, jika para nelayan itu sudah diberikan rumah di tanah reklamasi. Saya cepat memotongnya, jika lahan reklamasi yang didirikan rumah mewah, bukan untuk mereka, tapi untuk orang kaya. Lalu dia memandang saya dengan heran.

 

Kemudian dia membagikan kisah yang didapatkannya dari permainan game di gawainya. “Jadi bapak, ada orang kaya raya. Dan ada orang miskin. Dan ada pengemis yang lebih miskin lagi,” kata Èlang.

 

“Waktu pengemis itu minta roti, orang kaya itu sampai marah-marah dan tendang tempat uang pengemis,”

 

“Terus, orang miskin itu lihat. Dia lagi makan roti. Tapi pengemisnya lapar. Akhirnya roti yang sudah digigitnya, dikasih ke pengemis. Terus pengemis itu makan juga,”

 

“Ternyata yang menyamar jadi pengemis itu adalah tuhan. Dia mau lihat manusia mana yang akan diberikannya diamond. Ternyata orang miskin dan baik hati.”

Rabu, Juli 27, 2022

Batanghari: Sungai Kebanggaan Sumatera yang Kian Merana

 

Pada abad ke 14, sebuah arca batu Bhairawa dengan berat sekitar 4 ton dan memiliki tinggi sekitar 4,41 meter, melintasi sungai itu. Meliuk dari muara melewati alirannya yang besar menuju pedalaman di Dharmasyara. Bambang Budi Utomo, seorang arkeolog Indonesia, memandang batang sungai itu, dan belum menemukan jawabannya, bagaimana orang-orang masa lalu mengangkutnya. Memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain, dengan jarak ratusan kilometer.

“Pengangkutan barang dan manusia melalui jalan darat di wilayah Asia Tenggara baru dikembangkan pada abad ke 19,” begitu Bambang Budi Utomo menuliskan makalahnya.

500 tahun berselang, perjalanan darat baru dimulai dengan massif. Rentang waktu itu menjadikan sungai dan secara umum perairan adalah lalu lintas yang jadi nadi utama. Dan di batang sungai Batanghari inilah, saya dan Bambang Budi Utomo berdiri di pesisirnya, menyaksikan jalan itu.

Sejak 11 Juli hingga 19 Juli 2022, saya bersama 50-an peserta dalam Ekspedisi Sungai Batanghari, oleh Direktorat Pelindungan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia, menjelajahi sungai ini dari pedalaman Dharmasraya di Sumatera Barat (tujuh kabupaten/kota), menuju hilir di kampung Teluk Majelis, kabupaten Tanjung Jabung Timur, provinsi Jambi. Perjalanan itu, menggunakan kapal mesin yang berpendingin ruangan dari kepolisian air Polda Jambi. 

Pada awalnya, ekspedisi ini akan menyusur batang sungai tanpa jedah, lalu berhenti di perkampungan. Namun, beberapa badan sungai, rupanya tak bisa dilayari karena kondisi sungai yang sudah mengalami pendangkalan. Praktis perjalanan penuh dengan mlintasi air, dilakukan di Dhamasraya menuju situs Pulau Sawah, kemudian di dari kampung Rambutan Masam, menuju kota Jambi dan Teluk Majelis.

Saat melihat dan menyentuh air sungai Batanghari yang keruh dan berlumpur itu, pengetahuan yang dibangun sebelum menjejaknya menjadi sirna seketika. Saya menjadi tak tahu apa-apa. Ini adalah sungai purba yang menciptakan kebudayaan agung di sepanjang pesisirnya. Ratusan situs budaya, dari mulai candi, stupa, wihara, hingga bangunan kolonial  menjadi saksinya.

Sungai agung yang membentang sejauh 800 km. Sungai yang penuh romantisme yang diabadikan dalam pantun melayu. Tapi, rasanya sulit mengembalikan kiasan “mewah” dalam pantun tentang Batanghari, yang ada malah kemarahan dan kekecewaan. Di situs benteng Tembesi, siang hari ketika kapal mulai menelusuri airnya menuju Jambi, kami terperangkap di tengah sungai karena lambung kapal kandas. Pasir dan lumpur menumpuk serupa pulau kecil di tengah badan sungai.

