Di sekitar kolam Patea Sorowako, luasnya sekitar 1 hektare,
ada beragam kehidupan dan mahluk yang menghuninya. Suara burung saling bersahutan,
percikan air dari kibasan ikan, tumbuhan aneka warna, hingga para serangga.
Mereka seperti para penggoda dan perayu ulung.
Hidup di satu rumah dengan
halaman yang sama. Mereka bertemu, saling tahu, saling membutuhkan, dan juga
saling membunuh.
Pagi hari, pada Minggu 1 April 2012, kawasan danau itu masih
sejuk. Udara yang dihirup dingin dan segar. Tumbuhan-tumbuhan masih basah dari
sisa embun dan hujan semalam. Air dari aliran sungai kecil juga beriak. Deras dan
keruh.
Tanah dan kerikil di sekitar danau Patea, berwarna merah. Untuk
menapakinya harus hati-hati karena licin dan kerikil dari sisa tambang yang tajam-tajam.
Untuk menuju kolam, dari jalan utama Patea, hanya dibutuhkan sekitar 15 menit
berjalan kaki. Jalannya juga landai.
Saya mengunjungi kolam itu bersama beberapa orang penghobi
fotografer di Sorowako. Mereka hendak mencari burung. Setiba di kolam, kami
langsung diberi sambutan hangat, lengkingan burung Sri Gunting seperti
bermain-main diatas kepala kami. Empat ekor Belibis bermain juga bermain di
permukaan air. “Burung-burung di Sulawesi ini suaranya syahdu,” kata Weldi.
Weldi adalah seorang karyawan PT Vale Indonesia. Dia senang mengumpulkan
foto aneka burung. Bidikannya juga menyenangkan. Koleksi foto burungnya sudah mencapai
ribuan. Dia bisa tahu hanya dari suara, jenis burung yang berkicau.
Saat mereka sibuk memotret, berdiam dan mencermati arah
kicauan burung, saya beralih sendiri. Kamera yang saya bawa tak cukup baik untuk
memotret burung, lensanya sangat pendek. Mengikuti mereka, sebenarnya untuk
membunuh kebosonan di rumah, dan alasan lainnya masuk hutan selalu
menyenangkan.
Majalah National Geographic Indonesia tahun 2011 pernah
menulis artikel tentang kehidupan yang tak terlihat – saya lupa edisi
terbitannya. Menurut majalah itu, setiap jengkal tanah yang ditapaki, bila
diteliti menggunakan microscop, dipenuhi oleh mahluk hidup. Melihat semuanya,
seperti hamparan kehidupan dan mungkin manusia tak akan bisa melangkahkan kaki
lagi.
Dan saya membuktikan
hal itu. Di tempat pemberhentian menunggu burung, saya membolak-balik
daun kering yang jatuh, membalik batu, hingga kayu-kayu lapuk. Saya menemukan banyak
serangga, ada yang bentuknya aneh dan ada yang sama sekali belum pernah
kulihat.
Ada serangga yang bentuknya seperti segitiga, bergerak cepat,
seperti tak memiliki arah. Dia muncul dari balik daun, lalu menghilang lagi. Ada
semut hitam yang pantatnya lebih besar dari badan. Bentuknya seperti manusia
gemuk, tapi bergeraknya juga sangat cepat. Sungutnya bergerak tak berhenti.
Saya juga menemukan serangga lucu. Warnanya seperti daun
kering. Punya tiga pasang kaki. Dua pasang berada di bagian belakang tepat
dipangkal perutnya. Sepasang kaki lainnya di bagian depan, dekat dengan leher. Kaki
depan dan belakang berbeda ukuran.
Sepasang kaki depannya itu, membengkok, tapi juga bisa
lurus. Bagian ujungnya bergerigi seperti mata gergaji. Bila menyentuhnya, maka
kaki bergerigi akan bergerak seperti hendak mencabik. Mungkin kaki itu menjadi
senjatanya.
