29 Juli 2024, lelaki yang ramah dan keras kepala itu meninggal dunia. Saya memerlukan sepekan mengenangnya dengan takzim hampir saban hari. Saya dan kampung kami itu benar-benar merasa kehilangan.
Jika menyebut satu nama di kampungku yang begitu elegan, maka saya akan menyimpan satu: Takdir.
Takdir adalah nama seorang lelaki. Di kampung, orang-orang menyapanya dengan sebutan Tako. Belakangan ketika dia menikah dan punya anak, dia kemudian disapa Bapaknya Bumi. Bumi, adalah nama anak pertamanya.
Seingat saya, beberapa tahun sebelum dia menikah, di dekker, tempat kami selalu menghabiskan malam, dia mengeluhkan nama anak-anak yang lahir dengan meniru nama artis. Baginya itu ribet dan susah menyebutkannya.
“Ake deng mangka anakku, laku sanga aku litak,”katanya.
Dan benar saja. Litak dalam bahasa Luwu, adalah tanah. Maka dinamai lah anak lelakinya menjadi Bumi.
Tako, dalam ingatan saya sejak SMP, adalah seorang anak muda yang pandai bermain bola. Jika dia bermain, posisinya berada di gelandang serang. Dia juga kadang menjadi second striker – orang di belakang penyerang utama.
Sebagai seorang gelandang, dia pandai sekali mengatur serangan. Jika Persatuan Sepakbola Kombong bermain, maka tak ada yang berhak mengikat ban kapten di lengannya kecuali dia. Di lapangan, Tako begitu tenang dalam memainkan bola.
Belakangan, saya membayangkan dia seperti Zidane di Juventus dan Prancis. Serumit apapun bola di lapangan, para pemain cukup mengumpannya ke Tako, maka bola itu akan bergerak dengan begitu anggun.
Selain kepiawaiannya bermain bola, hal utama lain yang wajib dimiliki pemain bola antar kampung adalah nyali. Tako, adalah manusia yang diberikan takdir dengan nyali diatas level wajar.
Teman-temannya yang bermain bersama, akan merasa selalu terlindungi dengan hadirnya Tako. Suatu waktu, saya ikut menyaksikannya bermain di lapangan Desa Malela. Itu jika tak salah ingat sekitar tahun 2001. Kombong melawan Temboe.
Ini adalah dua tim yang kuat. Punya materi pemain yang sangat baik. Pada babak pertama, tegangan antar pemain sudah mulai terlihat. Kami yang menonton tepat disisi garis lapangan, memberi semangat.
Lalu tiba-tiba, seorang pemain Kombong dijatuhkan dan sangat keras. Pemain dalam lapangan saling dorong mendorong. Saya ingat waktu itu, Jareng, pemain Kombong langsung memukul salah seorang pemain Temboe. Keributan tak terhindarkan.
Tako berlari ke kerumunan, berusaha melerai. Tapi tak bisa. Dan dia pun ikut berkelahi. Supporter tentu saja ikutan. Aksi saling kejar terjadi, hingga ke dalam kebun kakao.
Suatu waktu lagi, saya melihatnya menangis sesenggukan. Pertandingan itu membawa nama kecamatan Suli. Tako juga menjadi kapten tim. Pertandingan itu dilaksanakan di lapangan desa Kasiwiyang.
Ini pertandingan yang selalu kami tunggu-tunggu. Sebab di tim lawan ada Gatot, seangkatan Tako yang sama mumpuninya dan sama besar nyalinya. Ketika pertandingan berlangsung, babak pertama begitu menyenangkan. Kasiwiyang tertinggal satu gol. Maka di babak kedua, tensi pertandingan meningkat. Saling sleding pemain dari arah belakang terjadi.
Tako mengingatkan rekan-rekannya untuk tetap tenang. Tapi entah bagaimana dalam lapangan terjadi keributan dan Gatot mulai memukul. Perkelahian tak terhindarkan. Tako berupaya melerai, tapi dia kena pukul.
Tak berlangsung lama, perkelahian berhenti. Tako berjalan ke pinggir lapangan dan menangis besar. Dia tak menyangka, Gatot yang dianggap karib dan saudaranya tega memukul adik-adiknya dari Suli.
