Jumat, Juni 15, 2012

Bulu Poloe dalam Dua Masa

Bulu Poloe Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Mengunjungi Bulu Poloe seperti melawat ke masa lampau. Masa yang penuh misteri, masa dimana orang-orang tunduk dengan kehendak dewa. Saya berusaha membawa diri kembali pada abad ke 12 hingga 16, mereka-reka adegan dari beberapa bacaan. Dimana ketika itu, kerajaan Luwu begitu tersohor di pusatnya Ussu. Masa dimana epik I La Galigo diciptakan. 

Bulu Poloe adalah bagian dari perjalanan cerita I La Galigo. Satu dari banyak adegan yang menimbulkan drama mencekam. Saya mendengar nama Bulu Poloe, pada saat bersekolah di SMP. Mendengar ceritanya dari nenek, tentang sebuah gunung yang terbelah ketika Sawerigading, orang tua I La Galigo menebang pohon Walenrenge.

Pohon Walenrenge pada masa itu adalah pohon raksasa. Konon pucuk-pucuknya bisa terlihat hingga pulau Jawa bila cuaca sedang bagus.

Bulu Poloe dalam bahasa setempat artinya gunung yang terpotong.

Dalam epik I La Galigo, Bulu Poloe terjadi saat Sawerigading akan hendak menuju negeri Cina. Konon lautan pada masa itu, cukup ganas, gelombang tinggi dan begitu mencekam. Lautan seperti medan yang tak tergapai. Untuk itu, Sawerigading memerlukan perahu besar untuk mengarungi samudera.

Namun keinginan utama mengarungi lautan itu, karena niat Sawerigading menikahi saudarinya We Tenriabeng ditentang oleh para dewa. Dan Tenriabeng menyarankannya menuju negeri Cina, dimana hidup seorang  putri bernama We Cudai, yang rupa dan wajahnya mirip dengannya. Perbedaannya bila Tenriabeng memiliki kulit kuning langsat, maka Cudai berkulit putih bersih seperti susu. 

Sawerigading setuju. Akhirnya rencana pelayaran pun dilakukan. Dia memilih pohon Walenrenge di daerah Cerekang. Pohon dewa yang begitu dikeramatkan. Tapi, saat Sawerigading mulai menebang pohon, dengan kapaknya, pohon tersebut tak “bergeming”. Kulitnya tak sedikitpun merasakan pukulan Sawerigading.

Akhirnya digelar lah sebuah ritual, mengumpulkan ratusan bissu untuk upacara. Bissu adalah para pendeta bugis kuno atau ahli spiritual. Dalam pandangan masyarakat Bugis, bissu menjadi perantara antara manusia dan dewa. Dan akhirnya Patoto’e atau dewa yang bermukim di langit dan bertugas sebagai penentu takdir (toto’) membawa sebuah kapak khusus untuk Sawerigading. 


Dengan kapak dewa itu, akhirnya Walenrenge pun tertebas.

Ketika Sawerigading sedang asyik menebas Walenrenge, sisa kulitnya beterbangan tak tentu arah. Dia menghantam beberapa bukit di sekitarnya, hingga menjadi batu asah di daerah Sulawesi Tenggara. Sementara burung-burung yang berumah di dahan, dan di pohon beterbangan. Riuhnya menggempar jagad raya.

Walenrenge tumbang jua, ada ribuan telur burung pecah. Menggenangi tanah. Dan batangnya yang besar membela gunung. Itu juga mengakbatkan banjir.

Dan di tempat gunung terbelah itu lah, pada 8 hingga 9 Juni 2012 saya berada. Menumpang sebuah kapal yang disewa klub pemancing dari Towuti. Saya melihatnya tanpa bosan, memperhatikan lekuk-lekuknya dan melihat pohon-pohon yang berjejer. Ada suara kicauan burung, dan suara monyet.

Laut begitu tenang. Hanya ada gelombang-gelombang kecil. Warna airnya biru pekat.  Di pinggiran tebing Bulu Poloe, warnanya biru terang. Dasar laut dari tebing gunung, curam. Kapal kami membuang jangkar, ditepian tebing curam. Yang dalamnya mencapai 20 meter.

Gunung yang terpotong akhirnya membentuk satu pulau yang cantik. Ada bagian tertentu mengeluarkan gemricik air terjun, lalu jatuh ke laut. Bulu Poloe juga memberikan kehidupan baru bagi nelayan sekitar, sebab membentuk selat, dengan putaran arus yang tak terlalu kencang. Konon karang-karang di tempat itu hidup begitu subur. Ikan-ikan pun beragam.

Saat menikmati malam di atap perahu dengan sedikit gerimis, saya melihat Bulu Poloe seperti bayangan. Saya kemudian mengandai-ngandai sebesar apa Walenrenge pada masa itu. Saya menoleh ke arah kota Malili, hanya ada kabut, gunung-gunung bahkan tak terlihat.  Jarak antara Malili menuju Bulu Poloe sekitar 60 kilometer.

Kemudian, pada siang harinya kapal kami melalui jalur patahan gunung itu, jaraknya juga ada ratusan meter.


JERRI sudah sering mengunjungi Bulu Poloe. Dia tahu beberapa bagian pulau itu. Patahan gunung itu, kata dia, merupakan tempat favorit ikan.

Menurut dia, di selat Bulu Poloe ikan selalu datang dengan bergerombol. Tapi bagian lainnya, karang-karang juga sudah mulai rusak. Banyak orang yang mengebom. “Iya, dulu disini banyak orang datang membom ikan,” sambut ayahya membenarkan.


Jerry adalah siswa sekolah dasar di Malili. Dia bersama ayahnya membawa kami menju Bulu Poloe. Dia sangat cekatan, membuang jangkar kapal, menarik tali, atau juga menyetir kapal.

Saya diam mendengarkan cerita anak dan bapak itu. Mereka seperti hendak berkeluh kesah. “Ada juga orang disini yang membom, tapi lebih banyak orang luar yang datang,” katanya ayahnya. “Padahal ada juga rumah angkatan laut (TNI AL) di Bulu Poloe, tapi tetap saja ada yang membom,” lanjutnya.

Jika memang taman laut Bulu Poloe sudah mulai rusak, maka ini merupakan kecelekaan kedua untuk lingkungan. Kecelakaan pertama, bagi saya ketika Sawerigading menebang Walenrenge. Membuat gunung terbelah dan menghancurkan ratusan telur.

Kecelakaan kedua ketika bawah laut Bulu Poloe juga mulai rusak. Dari atap kapal, saat mulai mendekat ke tebing gunung, saya melihat karang memang tak semarak. Hitam seperti batu-batu gunung. Saya juga tak melihat ikan-ikan kecil berenang. 

0 comments:

Posting Komentar