Saya sungguh terperanjat. Memandangi sekeliling sungai dan menjadi begitu sedih melihat keadaannya. Dan ketika seorang ABK mengangkat mesin kapal, baling-balingnya terlihat kecoklatan, karena tertempel lumpur. Dia kemudian membuka kaos dan mengganti celana panjangnya dengan celana pendek, lalu melompat turun ke air. Plung, orang itu tak berenang melainkan berdiri dan badannya hanya tenggelam hingga pinggang. Dia berjalan mengelilingi badan kapal lalu memasang tali, lalu sebuah speedboat karet bermesin menariknya. Kapal bergoyang dan lepas.

Jika Batanghari punya air yang jernih, peristiwa kapal kandas ini, bisa jadi adalah sebuah berkah. Sejak awal, ikut dalam ekspedisi, saya selalu menyiapkan celana pendek dalam tas kecil untuk persiapan mandi dan berenang. Tapi saat kapal kandas, dan punya alasan untuk turun membantu mendorong, keinginan itu sudah tak pernah lagi muncul.

Batanghari sungguh tak elok dijadikan sungai untuk melepas penat.

Batanghari menjadi sungai yang menjemukan. Sungai yang lebarnya mencapai 500 meter itu, kini serupa aliran pembuangan raksasa. Di sepanjang perjalanan saya menyaksikan tebing-tebing sungai rubuh dan terkikis. Ada pohon yang beserta akarnya jatuh ke aliran. Ada sempadan yang dipenuhi sawit juga ikut tergerus. Pemandangan selama perjalanan menuju hilir, tak memuaskan hasrat. Pepohonan yang berada di masing-masing sisi sungai, menoton. Jika bukan tanaman karet, maka itu sawit. Jika bukan perkebunan maka itu adalah konsesi pertambangan batubara, atau industri pengolahan karet alam.

Selain daya dukung sungai di sempadan yang sudah berubah, pemandangan di sepanjang sungai juga menyuguhkan kekhawatiran yang sama mencemaskannya. Alat-alat pengeruk pasir yang disebut dompeng, juga sekaligus dijadikan penghisap tanah dan pasir untuk menambang pasir emas.

Dompeng itu berderet di sepanjang sungai dari mulai Tembessi menuju kota Jambi. Bahkan beberapa orang terlihat sedang mendulang di pinggiran sungai. Bagi masyarakat di bantaran Batanghari, kegiatan mendulang emas dengan tradisional sangat berisiko, karena menggunakan cairan merkuri, untuk mengikat emas. Logam berat itu bahkan sisanya dapat mengalir ke sungai.

Tahun 2014, harian Kompas melakukan melakukan uji kualitas air di sungai Mesumi, Merangin dan Tembesi, yang kesemuanya merupakan bagian dari Batanghari. Hasilnya, mereka menemukan jika bahan baku air minum hasilnya, kadar merkuri di permukaan Mesumai 0,0008 mg/l, arsenik 0,002 mg/l, dan besi 2,73 mg/l. Konsentrasi merkuri dan arsenik itu nyaris mendekati batas aman. Kadar besi sudah sembilan kali lipat ambang itu.

Lebih lanjut Kompas juga merinci, jika di wilayah Tembesi untuk kebutuhan air PDAM Tirta Sako Batuah, Kota Sarolangun, tepat di garis kritis. Di saluran intake-nya, kadar logam berat itu mencapai 0,001 mg/l, besi 1,39 mg/l, dan arsenik 0,001 mg/l. Dan sampel air di saluran intake PDAM Merangin, yang airnya bersumber dari Sungai Merangin, sama seperti Sungai Mesumai (0,0008 mg/l), arsenik 0,002 mg/l, tetapi kadar besinya empat kali di atas batas aman (1,31 mg/l).

Sementara itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 soal bahan baku air minum, batas aman adalah: Merkuri 0,001 mg/l, Arsenik 0,005 mg/l, dan Besi 0,3 mg/l. 

Empat tahun kemudian, pada 2018 Kompas kembali menyajikan hasil kajian Direktorat Pengelolaan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bekerja sama Pusat Pusat Studi Lingkungan Hidup Institut Teknologi Bandung, di kecamatan kecamatan IX Koto dan Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya.

Laporan itu kemudian menyebutkan, jika sampel air limbah tailing tambang emas dan sedimen melampaui baku mutu. Dan bahkan merkuri dari tambang emas juga telah mencemati komuditas pertanian warga.

