Mahade Tosalili, 76 tahun. |
Rumah kebun Mahade, berdiri diatas permukaan air danau Matano.
Punya satu ruangan utama. Di situ ada dapur dan sebuah ranjang kayu dengan kasur
lipat. Di beberapa bagiannya, ada peralatan berkebun berjejer.
Saya berkunjung ke tempatnya pada Kamis, 12 April 2012,
sekitar pukul 14.00. Dia menerima saya, di beranda belakang rumah. Halaman
belakangnya adalah hamparan permukaan danau Matano. Kami bersendagurau di
beranda itu, sembari mengisap rokok dan tertawa sesekali.
Kampung Nuha, di seberang danau terlihat begitu kecil,
seperti miniatur permainan puzzle yang bisa ditata ssesuka hati. Kampung Nuha
dengan jarak tempat kami, bisa ditempuh dalam 45 menit perjalanan menggunakan
perahu Rap – dua buah perahu yang digabungkan menjadi satu, mampu mengangkut
kendaraan roda dua dan empat.
Siang itu, permukaan Matano begitu tenang. Airnya
bergelombang seperti kain gorden yang tergantung dijendela rumah. Lembut
sekali. Sesekali ada seekor burung keluar dari bawah papan, menukik ke
permukaan, kemudian masuk kembali ke kolong rumah. Udara siang itu sejuk
sekali, anginnya berhembus pelan. Asap rokok mengepul tak keruan.
Di atas meja ada segelas kopi, sesekali diseruputnya. Usia
Mahade sudah 76 tahun. Punya sembilan orang anak, empat perempuan, lima
laki-laki. Dia menikah tahun 1959. Anak pertamanya lahir kembar tahun 1961 di daerah
pengungsian kampung Seluro, bagian timur Matano.
Penduduk kampung Sorowako mengungsi ke kampung Seluro tahun
1955, karena dipaksa oleh pasukan pergerakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar. Di
Seluro, ratusan warga pengungsi itu hidup sederhana, hubungan dagang terputus
dengan perkotaan. Makanan utama mereka adalah singkong. Umbinya dijadikan
makanan pokok dan daunnya dijadikan lauk.”Sedih sekali waktu itu. Apa adanya
saja,” kata Mahade. “Seperti juga ini kopi, dulu tidak ada gula pasir. Jadi gulanya
pakai gula merah.”
Pada masa itu, Kahar Muzakkar mengeluarkan maklumat beberapa
larangan. Masyarakat kemudian mengenalnya dengan Catatan Bathin, berisi
beberapa pantangan, seperti tak boleh mengkonsumsi gula pasir, tidak boleh menggunakan
jas, dilarang pakai lonceng (jam tangan), dilarang pakai emas, dan beberapa
lainya.
Catatan Bathin benar-benar diaplikasikan. Ada beberapa
pasukan khusus DI/TII yang berjalan melakukan penggeledahan ke kampung-kampung
dan menyambangi rumah satu persatu. “Dulu punya bapak saya itu banyak diambil,
ada beberapa emas,” kata Mahade.
Mahade adalah keturuanan dari kepala kampung Sorowako. Neneknya
adalah Tosalili yang begitu tersohor. Kemudian diteruskan Lasalima, lalu
bapaknya Maloni. Tosalili adalah kepala kampung yang begitu dihargai pada
samannya. Dia yang menjadikan masyarakat Sorowako memiliki kampung yang makmur.
Punya ratusan hektare sawah dan lahan perkebunan yang baik.
Usia Mahade pada masa pengungsian ke Seluro sekitar 18
tahun. Sudah menamatkan jenjang pendidikan dasar di Sekolah Rakyat Malili. Tapi
pergerakan Kahar Muzakkar memaksanya tidak mengenyam pendidikan lanjutan. Sementara
dua orang kakaknya yang sudah lebih dulu di kota terperangkap dan tak dapat
kembali lagi, tapi tetap melanjutkan sekolahnya hingga menjadi pejabat pemerintahan.
Setamat SR, Mahade langsung menjadi guru sekolah di
Sorowako. Memberi pelajaran untuk semua mata pelajaran, dari agama hingga
berhitung. Tak ada penghasilan sebagai guru, hanya untuk pengabdian. Tapi keuntungan
lainnya terbebas dari wajib militer Kahar Muzakkar. Padahal semua anak muda
sebayanya diwajibkan.
Salah satu sudut danau Matano diambil dari beranda belakang rumah kebun Mahade. |
ORANG-ORANG Sorowako bertahan di pengungsian selama sembilan
tahun. Mereka bergerak dalam dua tahap. Pertama kali tahun 1955 dan kedua
kalinya tahun 1962.
Ketika penduduk Sorowako berangkat ke Seluro pertama kali tahun 1955, dua
tahun kemudian rumah mereka dibumi hanguskan pasukan DI/TII. “Apa
alasan mereka membakar rumah,” kata saya. “Tidak tahu. Mungkin mau mengosongkan
kampung saja,” kata Mahade.
Mendengar kampung mereka dibakar, Mahade dan penduduk di
pengungsian begitu terpukul. Harapan mereka untuk kembali di tanah kelahiran
sudah semakin pupus. Sementara persdiaan makanan begitu sulit.
Dalam beberapa tahun, Mahade misalnya hanya memiliki dua
lembar baju dan sebuah celana panjang. Kadang kala, untuk berangkat mengajar, harus
menunggu baju kering. “Jangankan pakaian, satu sarung saya robek jadi dua untuk
anak-anak saya. Karena memang tidak ada apa-apa lagi,” kata Mahade.
