Pada 20 Agustus 2023, adik bungsu saya wisuda di Universitas Muslim Indonesia. Keluarga dari kampung datang untuk memberinya selamat dan merayakan kelulusan itu. Kami juga foto bersama di sebuah studio di Jalan Meranti. Rasanya menyenangkan.
Ini adalah perayaan kelulusan yang memukau. Meski bapak saya tidak bisa hadir karena sementara berlayar di kapal dan adik laki-laki saya juga masih di kapal. Kami tetap bergembira.
Tapi perayaan ini spesial. Adik bungsu saya itu merayakannya dengan lima orang ponakan. Yang paling tua dari ponakannya itu adalah Èlang berusia jelang 8 tahun. Dia adalah cucu pertama dari keluarga saya. Dan cucu nomor ke empat dari keluarga Tika, istri saya.
Èlang tentu sudah kelas dua Sekolah Dasar. Dia sudah cerewet dan banyak bertanya. Ketika kami berjalan-jalan ke wilayah reklamasi Center Point of Indonesia, karena permintaan mamak saya untuk melihat masjid dengan kubah banyak, dia terperangah melihat seni instalasi di gerbang kawasan megah reklamasi itu.
Warnanya emas. Dari dalam mobil kami memandangnya. Bentuknya seperti terompet. Èlang berandai-andai jika kemungkinan terompet sangkakala sebesar itu. Atau lebih besar lagi. Sangkakala adalah terompet yang dalam ajaran Islam, disimbolkan sebagai pertanda datangnya hari kiamat. Ditiup oleh malaikat, Isrofil.
Tapi Èlang tiba-tiba bertanya, bagaimana kira-kira irama terompet itu kelak. Apakah seperti nada Telolet, yang biasa dibunyikan mobil truk atau bus? Atau seperti irama klarinet Squidward di film Spongebob.
Di dalam mobil kami tertawa. Tapi itu menampar pengetahuan saya juga. Betapa selama ini, saya pribadi tak pernah mempertanyakan itu pada guru agama atau guru saya di sekolah masa lalu.
Kematian dan bunyi sangkakala. Apakah iramanya sendu, gembira, atau mengalun tenang. Èlang membawa perbincangan ini menjadi rumit. Di rumah, saya bertanya pada Èlang, bagaimana kalau iramanya, seperti musik yang penuh hentakan. “Pasti orang gembira. Dan joget,” jawabnya.
Kembali ke tempat reklamasi itu. Mamak saya akhirnya menjejakkan kakinya di masjid dengan kubah banyak. Dia duduk bersama adik-adik saya di terasnya sambil menghadap ke daratan Makassar. “Kenapa nenek harus melihat ini masjid,” kata Èlang.
“Saya juga tidak tahu. Mungkin karena banyak orang bilang ini masjid yang bagus,” jawab saya.
“Kalau saya lihat biasa saja. Tidak bagus juga. Bapak sudah pernah ke sini juga?,”
“Tidak pernah. Ini baru pertama. Lihat dari jauh saja,”
“Kenapa? Tidak tertarik seperti nenek?,”
Saya dan Èlang kemudian memilih duduk agak menjauh dari rombongan. Saya membawanya jalan-jalan ke pesisir yang sekarang dinamakan Lego-lego. Airnya di bawahnya yang saat ini mereka sebut laut Losari menghitam. Seperti air comberan. Ada banyak sampah. Èlang menduga, pasti bau.
Losari, itu adalah keindahan pesisir Makassar. Kini berubah bentuk. Èlang menjadi sangat terkejut ketika saya bilang, bahwa apa yang dia lihat adalah laut. Dia tak habis pikir, laut tanpa ombak itu tak masuk akal.
“Terus kenapa sekarang sudah tidak ada laut?,”
“Ditimbun untuk menjadikannya perumahan dan toko. Sama tempat sangkakala tadi. Dan masjid,”
“Kenapa harus menimbun laut. Jadi laut hilang?,”
“Hilang,”
Saya melihat Èlang kebingungan. Saya membiarkannya. Baginya, mengganti laut dengan bangunan itu tidak sebanding. Kemudian saya membuka gawai dan memperlihatkan tulisan saya tentang para pencari kerang dan nelayan pemancing di sekitaran Losari masa itu. “Jadi mereka nda ada lagi,” katanya.
“Mereka digusur. Tempatnya cari ikan dan kerang dan udang hilang. Jadi mereka tidak bekerja lagi,” jawabku.
“Jadi mereka menjadi miskin?,”
Saya tak bisa menjawab pertanyaan itu. Lalu Èlang berasumsi, jika para nelayan itu sudah diberikan rumah di tanah reklamasi. Saya cepat memotongnya, jika lahan reklamasi yang didirikan rumah mewah, bukan untuk mereka, tapi untuk orang kaya. Lalu dia memandang saya dengan heran.
Kemudian dia membagikan kisah yang didapatkannya dari permainan game di gawainya. “Jadi bapak, ada orang kaya raya. Dan ada orang miskin. Dan ada pengemis yang lebih miskin lagi,” kata Èlang.
“Waktu pengemis itu minta roti, orang kaya itu sampai marah-marah dan tendang tempat uang pengemis,”
“Terus, orang miskin itu lihat. Dia lagi makan roti. Tapi pengemisnya lapar. Akhirnya roti yang sudah digigitnya, dikasih ke pengemis. Terus pengemis itu makan juga,”
“Ternyata yang menyamar jadi pengemis itu adalah tuhan. Dia mau lihat manusia mana yang akan diberikannya diamond. Ternyata orang miskin dan baik hati.”
0 comments:
Posting Komentar