“Dalam kajian itu disebutkan bahwa responden anak-anak terpapar merkuri. Di IX Koto, dari 30 responden anak, konsentrasi merkuri di urine 20 anak melebihi baku mutu 5 µg/g Creatinin. Salah satu responden bahkan datanya sangat ekstrem mencapai 967.742 µg/g Creatinin. Sementara itu, di Sitiung, dari 22 responden anak, 14 orang melampaui baku mutu,” tulis laporan KOMPAS.

Meninggalkan Sungai

Kabupaten Tebo, 13 Juli 2022, saya bertemu Novpriadi (36 tahun). Dia sedang mempraktekkan bagaimana ritual memandikan anak di sungai Batanghari. Prosesi ritual itu diturunkan oleh neneknya, Siti Aminah yang sudah sepuh.

Pelan-pelan dia, menjelaskan peralatan yan digunakan, dari mulai kembang sampai batu. Tapi intinya, ritual memandikan anak bayi ke sungai, sebagai ungkapan syukur dan suka cita. Dilakukan ketika bayi telah putus tali pusarnya, biasanya berusia 7 hingga 10 hari. Bayi itu digendong dan badannya dibasahi air sungai Batanghari. “Waktu saya kecil, cerita orang tua, saya merasakan ritual itu,” kata Novpriadi. “Tapi sekarang orang-orang sudah tak melakukannya,” lanjutnya.

Alasannya karena sungai sudah kotor sekali. Tidak membawa kesehatan, malah membawa penyakit. “Saya punya anak. Saya tidak mandikan anak saya lagi di sungai Batanghari, tapi di rumah saja. Tapi tetap dengan ritualnya,” katanya.

Bagi Novpriadi, bertahan dan mengingat ritual itu penting, untuk menjaga ingatan pada manusia dana lam. Jika sungai sudah rusak, ritual itu menjelaskan, jika masa lalu, setidaknya 20 tahun lalu, sungai itu masih bersih.

Di ujung aliran kampung Teluk Majelis, muara sungai Batanghari, ritual mandi pengantin pun sudah bergerak meninggalkan sungai. Jika dulu, air yang dilakukan dalam penyiraman menggunakan aliran air yang hidup dari Batanghari, kini menggunakan air sumur bor.

Orang-orang sepakat, jika Batanghari sudah rusak dan tak layak dikonsumsi atau bahkan dijadikan ritual.

17 Juli 2022, pagi yang cerah di Teluk Majelis. Indo Umang (40 tahun) baru saja menyiapkan semua perlengkapan sekolah anaknya. Rumahnya menghadap aliran sungai Batanghari yang lebar dan sekaligus berhadapan langsung dengan laut. Jika air pasang, kolong rumahnya yang tinggi akan dipenuhi air, lalu surut beberapa jam kemudian. Rumah Umang, adalah deretan dari rumah terakhir yang berhadapan sungai. Sebelumnya, ada dua lorong kecil mirip gang di perkotaan di depannya, tapi beberapa tahun lalu sudah lenyap, karena tebing sungai rubuh.

“Saya juga sudah bersiap. Sudah beli tanah di sana (dia menunjuk bagian daratan kampung). Kalau cukup uang akan pindah ke sana, karena di sini sudah tidak bisa lagi,” katanya.

Pesisir kampung Teluk Majelis sepuluh tahun terakhir, telah kehilangan sekitar 150 meter daratannya. Sebuah kehilangan besar, dimana suara warganya, tak terdengar. Orang-orang itu mengeluhkan, dampak ekstraktif pengerukan dan perubahaan hutan yang massif awal tahun 2000.

Kapal-kapal dengan tonase besar melintasi sungai dan menciptakan gelombang raksasa di pesisir dan tebing sungai. Perkebunan skala besar, juga mengubah area tangkapan air, dan membuat semua saling bertautan.

Di Rambutan Masam, syair mengenai madu, sebelum para pemburu memanen madunya, kini tak lagi berfungsi. Meski mereka masih menghapalnya, tapi pohon besar dan bunga yang dijadikan lebah sebagai makanan utama telah raib sejak lama.

Harimau, juga gajah sudah lebih awal bersumbunyi di pedalaman, karena pembukaan lahan semakin massif. Binatang-binatang itu bersembunyi, bertahan untuk memenuhi makanan dan keturunan, dan bersembunyi dari para pemburu.

Tanaman yang menjadi kebanggaan warga, kulaitasnya semakin merosot. Dukuh sudah empat tahun terakhir, terserang hama, mula-mula daunnya menguning, kemudian seluruh tangkai dan rantingnya mengering dan mati. Para petani, tak berdaya, bagaimana menyelamatkannya, dan hanya melihatnya mati perlahan.

