Rabu, Juli 09, 2008

Ada Cerita ( minggu malam 17 Februari 2008)

Wah, ini kali kedua saya ke Yogyakarta. Cerita ini sudah lampau, tapi baru kemarin saya menemukannya terselip di antara file tit....Alkisah di Kereta Api Progo kelas ekonomi yang saya tumpangi.

Sebagai pengantar bersiap-siap lah untuk terharu, terbahak, dan menulis komentar dengan baik dan sopan. Gunakan kata hatimu untuk menilainya, wwhahahahahaha...

Hari ini saya bersama teman. Namanya Ian alias Nay Bajingan. Anak Lombok kuliah di Universitas Gadjah Mada, fakultas Ilmu Sosial dan Politik, jurusan Ilmu Pemerintahan. Angkatan 2003 sekarang melakukan riset untuk karya akhir skripsinya. Judulnya lumayan berat, tentang komunitas hecker atau nakal dunia maya. Katanya suatu malam padaku, ia ingin lebih tahu bagaimana anak-anak dalam komunitas ini melakukan perlawanan dalam dunia maya. Membuat sebuah perubahan dan melakukan sesuatu dengan sebutan TUHAN KECIL. “Wah, kalau mereka (para hecker) akan menekan tombol enter pada keyboard komputer maka saat itulah mereka bertindak sebagai TUHAN. Bebas melakukan semua yang dianggap bebas.”



Dari Ian juga saya tahu tingkatan dunia hecker. Untuk seorang dengan kemampuan lebih disebut elite, sedangkan dibawahnya adalah semi god, selanjutnya saya lupa, tapi yang paling rendah atau yang baru belajar dan sok tahu adalah lemer. “Jadi tidak semua hecker itu merusak. Mereka juga punya etika yang sangat keras bagi mereka yang melanggar aturan,” jelasnya.

“Biasanya yang melanggar, aksesnya untuk dunia cyber akan dipotong oleh tingkatan yang diatasnya.”

Ian itu orangnya susah tidur. Selama perjalanan Jakarta-Yogyakarta, pada 21.00 sampai pukul 07.00 ia tak sekalipun dalam keadaan tidur, terlelap. Saya memperhatikannya hanya duduk terpaku, menatap kiri-kanan. Meskipun sesekali ia memejamkan mata, tapi dengan sigap setelah beberapa menit matanya kembali terbelalak.

Setelah dunia terasa ringan, saya terbangun. “Kamu tidak tidur Ian.”
“Ga’ bisa tidur. Susah bener. Sebenarnya mau tapi ga’ bisa,”
“Wah gila kamu,”

***
Malam kedatangan saya di Yogyakarta, Ian, Lendom, dan seorang teman lainnya Hanafi, mengajak duduk di tempat remang. Sebuah toilet searah dengan meja, berdiri menyamping hingga terlihat hanya tembok. Pintunya berada disamping tentunya. Nama tempat itu, Manut Nite. Warung kopi. Beberapa jenis kopi terpampang pada papan tripleks putih lengkap dengan harganya. Sangat murah, dari Rp1.500 sampai Rp2.500 rupiah.

Kami duduk disalah satu meja. Bercerita tentang teman, tentang diri sendiri. Tentang masa depan. Dan tentang negeri ini, meski yang mendominasi cerita lucu-lucuan untuk sebuah kenangan. Aku tak masuk dalam jajaran mereka. Karena aku ke Yogya untuk jalan-jalan. Di Jakarta pengap. Dan membosankan. Saya sendiri dari Makassar, di ibu kota saya pelatihan menulis narasi selama lima bulan di Pantau. Pada 11 Maret mendatang kelasku berakhir.

Saya kenal Ian satu minggu yang lalu. Ia ke Jakarta bersama Didik teman kosanku. Dari pertemanan antar teman itu aku mengenalnya. Saya suka dia. Sangat ramah. Sedangkan Lendom saya mengenalnya tadi pagi, ia teman sekosan Didik jika di Yogya. Ia juga orang yang menarik. Murah senyum dan tidak membosankan. Sedangkan Hanafi aku mengenalnya beberapa jam yang lalu, setelah kami bertiga lebih dulu menikmati kopi. Dia datang terlambat. Dan seperti yang lain ia juga menyenangkan.

Manut Nite adalah tempat favorite mereka. Disini mereka dengan asik bercerita, tertawa terbahak, meng-kleteki meja yang rapuh. Dan saling mencela. Pertemanan yang mengesankan. Lendom sudah selesai kuliah, sedangkan Hanafi dan Ian sementara dalam tahap penyusunan skripsi. “Nanti aku mau bikin warung kopi SIP. Jadi di warkop itu tempat kita ngumpul-ngumpul,” kata Lendom bergurau.
“Warkop SIP atau sarjana ilmu politik. Hahahaha…., sarjana buka warung kopi, karena ga’ keterima di jajaran politik, hahaha…. Kasihan,” sambungnya.
“Ya, ga’papa sebagai ajang tempat ngumpul kan,” balas Hanafi.

Saya hanya mendengar. Ini menyenangkan. Lelucon yang berharga, menurutku.

***
Di atas kereta Ian belum tidur. Sementara alam mulai memperlihatkan warna langit. Kabut beterbangan di luar jendela kereta api. Hamparan sawah tersusun rapi. Ada juga beberapa orang duduk, berdiri, bersama anak mereka (mungkin), dipinggiran rel melambaikan tangan, atau sekedar mengikuti gerakan kereta dengan kepala mereka. Hingga kereta itu berlalu.