Mata serangga itu juga lucu, besar dan tak berkedip. Berbintik-bintik
coklat. Waktu saya mendekatkan kamera, serangga itu seperti menoleh. Kepalanya
bisa bergerak, tapi tak bisa berputar. Serangga itu sangat kaku.
Ada juga semut merah yang mengagumkan. Saya menemukan sarangnya
dari balutan dedaunan. Bergelantung di ranting pohon, besarnya seperti bola
kaki.
SAYA tiba-tiba membayangkan kegirangan Wallacea saat menemukan
kupu-kupu Papilio Androcles di Bantimurung, terbang dengan anggun, memamerkan
sayapnya, dengan buntut yang panjang. Mungkin kegirangan itu seperti yang
kualami saat bertemu kupu-kupu kecil, warna biru – sayang saya tidak tahu
namanya.
Pertama kali melihat kupu-kupu kecil itu, warnanya begitu
terang, menyala. Terbangnya rendah dan lincah. Sekali-kali dia seperti hendak
menabrak kaki saya. Ketika dia hinggap di pucuk tanaman, dan mengapit sayapnya
maka warna birunya lenyap, berubah menjadi coklat bergaris-garis.
Waktu saya mendekatkan kepala dan kamera, dia tak tebang. Di
bagian belakang ekornya, ada hiasan yang menyerupai mata. Ada juga antena kecil
seperti di bagian kepala. Kakinya yang mungil kecil juga lucu, berbintik putih
seperti motif kulit Zebra.
Di dekat tempat kupu-kupu kecil itu, ada anggrek tanah yang
cantik. Tingginya sekitar 2 meter. Warnanya ungu tua, tidak terang tapi cukup
membuatnya jelas terlihat. Bunga anggrek yang belum kuncup seperti bola kecil, berwarna
ungu. Ketika bunganya mekar, maka warna ungu itu hanya akan menempel dikulit
luar bunga. Bagian dalamnya berbintik dengan warna kuning terang. Anggrek ini
cantik sekali.
Selain anggrek ungu besar itu, ada juga anggrek tanah kecil.
Tingginya hanya sekitar 10 sentimeter. Berada di kaki-kaki bukit dan bahkan di
jalan landai yang dilalui manusia. Warnanya ungu muda, bercampur putih. Batang anggrek
itu seperti tak kuasa menahan beban bunga. Jenis anggrek ini cukup banyak saya
lihat, di sepanjang perjalanan.
Susan Orleans, dalam bukunya Pencuri Anggrek mengatakan bila
anggrek adalah tanaman penggoda yang sangat luar biasa. Anggrek-anggrek ini, memiliki
beragam spesies, dari mulai yang kasat mata hingga yang tak bisa dilihat dengan
mata telanjang.
Orleans juga mengatakan, bila para pemburu anggrek inilah
yang pertama kali mencapai puncak-puncak gunung tertinggi di dunia. Pada masa
ketika Florida dilanda demam anggrek, orang-orang kaya mengirim pasukan untuk
mencari anggrek, dari daratan Amerika, Eropa, Asia, Australia, hingga ke Antartika.
Orang-orang ini mendatangi pegunungan, lembah hingga pesisir.
SELAIN anggrek saya juga tak dapat menyembunyikan kekaguman pada
tanaman Kantong Semar. Tanaman ini lucu, seperti sebuah kantong air. Memiliki
penutup dan berdiri tegak. Kantong Semar dalam bahasa latinnya Nepenthes,
merupakan tanaman yang menangkap mangsa dengan diam.
Kantong-kantong yang terbuka itu menjadi jebakan untuk
serangga, seperti semut, nyamuk, bahkan anak kodok. Binatang-binatang yang
telah terjebak akan dihancurkan melalui cairan enzim yang mematikan. Kantong Semar
seperti tanaman pembunuh berdarah dingin.
Nepenthes ini memiliki tiga macam kantong, yakni kantong
atas, bawah dan roset. Di sekitaran kolam Patea saya menemukan kantong roset. Warna
kantong roset ini, hijau muda dan muncul dari ujung daun.
0 comments:
Posting Komentar