“Sekarang kita mulai mengenang semua itu. Tapi semua sudah berubah,” kata Bambang Budi Utomo.

Dia ingat betul, sejak tahun 1981, ketika pertama kali dia menjejakkan kakinya di Sumatera, dan membaca literature serta melihat bukti nyatanya dalam tinggalan arkeologis. Dia menyebutkannya sebagai kebudayaan yang besar. Sriwijaya atau pula Dharmasraya, menciptakan kapal untuk perdagangan lintas pulau bahkan negara.

Wihara di kompleks situs Muara Jambi yang kawasannya ditetapkan seluas 3.981 ha dengan ratusan situs membuktikan, peradaban yang besar. Orang-orang datang berguru dan belajar. “Orang-orang itu datang melalui lalulintas sungai. Mereka menjadikan sungai sebagai halaman depan yang perlu dijaga,” kata Bambang.

“Mengapa masa lalu orang bisa hidup baik dengan alam?,” kata saya.

Bambang Utomo, sesaat diam. Dia menggoyangkan baju berkancing yang dikenakannya untuk mendapatkan sedikit hembusan angin di badan. Kawasan situs Muara Jambi memang sangat gerah, meskipun ada banyak pohon besar yang menjadi peneduh. “Apakah orang-orang masa lalu tidak mengkonsumsi binatang?,” kata saya.

“Selama saya penelitian, saya belum pernah mendapatkan catatan mengenai itu. Orang Sriwijaya dan juga Dharmasraya, dalam berita China, dituliskan memperdagangkan Gajah dan Burung, juga hasil hutan lainnya, seperti buah,” kata Bambang Utomo.

“Kalau mereka memakannya, belum ada bukti. Harimau juga tak masuk dalam daftar hewan yang diperdagangkan masa itu. Tapi ingat, mereka menganut ajaran Budha, yang begitu menghargai alam,” lanjutnya.   

 * *Laporan ini juga dipublikasikan Mongabay Indonesia: Menelusuri Batanghari, Sungai Kebanggaan Sumatera yang Kian Merana 

Aktivitas warga di sungai Batanghari

Sungai Batanghari di Kota Jambi.


Di sempadan Batanghari.


Aktivitas bongkar bongkar muat batubara di sepanjang sungai Batanghari.


Hamparan perkebunan akasia untuk bahan baku tissu milik perusahaan.


Tanaman Duku warga yang mati terserang hama.

Senin, Mei 02, 2022

Mudik, Idul Firti pada 2 Mei 2022

Makan Kapurung bersama keluarga di halaman rumah. Foto: Asti

Kenapa mudik menjadi sesuatu yang mengagumkan. Selalu seumur hidup, akan selalu dilakukan oleh  jutaan orang. Bukan soal harga tiket bus, pesawat, dan kapal laut yang naik. Tak peduli pula bahan bakar kendaraan yang ikut mahal. Ini soal berkumpul dan bersama dengan keluarga. 
 
Kampung begitu selalu dianggap sebagai tujuan mudik. Iya adalah kehangatan yang menyenangkan. Ada keluarga, tetangga, dan sepupu. Kampung adalah masa kecil yang terus tersimpan rapi dalam ingatan. Pada tanah, udara, kerikil, sungai, dan kisah-kisah yang akan terus bertahan, seperti hidup.
 
Pada 2 Mei 2022, di kampung saya Kombong, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu, sejak pukul 06.00 ratusan warga telah berjalan dengan pakaian salat dua rakaat untuk idul fitri. Mereka melewati rumah-rumah, dan saling berteriak untuk membuat penghuni lainnya, bersigap. Warga berjalan dengan penuh semangat. Manggandeng anak dan mengenalkannya pada semua keluarga.
 
Ber-idul fitri, adalah bersama. Di kampung saya, salat dilakukan di lapangan kecamatan. Orang-orang datang menggelar tikar, terpal plastik, hingga koran bekas, sebagai alas sajadah. Diantara setiap baris, sendal terususun berjejer pula.
 
Ketika salat dimulai, kami menghadap alas kaki orang di depan. Bersujud hampir menyentuh sendal. Biasanya salat akan dimulai pada pukul.07.30. Dua rakaat itu akan kelar sekitar 10 menit.
 
