Saya bukan pemuja kepercayaan setan. Saya juga bukan pemuja
lagu-lagu dunia barat – mungkin karena saya tidak terlalu mengerti. Saya juga
bukan anggota partai tertentu, juga bukan anggota organisasi tertentu. Saya
pemuja keberagaman, memuja ketentraman, kenyamanan dan kedamaian. Semoga inilah
yang dinamakan akal sehat.
Sejak beberapa hari ini, saya mulai gelisah dengan berita penolakan
kedatangan penyanyi Lady Gaga di Indonesia. Ada beberapa organisasi masyarakat menentangnya,
salah satu yang paling keras adalah Front Pembela Islam (FPI), bahkan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa haram. Dan ada juga beberapa kawan-kawan
yang mendukung pandangan penolakan.
Ini membuatku serasa tergelitik. Serasa semakin bodoh dan
bego. Saya merasa sedih sendiri, marah dengan tanah air sendiri. Masih kah kita
bertengkar dengan kadar logika sekecil itu. Dari catatan referensi media massa,
salah satu alasan penolakan Gaga ke Indonesia karena “dicurigai” sebagai
pengikut aliran setan yang sesat. Selain masalah kepercayaan, Gaga juga
dikatakan tak mempunyai etika dalam berbusana karena selalu tampil vulgar.
Dua hal itu lah membuat sebagaian masyarakat risau, bahkan
seluruh Indonesia. Saya tentu ikut risau, jika benar terjadi penolakan, maka
kebebasan kreatif, kebebasan memilih jalan hidup seseorang akan semakin
terbelenggu.
Apakah yang salah dengan pikiran seseorang? Mengapakah orang-orang
selalu memandang dengan cara luar, menilai seseorang dari luar, bukan dari
dalam. Bukankah kebaikan, keramahan, kerendahhatian adalah sesuatu yang mutlak
dan paling mendasar dibutuhkan manusia. Kenapakah kita tak memupuk itu.
Jika memang, ada sesuatu hal yang tidak disenangi, bukan
berarti kita harus melawan dengan keras. Bukan mengatasnamakan sebuah
kepercayaan untuk mengukuhkan dalil-dalil. Saya hanya ingin, berjalan sesuka
hati saya. Mengenali beragam karakter, berkumpul, bersendagurau tanpa harus ada
sekat.
Saya masih seusia jagung, yang tak tahu kapan akan
meninggal. Namun, perjalanan itu membawa saya pada kisah-kisah yang menguatkan
dan membentuk alur pikirku. Pada pertengahan tahun 2008, saya melakukan liputan
tentang kepercayaan Ahamdiyah di Jakarta. Saya berkenalan dan mewawancara banyak
orang. Lalu tiba lah saya pada kesimpulan, bila Ahmadiyah tak sejalan dengan
kepercayaan yang saya anut.
Namun, bukan berarti saya berhak menudingnya sebagai sesuatu
yang sesat. Saya bahkan berteman hingga seperti keluarga dengan salah satu keluarga
Ahmadiyah di Jakarta. Mereka adalah keluarga yang baik, mereka menerima saya apa
adanya. Saya nyaman dengan keluarga itu.
Di lain waktu, saya berkawan dengan seorang ahli spiritual Bugis
kuno, gelarnya adalah Bissu. Bissu mengatakan diri sebagai muslim, tapi pada
praktek mereka kadang meminta doa untuk dewatae, termasuk Sawerigading tokoh
dalam epik I La Galigo. Tapi apakah dengan praktek semacam itu, mereka telah
keluar dari ajaran islam. Sebab bissu itu meyakini ajaran yang dilakukannya
adalah islam sebenarnya.
Saya tentu tak berhak menyimpulkannya.
Saya ingin mengutip catatan harian seorang pemikir yang
meninggal muda, namanya Ahmad Wahib: Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan
buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis.
Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut Muslim. Aku ingin orang
menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa
menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya serta dari aliran apa saya
berangkat. Memahami manusia sebagai manusia. (Catatan Harian Ahmad Wahib 9 Oktober 1969).
Selain Wahib, saya juga mengenal beberapa buku bacaan lain. Salah
satu favorit saya adalah catatan harian Anne Frank, seorang Yahudi yang diburu
pasukan Nazi Jerman. Anne Frank masih berusia 10-an tahun saat menulis catatannya,
menggambarkan kehidupan keluarganya di tempat persembuyian. Dia menulis menu
makan, cara melihat langit, waktu menutup jendela, dan semua kegiatannya.
Kehidupan keluarga Frank sungguh menyedihkan. Buku tersebut
kemudian menjadi sebuah catatan penting pada masanya, dinobatkan menjadi buku kedua
paling banyak dibaca setelah Injil di Eropa. Tapi saya tidak menyenangi
keyakinan Yahudi, namun saya menyenangi orang-orangnya.
Saat membaca catatan-catatan itu, seakan saya terbangun dari tidur
panjang. Dan sebagai seorang tukang cerita – dalam bentuk tulisan - menjelajah dan
berjalan sejauh mana pun, harus dilakukan sebagai seorang manusia, bukan bagian
dari sekat dan kelompok tertentu. Aliran kepercayaan dan keyakinan hanya tumbuh
bersama jiwa, tak perlu dipamerkan.
Hello
BalasHapusSemoga Inilah yang Dinamakan dengan Akal Sehat
Nice Blog with Excellent information, Nothing against the article. In awe of that answer! Really cool!
mas eko, tulisannya sudah saya repost di blog sang pena dengan URL : http://gores-penaku.blogspot.com/2012/05/semoga-inilah-yang-dinamakan-akal-sehat.html
BalasHapusAdmin Blog Sang Pena
Suka ini, bro.
BalasHapusBagaimana pendapat anda tentang Ahmadiyah yang dianggap telah menghina Islam, seperti adanya fatwa MUI? Apakah umat Islam salah bila mengajak Ahmadiyah untuk kembali kepada Islam, bahkan dengan menggunakan kekerasan seperti di Cikuesik Banten?
BalasHapusTerima kasih Yei Marwanto: Itu kan menurut anda dan MUI. Saya tak pernah dan tak punya keberanian mengatakan Ahmadiyah itu salah, ataupun menghina islam. Saya jga sebagai muslim tak pernah merasa Ahmadiyah menghina saya, dan saya juga bukan seorang Ahmadiyah...Masing-masing orang memiliki keyakinan sendiri. Semua berhak menjalankan apa yang diyakininya...
BalasHapusYang jelas, saya mengutuk kekerasan.