Beberapa bangku dalam gerbong mulai banyak yang kosong. Beberapa penumpang turun di stasiun sebelumnya. Tiba-tiba Ian berdiri, mengambil beberapa koin dari tas di bagasi kecil di atas kepala. “Untuk apa Ian,” kataku.
“Untuk persiapan, ada were-wer-rewer,”

Were-wer-rewer adalah kata lain dari pengamen banci. Dandanannya mencolok. Gincunya tebal. Potongan pakaiannya menggemaskan, tapi menjengkelkan. Membuatku geli. Bagaimana tidak, mereka berdua memakai potongan baju tank top, lengannya berisi, berotot. Sedangkan pada potongan bawahnya tidak kalah seram. Rok pendek, sepaha. Hingga betis yang tertempel beberapa bekas gatalan, atau mungkin koreng terlihat jelas. Mereka sampai dekat kursi kami. “Halo ganteng (dengan logat banci),” sapanya. Kemudian menabuh alat musik yang tidak tahu namanya apa. Hanya terbuat dari beberapa papan bekas, disatukan menjadi kotak. Pada tengahnya dibuatkan bolong seperti gitar, namun pada senarnya menggunakan karet ban bekas. Karet itu dipetik, dengan nada yang disatukan hentakan tangan di bawah alat itu, tung-tak, tung-tak... Sementara yang satu membagikan bungkus permen Relaxa besar sebagai upah ngamen. Ia menyodorkan didepanku, menggoyang-goyangkan. Ian memasukkan, Rp600 rupiah, sedangkan aku Rp500 rupiah. “Terimah kasih ganteng,” katanya. Mereka berpindah. Suara itu perlahan, kecil lalu menghilang. Mereka telah menyeberang ke gerbong lima. Kami di gerbong enam. “Mirip Ade Juwita ya,” kataku.
“Hahaaa,”
“Iya, mirip kan. Perhatikan saja gincunya,”
“Pokoknya kalau bencong dikasi aja,” tegas Ian.

***
Di Manut Nite rokokku sudah habis. Pembicaraan juga mulai meredup. Gelas-gelas berisi kopi sudah tinggal ampas. Pekat. “Pulang yuk,” ajak Ian.
“Ayo,” jawabku.

Kami berjalan. Menghampiri kasir. Semua hitungan pembayaran dimulai. Empat gelas kopi, tiga besar satu kecil, satu teh hangat, dua nasi kucing, tiga martabak, total Rp15.500. Sangat murah. Ini jika dibandingkan dengan Jakarta dan Makassar.

***
Sekitar 20 menit lagi kami tiba di satasiun Lempuyangan Yogyakarta. Hari telah terang benderang. Orang berseliweran sangat jelas terpandang. Tak ada lagi kabut. “Baru ngantuk aku,” kata Ian.
“Ya udah, tidur aja,”

Aku tak menghiraukannya lagi. Suasana di luar jendela lebih menarik perhatianku. Ada ibu-ibu di bonceng bapak-bapak, ada pria di bonceng pria. Ada Yogyakarta yang kecil. Stasiun Tugu Jogjakarta sudah dilalui. Aku balik ke arah Ian. Kepalanya sudah dimiringkan. Ia berusaha terlelap. Tapi tak sanggup.“Ian, ayo bangun udah mau sampai,”
Ian membuka matanya. “Belum,” balasnya.

Sekitar lima menit, kereta akan berhenti. Kami turun. Beberapa meter kami berjalan menjauhi stasiun itu. “Naik becak aja ya,” ajak Ian. Tapi sebelumnya Ian berbicara dalam bahasa jawa yang pasih dengan tukang becaknya, aku tak paham. Tujuannya Universitas Gadjah Mada, sewanya Rp8 ribu. Cukup jauh. Aku terhenyak mendengar harga sewa itu, setiba di tujuan. “Wah keterlalaun kamu Ian. Ini kan jauh,” kataku.
“Aku ga’ nawar kok. Dia aja yang bilang pertama.”

UGM hari ini ramai. Disepanjang jalan, banyak penjual, sepatu, sendal, bunga, ada juga celana dalam. Saya melihat seorang cewek, manis, pake kacamata hitam. Pahanya mulus, resleting jaketnya dibiarkan terbuka dibagian dada, mengangkat dalaman itu. Segita yang menyenangkan. Weits, Kami berjalan pelan, perasaan terombang-ambing selama dua belas jam di Progo masih terasa. "Ehmm, masih bau besi," kata Ian sambil mencium bajunya. Ini hari libur, minggu. UGM ciamik. Banyak cewek-cewek yang lalu lalang. Memakai celana pendek, seperti pada pamer paha. “Jadi seger. Ga’ jadi ngantuk gua,” tambah Ian.

2 komentar:

  1. Semangat Q nah.. Jangan nyerah..

    "Writing for Change..."

    Salam,
    Tika

    BalasHapus
  2. ugm di minggu pagi
    rasanya bikin nagih

    hehe...sayang saya cewek
    jadi tak terhibur dengan pameran paha

    ces, rajin2 di-update. bagus tulisan ta'. klo bisa sih, ceritanya juga update (this time version).

    smangat cappo!

    BalasHapus