Namun persiapannya panjang. Sebelum salat, para perwakilan masjid dari setiap lingkungan kampung akan berdiri di mimbar dan mengumandangkan takbir. Jemaah akan mengikutinya. Setelah itu, baru kemudian mednengarkan kata sambutan Bupati Luwu, yang dibacakan kepala kecamatan.
 
Kali ini, di tengah matahari yang semakin tinggi, dan membuat punggung serasa terpanggang, saya berpikir mengenai sambutan itu. Sambutan yang entah siapa yang menuliskannya. Terasa sangat kering. Isi sambutan yang terulang setiap tahun, siapa pun bupatinya. Apakah pentingya sambutan itu?
 
Saya menimbang-nimbang dan berusaha mengikutinya dengan baik. Mencari pengetahuan baru di dalamnya, kepalanya saya bekerja keras. Sambutan itu, bilang kalau ini adalah hari kemenangan, hari dimana semua umat muslim bersuka ria, karena telah melalui puasa. Lalu diakhir sambutan, kepala kecamatan, kemudian membaca permintaan maaf pada semua masyarakat atas nama bupati, Basmin Mattayang dan keluarga.
 
Benarkah warga penting mendengar sambutan bupati dalam rangka idul fitri itu? Beberapa orang malah mengeluh. Mereka bilang, tidak tahu apa yang dibicarakan dalam kata sambutan itu.
 
Saya jadi berpikir, mungkin akan lebih menarik, setiap tahun sambutan bupati pada setiap perayaan idul fitri menjadi laporan pertanggung jawabannya. Berapa anggaran, dan apa saja yang telah dilakukannya dalam menjalankan pemerintahan di wilayahnya.
 
Tapi, apapun itu, saya kemudian menduga jika sambutan itu seperti halnya khutbah jumat, yang membaca buku lama. Dimana beragam perkembangan isu tidak menjadi landasan khutbah.
 
Pernah kalian berpikir, jika khutbah jumat dan sambutan bupati saat idul fitri itu sama saja dengan kalian mendengarnya puluhan tahun lalu sampai sekarang.
 
Jadi selepas salat idul fitri, di kampung kami juga mendegar ceramah dari orang yang ditunjuk pemerintah setempat sebagai ulama. Kali ini, ceramahnya sangat mengesankan kelirunya. Dia melontarkan kalimat seksis. Dia masih bilang jika perempuan yang akan mencium bau surga adalah mereka yang melayani suaminya dengan baik, untuk dapur, rumah, hingga kasur.
 
Anak saya berusia jelang tujuh tahun, melihat saya dengan baik. Dia hendak bertanya, tapi kusanggah dengan cepat. Bahwa yang dibicarakannya keliru. Semua orang punya cara beribadah sendiri, punya cara mensyukuri kenikmatannya sendiri sebagai manusia. Bukan soal layan melayani.
 
Jelang pukul 08.30, prosesi salat idul fitri selesai. Ratusan warga meninggalkan lapangan. Mereka berdiri, dan saling mengulurkan tangan saling bermaafan. Mereka saling memeluk dan saling mengenalkan diri pada orang yang lebih tua.
 
Berjalan keluar lapangan pun, dengan pelan. Sebab semua saling mengenal. Warga yang dilalui rumahnya akan meminta setiap orang untuk singgah dan mencoba makanan lebaran. Ada kue kering, ada kari ayam, ada sirup dingin, ada kopi, ada kisah.
 
Setelah itu, berbondong-bondong warga menuju kuburan umum. Di sana, orang-orang berziarah dan memberikan doa pada mendiang keluarga yang meninggal. Anak saya, yang ikut dengan antusias membaca semua nama di nisan.
 
Dia ingin mengenal siapa nenek moyangnya. Saya memperlihatkannya nama Nenek dan kakek. Lalu memperlihatkannya kuburan orang tua nenek saya, lalu saudaranya, dan keluarga lainnya.
 
Dia tak puas, dia ingin tahu siapa nama nenek-nya nenek moyangnya. Dan bagaimana kuburnya. Keluarga lain yang mendengar ikut tertawa dan menjawabnya jika itu susah. Sebab tradisi kami menguburkan jenasah dengan nama, hanya ada beberapa puluh tahun belakangan. Sebelumnya, orang tua kami hanya menandainya dengan nisan batu dan menurunkan kisah, jika itu adalah keluarganya.
 
