Foto: Doni Setiadi |
Di lantai dua sebuah rumah panggung nomor 18, di Jalan Panguriseng, Sorowako, ada sebuah kamar ukurannya 3x4 meter. Berdinding tripleks. Dan beratap seng. Panas dan pengab. Ada dua meja kecil dan rak untuk memajang hasil karya.
Ada guci, patung dari kuda, bambu, lukisan timbul, kepala Rusa lengkap dengan tanduknya, hingga minitur kapal phinisi. “Semua berbahan kertas,” kata Hasan.
Di kamar kecil itu lah Hasan menghabiskan waktunya. Pada Rabu 2 November 2011, dia terlihat telaten menempelkan kertas yang sudah dihaluskan ke cuangan guci. Memberi usapan lem dengan kuas, lalu menekan-nekannya dengan jari telunjuk. Setelah itu, diratakannya dengan sebuah plat besi menyerupai pahat. “Beginian harus sabar,” ujarnya.
Ide mengolah sampah kertas itu dimulai pada Januari 2010 di sebuah warung kopi dan tempat ngumpul. Bersama teman-temannya yang belum mendapatkan pekerjaan dan kebingungan mencari aktifitas. Lalu mereka melirik kertas. Caranya, kertas itu direndam dengan air selama beberapa menit, mencampurnya dengan lem fox, lalu menghaluskannya dengan blender.
Mereka melakukan percobaan beberapa kali. Sekali tidak berhasil, tapi berikutnya tak terulang. Kini, patung-patung, guci, plakat, lukisan, amplop, dan kertas putih sudah diproduksi. Saya senang melihat lukisan kapal Phinisi yang menggantung di dinding, seperti hidup. Diterpa angin dan gelombang. Layarnya membentuk lengkungan. Kalau kalian memegangnya, dan mengusapnya, maka tanganmu akan ikut bergelombang. “Ya, ini lukisan timbul,” kata Hasan.
Menurut Hasan, membuat souvenir karya dari kertas tidak terlalu rumit. Yang susah adalah idenya. Bukan tidak pernah, dia harus menenangkan kepalanya untuk membentuk kreasi dan menghisap rokok. Tapi hasilnya, selain Phinisi itu, jadilah juga sebuah patung Anoa. Tingginya sekitar 1 meter. Kalau melihat pertama kali, kalian akan keliru dan bisa menduga dari bahan beton.
Di tempat mereka yang kecil itu, setiap hari ada puluhan kilogram kertas yang dilebur. Kertas-kertas itu didapatkan dari kantor PT.Inco dan penduduk. Jika dulu perusahaan dan orang-orang berpikir cepat bila melihat sampah kertasnya menumpuk, dibuang atau dibakar. Kini mereka tahu pada siapa “sampah” itu dialamatkan. “Kami ini tempat sampah, tapi kami senang,” ujar Hasan.
Pada 2011, kreasi mereka seperti guci terjual seharga Rp1,5 juta, oleh seorang wisatawan Jepang. “Ini adalah harga tertinggi yang kami dapat,” kata Hasan. Kelompok kreatif ini mematok harga kreasi mereka dari Rp25 ribu hingga Rp1 juta.
Kelompok daur ulang sampah ini, memberdayakan enam orang. Ada yang mereka beri julukan si ahli melipat kertas, si ahli melukis, atau juga si ahli cetak, dan si ahli ukiran. Dan hebatnya lagi, para pengrajinnya mendapat upah dari Rp500 ribu hingga Rp1 juta setiap bulannya. “Sebenarnya ini bukan gaji, tapi uang untuk waktu mereka, karena ini adalah karya. Kami menghargai itu,” kata Hasan.
Saya bertemu dengan si ahli ukiran. Namanya, Sinar Rahmat. Usianya 61 tahun, seorang pensiunan perusahaan PT.Inco. “Saya yang paling muda diantara mereka,” katanya sembari bercanda – padahal dia lah yang dipanggil Pa’de.
Rahmat juga lah yang menyediakan tempat bagi kelompok Daur Ulang Sampah Kertas di rumahnya. Tanpa bayaran. Minatnya dengan dunia seni dan menemukan Hasan dan kawan-kawannya seperti mendapat keberuntungan yang sudah lama hilang.
Rahmat adalah orang Jawa. Saat muda, di kampung asalnya ikut menggeluti seni. Dia senang menggambar dan bisa melukis. Tak ahli, tapi dia mencintai. Pada 1960-an akhir, dia ikut rombongan transmigrasi. Datang ke Luwu Utara dan beberapa tahun kemudian bergabung dengan PT.Inco di Sorowako, Luwu Timur. Sejak saat itu, dia meninggalkan kebiasaannya berkesenian. “Capek kan pulang kerja. Jadinya hanya mau istirahat kalau sampai rumah,” katanya.
“Sekarang berbeda. Meskipun sudah lama tak menggambar dan mengukir. Ini seperti buat saya kembali muda,” lanjutnya. (Eko Rusdianto).
Sinar Rahmat (61) atau akrab disapa Pa'de |
Tapi, saya belum bertemu dengan Sinar Rahmat (Pa’de). Semoga dia taka apa-apa.
0 comments:
Posting Komentar