Dan keadaan semakin genting, singkong sebagai penopang
makanan utama tak bisa diandalkan. Padi pun
sangat susah tumbuh. Sementara pohon sagu berada di daerah terlarang yakni
Wasuponda dan sekitaran kampung Matano.
Memasuki paruh akhir pergerakan Kahar Muzakkar ada satu
kesatuan yang terbentuk dan begitu menakutkan. Namanya BAJAK. Kesatuan ini tak
mentolerir warga yang datang dari perkotaan, mereka membunuh dengan kejam. Menggorok
leher.
Saya bertemu dengan koordinator BAJAK pada pertengahan 2010
di Palopo. Namanya Andi Nyiwi. BAJAK adalah singkatan dari Barisan Anti Jawa
Komunis. Mereka membunuh orang-orang yang dicurigai terlibat sebagai komunis. Biasanya
mereka membunuh dulu, baru melaporkannya ke Kahar Muzakkar.
“Saya kira itu (BAJAK),
yang bikin habis manusia,” kata Mahade.
Suatu waktu di kampung Lambatu ditangkap tujuh orang pemuda.
Mereka berasal dari Tabarano, pusat kecamatan yang sudah sedikit maju. Mereka
hendak mencari sagu di daerah Wasuponda. Tanpa alasan yang jelas orang-orang
itu diangkut ke kampung Seluro.
Salah satu dari tujuh orang itu adalah kawan sekolah Mahade,
namanya Lasuni. Ketika orang-orang itu, digiring ke tempat eksekusi yang ditandai
dengan sebuah lubang besar, Lasuni menegur Mahade. “Saya mau pergimi saya
duluan,” kata Lasuni ditirukan Mahade. “Wah.. sedih sekali rasanya. Itu saya
lihat dengan mata kepalaku sendiri.”
Karena kejadian itu, beberapa peringatan dari orang tua
kampung, agar menghentikan pencarian sagu. Dan menghadapi saja kenyataan untuk
makan yang ada. Tapi masalah perut tentu tak bisa ditolerir. Pada malam hari
beberapa rombongan laki-laki mengarungi Matano menggunakan perahu, mendayung
dari Seluro ke Kampung Matano selama sehari penuh. Perahu tak menggunakan
layar, karena akan mudah ketahuan. Mereka melakukannya hingga menjelang tahun
1962.
Tahun 1962 muncullah keadaan yang dikenang dengan masa
SISPAIR. Keadaan mulai membaik. Penduduk di Seluro kembali ke Sorowako. Membangun pondok-pondok dari bekas rumah masing-masing
yang sudah jadi arang. Orang-orang mulai menggarap ulang sawah.
Tapi nafas kedamaian itu hanya sesaat. Saat padi mulai menguning ketegangan terjadi lagi. Masyarakat
mudik lagi ke Seluro. Tanpa menunggu panen.
Di tahun yang sama rombongan tentara Indonesia, mulai
memasuki Sorowako. Dan keadaan itu belum diketahui masyarakat pengungsi.
Laki-laki yang menyangkan garapan sawahnya, bergiliran dari Seluro ke Sorowako untuk
menjaga padi yang menguning.
Dan pada sebuah malam, saat Mahade dan 30 laki-laki lainnya
yang menjaga padi, mereka tertangkap oleh tentara. Digelandang ke sebuah masjid
dipinggiran danau (kini masjid itu di Jalan Tosalili Sorowako). Komandan kompi tentara meminta penduduk
dikembalikan keSorowako. “Jadi sekitar pukul 04.00 diantara kami berangkat enam
perahu ke Seluro. Menjelang siang, rombongan belum kelihatan. Saya khawatir
sekali, jangan-jangan mereka tidak pulang dan kami jadi sandera,” kata Mahade.
Sekitar pukul 11.00 komandan kompi dari tentara hilir mudik mengamati
pesisir Matano. Tiba-tiba dari kejauhan
rombongan perahu itu bergerak lamban, ramai sekali, seperti barisan kupu-kupu. Lalu
berlabuh di depan masjid. “Saya lihat itu komendan kompi, mungkin kasihan. Bagaimana
tidak orang-orang yang datang semuanya berbaju robek-robek. Lalu kami disuruh
tidak pulang ke Seluro dan cari rumah masing-masing,” ujar Mahade. “Senangnya
kami minta ampun.”
WAKTU mengingat masa itu, wajah Mahade tiba-tiba berubah. Rautnya
menjadi tegang. Dan matanya mulai basah. Dirapatkannya sedikit punggung ke
sandaran kursi lalu menghembus nafas. “Semoga itu yang terakhir.”
Nice story... kisah tentang sorowako yang jarang diulas di internet.. siiip... kunjung balik ke blog kami www.ngambarsari.com ,salah satu redaksi kami jg kerja di sorowako... keep blogging ....
BalasHapusmantap kakek mahade ada biografinya!!!
BalasHapussemoga bermanfaat buat semua, agar lebih bersyukur atas nikmat yg diberikan
BalasHapussemoga bermanfaat buat semua, agar lebih bersyukur atas nikmat yg diberikan
BalasHapusBangga bisa pernah ngobrol sm beliau
BalasHapusBangga bisa pernah ngobrol sm beliau
BalasHapus