Generasi selanjutnya kemudian banyak lupa. Ini tentu saja berbeda, dengan tradisi masyarakat Toraja, dimana jenasah dan kerangka leluhurnya terjaga dengan baik. Pun dilakukan ritual ma’nene – ritual membuka liang kuburan untuk mengenang kembali leluhur.
 
Ini lah mudik bagi saya. Dia membawa saya kembali terhubung dengan kampung dan leluhur. Dia menjelaskan mengapa kami para anak keturunan berada dalam dunia ini. Kami hidup dengan menekuni ilmu pengetahuan dan terus menjaga keterhubungan itu.
 
Saya pun masih mencintai kisah mistis di kampung. Jalanan yang punya hantu, agar pelan-pelan saat melajukan kendaraan. Atau pohon yang punya penjaga mahluk halus, agar benar-benar menghargai setiap yang hidup.
 
Kampung juga memberi saya pengetahuan akan perubahaan bentang alam. Sungai yang dikeruk menjadi lebih buruk. Pangan yang terus menerus dipenuhi pestisida. Hingga bagaimana anak muda semakin jauh dari pekerjaan dengan tanah.
 
Saya sendiri adalah generasi yang tak mampu mengolah tanah. Tangan saya tak piawai mengayunkan parang untuk menebas rumput. Punggung saya tak kuat membawa beban. Atau kulit saya menjadi begitu rapuh ketika digigit nyamuk dan daun yang punya efek gatal.
 
Padahal saat saya kecil, saya merasa daun dan rumput yang gatal untuk saat ini bukanlah sebuah masalah. Saya bisa berlari tanpa menggunakan sandal, kini tak kuat lagi. Ini lah yang menjadikan mudik menjadi begitu mengesankan. Memberi pengetahun yang jauh lebih dalam, mengenai kekurangan-kekurangan saya.

Senin, Februari 21, 2022

Elang, Sudah Tidur Sendiri

La Wellang Rawallangi, nama anak lelaki kami. Sapaannya Elang. Dia akan berusia genap tujuh tahun pada Mei mendatang.
 
Hampir tiga tahun ini, dia tumbuh di tempat yang sungguh indah. Berlari dan bermain dengan teman-temannya, dimana dia menghirup udara dari tebing karst. Dia juga sudah mengalami bagaimana seluruh badannya menjadi bentol, ketika musim ulat bulu. Kakinya yang penuhi bekas garukan karena gatal, dari rumput yang ditempatinya berlari atau tiduran bersama teman-temannya.
 
Dia anak yang energik. Pertanyaannya pun sudah semakin detil dan membuat saya harus belajar ulang. Dia bertanya tentang pohon yang bisa tumbuh dibatu karst. Bertanya mengenai aliran sungai, kenapa keluar dari batuan. Memperhatikan ular air yang memangsa kodok.
 
Dia tumbuh dengan sehat. Itu yang kami perhatikan. Saya dan Tika sebagai orang tua, berusaha menemaninya bermain. Saya sesekali membacakannya buku sebelum tidur. Tapi Mamaknya yang paling rajin. Kini dia, menggandrungi serial Avatar Ang. Kadang-kadang jika ingin minum gelas airnya diletakkan di meja, dan mempraktikkan gerakan Katara – si pengendali air – untuk meminta air itu melayang dan masuk ke mulutnya tanpa harus memegang gelas.
 
“Dimana saya harus belajar ilmu pengendali air bapak,” katanya.
 
Pertanyaan seperti itu selalu membuat saya gelagapan. Dan dia mengerti saya tak mampu menjawabnya. Lalu dia sendiri mengabaikannya, dan kadang dengan cetus bilang. “Bapak waktu kecil nda pernah mau belajar kendalikan air kah.”
 
Sepuluh hari ini, dia benar-benar dapat dengan tenang menikmati film itu. Tokoh favoritnya adalah Avatar Roku, sebab dia menjadi penyelamat Ang jika sedang membutuhkan bantuan. Roku juga tinggal di dunia arwah. Dialog favoritnya, ketika Roku mendatangi Ang; kami tidak perlu bersidih, karena ini adalah salah saya, yang seharusnya bisa mencegah perang ini terjadi pada masa lalu.
 
Dia sudah punya kamar sendiri, yang ditatanya dengan kemauan sendiri. Dia memilih sendiri letak kasur hingga bagaimana menyusun bantal.
 
