SEBENARNYA rumah kami menghadap sungai. Tapi aliran sungai
tak tampak juga, meskipun saya memanjat di pohon jambu. Sungai deras dan
mengalir cepat itu, terhalang kebun-kebun kakao yang subur. Pucuk-pucuknya
warna hijau muda dan beberapa menguning, karena hama pengerat.
Tebing-tebing sungai adalah tanah liat yang lengket. Bila
kena air, akan sangat licin. Bermain luncuran akan sangat menyenangkan. Di
bibir tebing itu ada pohon Bau yang
daunnya lebar-lebar seperti mangkuk. Di bawah rindangnya, permukaan air tenang
sekali, bila berenang memasuki sela-selanya, udaranya sangat sejuk. Saya dan
teman-teman sering bermain sembunyi-sembunyi.
Sebenarnya rumah keluarga kami adalah rumah panggung yang
tak kokoh. Dindingnya terbuat dari papan yang direkatkan tak rapat-rapat. Angin
selalu berhembus kencang masuk, pada malam hari udara sangat dingin. Dan paling
enak, menggulung badan dengan sarung.
Di dekat rumah kami, ada kebun-kebun kakao begitu luas. Ada
di depan rumah, ada juga di belakang rumah. Pohon-pohon kakao tumbuh beraturan.
Kalau musim permainan motor-motoran tiba, kebun kakao akan menjadi arena yang
menyenangkan. Daun-daun kakao yang terhampar banyak akan kami sapu. Daunnya
akan menjadi pagar pembatas, seperti gundukan-gundukan kecil setinggi lutut.
Kami membuat lintasan berkelok-kelok, selayaknya sirkuit di game-game Saga yang kami mainkan. Kami akan
berlari dengan kencang, suara mesin akan keluar dari masing-masing mulut. Menikung
dan saling bersenggolan. Mainan motor itu adalah bekas ban motor yang dipukul
dengan tongkat kayu kecil, lalu kami berlari disampingnya, sebagai pengemudi.
Kalau sudah demikian tentu waktu akan menjadi sangat
singkat.
Rumah kami, adalah rumah panggung. Sumur dan toilet ada di
bagian belakang rumah. Bila tengah malam, harus berusaha menjadi pemberani
untuk turun kencing, atau buang air besar. Kalau takutnya begitu menjadi-jadi,
maka buang air kecil akan dilakukan disela-sela papan lantai rumah. Tanah di
kolong rumah akan menyerap air seni itu dengan cepat. Esoknya yakinlah tak ada
bau pesing.
Karena rumah kami adalah rumah panggung, maka tiang-tiangnya
dijadikan tempat bermain. Permainan yang menjadikan tiang rumah sebagai bagian utama
adalah benteng. Permainan itu, mengeluarkan
semua energi, berlari dan memasang strategi.
Menggunakan dua buah tiang. Satu tiang lainnya untuk
kelompok musuh. Tiang ini menjadi benteng utama yang harus dijaga. Biasanya lima
lawan lima, namun semakin banyak teman yang ikut akan semakin seru.
Untuk memulainya, salah seorang dari kelompok akan maju ke
garis pembatas, kemudian kelompok lain akan berusaha menyentuhnya. Tapi dengan
syarat memegang tiang benteng terlebih dulu. Memegang tiang benteng, seperti passport atau bonus kekuatan. Begitulah
permainan itu terus menerus dilakukan.
Anggota kelompok yang mati, akan menjadi sandera di dekat
benteng musuh. Namun, akan berusah dilepaskan oleh kawannya, dengan cara
memegang atau menyentuhnya. Kalau salah satu kelompok mulai kekurangan teman,
maka bentengnya akan dikepung. Kelompok musuh akan berusaha menyerobot tanpa
harus disentuh, dan memegang tiang. Yang memegang tiang musuh, maka dialah yang
menjadi pemenang. Dan pemenang akan bersorak, “benteng.”
Rumah kami adalah rumah panggung yang memiliki halaman luas.
Hanya ada pohon jambu dan beberapa pagar bunga yang bisa dihitung dengan jari. Halaman
rumah adalah tanah yang lapang dan gembur.
Di halaman itu, kami selalu main cukke. Permainan dengan menggunakan pelepah daun sagu. Cara melakukannya
dengan menggali kotak tanah kecil, seukuran telapak tangan. Kedalamannya sekitar
tiga ruas jari. Salah satu pelepah sagu kecil sepanjang 15 sentimeter,
diletakkan dibagian ujung lubang. Hingga pelepah itu akan berdiri miring,
karena ujung lainnya berada dibawah lubang.
Kemudian bagian ujung lainnya yang mencuat ke permukaan,
akan dipukul menggunakan pelepah sagu lainnya yang seukuran tongkat kasti. Dipantulkan
hingga tiga kali tanpa harus menyentuh tanah, lalu dipukul ke arah lawan yang
menjaga. Kemudian sang pemukul akan berlari mengelilingi lintasan seperti permainan
kasti. Satu putaran, akan dihitung dengan menggunakan lidi, dibengkokan.
Selain bermain cukke,
halaman rumah itu juga digunakan untuk main kelereng, main karet untuk anak
perempuan. Hingga main bangnga
menggunakan kemiri.
RUMAH kami adalah rumah panggung. Rumah kenangan untuk kisah
dan sejarah panjang kami. Di rumah panggung itu, kami dilahirkan dengan bantuan
dukun beranak. Ari-ari kami di tanam di halaman rumah, di dekat pohon-pohon
besar dan memanjatkan doa untuk tumbuh subur selayaknya tanaman untuk menopang
kehidupan kami.
Sarung-sarung penuh darah, dari kekuatan orang tua ketika
mengeram untuk mengeluarkan kami dari janin, dicuci di aliran sungai. Bekas-bekas
darah kekuatan, kesabaran dan ketabahan orang tua kami itu, mengalir bersama
aliran air.
Dan kelak, di aliran sungai itu kami kembali bermain. Menghabiskan
cerita kecil, belajar berenang, memancing, mencari ikan, udang, lalu kami
nikmati bersama.
Rumah kami adalah rumah panggung di dekat sungai. Dan kami besar
di dekat sungai, bersama aliran, bersama darah orang tua kami, bersama
pohon-pohon yang tumbuh menemani.
Keren, Bro.
BalasHapus