Saya menyaksikannya, Tako menangis dengan gemetar. Bagi dia, itu tak patut terjadi. Saudara itu saling menjaga. Saling membantu. “Apa sanganna,” katanya. (Kenapa dia (Gatot) bisa melakukannya)
Kejadian itu terus membekas diingatan. Tako memberikan saya pelajaran yang jauh dari ucapan, tapi pembuktian. Ah Tako, saya mencintaimu dengan sepenuh hatiku.
Belakangan, ketika usianya semakin tua, beberapa anak-anak di kampung, termasuk ponakannya, menjadi piawai juga bermain bola. Tako mulai tak bermain. Di kampung, dia menjadi seorang petani yang ulet.
Dia membangun rumah dan selalu ramah ketika berjumpa. Tako, juga punya mulut yang pedis. Ungkapannya yang jujur dan selalu spontan, tanpa memandang tempat menjadikan banyak orang menjadi telinga panas.
Pada suatu waktu, seorang anak muda, sedang gemar-gemarnya belajar agama. Pada salat jumat, dia menjadi khatib. Ceramahnya panjang, hingga jelang pukul 13.00 belum usia. Semua orang merasa gusar, tapi tak seorang pun yang mengingatkan.
Tiba-tiba, Tako teriak. “To la masumbajang sia raka te. Atau iko bammora la disadding maccarita,” protesnya. (Apakah kita akan tetap salat. Atau biar kita dengar kau saja cerita).
Lalu gaduh terjadi. Dan si anak muda itu menyudahi ceramahnya.
Tako hampir tak pernah meninggalkan kampung untuk merantau. Dimasa pensiunnya sebagai pemain bola tarkam, dia sangat mudah dijumpai. Dalam perangkat kampung, dia mengabdikan dirinya untuk menjadi seorang yang selalu bisa diandalkan dalam kedukaan.
Tako belajar bagaimana menggali kubur ke orang-orang tua kampung. Bagi kami di kampung, menggali kubur bukanlah pekerjaan yang serampangan dikerjakan setiap orang yang kuat menggunakan sekop. Tapi penuh dengan doa.
Jika ada keluarga yang meninggal di kampung, di kuburan, biasanya dia ada duduk didekat lubang dan menjadi penentu bagaimana ukuran liang yang tepat untuk jenasah. Jika secara kebetulan saya pulang kampung dan ada keluarga yang meninggal maka saya akan melipir ke kuburan.
Di kuburan, kami akan saling bercanda banyak hal sembari menyeruput kopi dan menyulut rokok. Ada satu bahasan yang menyenangkan waktu itu. Tentang hal-hal kecil yang dilakukan oleh anak-anak muda di kampung. Tako mengingatkan untuk memperhatikan siapa yang akan mengangkat keranda kelak.
Dan begitu saya ditampar dengan kejadian itu. Keluarga yang mengangkat keranda adalah anak muda, atau orang tua yang tidak tamat sekolah. “Ya bassia to tau micacca, panginu, tae jamangna. Ya bassia toi reso menang manjiong. Umba mi to panghapala korang, passubbajang,” kata Tako.
Biasanya Tako akan melempar pernyataan macam itu ke saya. “Matumbaraka Eko. Tongang raka salah raka to kupau,” lanjutnya.
Jika sudah demikian maka kami akan tertawa bersama.
Pada Juni 2024, terkahir kali saya bertemu Tako di kampung. Kami berjumpa di pekuburan. Salah seorang keluarga kami meninggal. Dia menggunakan celana pendek. Dia marah-marah kepada orang yang mengambil papan yang digunakan untuk menahan galian tanah timbunan liang lahat.
“Ake mi issengi, inda alai. Panguang lalona, la kurampoi. Apa iyya sanga, na baga-baga mele,” ceracaunya. (kalau kalian tahu, siapa yang ambil. Beritahu saya, akan saya datangi. Kenapa dia menjadi orang yang sangat bodoh)
“Apa mo to, passimparang mora dipake. Deng doping, dipameloi, diuki mo milik kuburan, innang pade duka iyya,” (Sekarang lihat, yang dipake itu hanya papan sisa. Sudah ditulis papan milik kuburan, tetap hilang)
“Masaki te mai tau,” (Ini orang-orang memang sedang sakit semua)
Ah Tako, saya akan merindukanmu. Damailah meninggalmu. Saya mengenangmu sebagai manusia yang ditakdirkan memberikan kampung kita ini kedamaian dan keberanian. Terimaksih.
0 comments:
Posting Komentar