Ya, Elang sudah tidur sendiri. Dimulai pada Kamis malam, 10 Februari 2022, ketika dua hari sebelumnya saya mengecet kamarnya dengan warna biru tua dan biru muda. Dia juga lah yang memilih warna itu. Kami mengajaknya ke toko bangunan dan memintanya menentukan pilihan.
 
Awalnya dia ingin warna merah dan hitam. Tapi kami memberinya pertimbangan, jika warna itu sangat gelap dan bisa mengundang banyak nyamuk. Lalu pencahayaan kamar pun harus bagus, sementara rumah kami, hanya menggunakan satu bola lampu standar setiap kamar.
 
Katalog warna di toko bangunan dia perhatikan dengan baik. Dan pilhannya jatuh pada warna kamar temboknya saat ini.
 
Rumah kami adalah perumahaan subsidi, yang hanya punya dua kamar. Rumah ini kami tata dengan kepala ideal kami. Dimana satu kamar kami anggap sebagai kamar utama. Tempat kami tidur bersama. Satu kamar lainnya, diperuntukkan untuk keluarga, tamu, dan teman-teman yang kebetulan bermalam di rumah.
 
Tapi kini, “kamar tamu” sudah menjadi milik Elang. Jadi bisa saja tamu yang akan menginap akan tidur di ruang utama rumah, di atas karpet, bersisihan dengan rak buku dan mesin jahit Tika. Tapi jika Elang mengizinkan masuk ke kamar, boleh lah tidur di kamarnya.
 
Kejadian, kemarin 19 Februari, adik perempuan saya yang kuliah di Makassar, datang ke rumah. Karena dia datang malam, dan Elang sudah tidur, mood-nya kurang bagus. Dia menolak tantenya menemaninya tidur. Dan akhirnya, harus rela tidur di karpet.
 
Keesokannya, dia membujuk Elang, menemaninya main dan akhirnya dengan ikhlas memberikannya ruang di kasur kamarnya tidur Bersama. 
 
Tapi, sebelum kamar itu menjadi milik Elang, kami punya rak buku di dalamnya. Dan juga boks yang berisi buku – karena kami masih kekurangan rak buku. Tapi ketika Elang resmi memiliki kamar itu, dia meminta mengeluarkan buku bacaan kami berdua. Dia ingin, rak buku itu diganti dengan semua koleksi bukunya.
 
Akhirnya tak ada pilihan lain, saya terpaksa harus memilah buku yang tak begitu saya gunakan untuk kemudian disumbangkan, begitu pula Tika. Rak buku itu punya enam kotak. Dua kotak dideret buku bacaannya. Dua kotak lainnya, kami minta untuk menempatkan beberapa buku yang kami anggap penting untuk tidak dipajang dirak ruang utama.
 
Dua rak lainnya, tempatnya menyusun tiga buah tabung celengan. Serta beberapa Pernik mainannya. Di bagian atas rak, ditempatkannya buku-buku besar, dan action figure berdiri rapi. Dari mulai Batman sampai Thanos. Boks mainan lainnya berada di sisi kasur dekat kepalanya.  
 
Malam pertama yang memukau
Ketika Elang sudah yakin akan tidur sendiri, kami cukup gembira. Saya dan Tika, akhirnya mengalami proses ini. Ketika dia sudah tidur di kamarnya, kami mematikan lampu kamar dan membiarkan pintu sedikit terbuka agar cahaya dari lampu dapur bisa menerobos masuk kamar.
 
Sementara saya dan Tika tidur dengan perasaan berbeda. Biasanya ada Elang ditengah kami, dan sebelum tidur selalu saling menjahili. Kini di kasur ukuran tiga ini, kami hanya berdua. Pintu kamar kami lebar, untuk memastikan jika Elang bangun tengah malam dan memilih masuk kamar.
 
Beberapa kali saya terbangun dan mengintip Elang di kamarnya. Dia nyenyak sekali tidur, sambil memeluk boneka Doraemon yang dijadikannya guling. Boneka itu adalah hadiah ulang tahunnya usia 2 tahun dari Mamak Cung – kolega kami di Makassar.
 
Elang tidur dengan nyenyak dan kami bangun pagi bersama, dan melihatnya dengan bangga. Lalu membantunya merapikan kasur. Setelah itu mandi, sarapan dan dia berangkat sekolah.
 
Dan di pintu kamarnya tertulis dengan tinta pensil: Orang endak boleh masuk hanya Elang.