Jumat, Agustus 29, 2008

Narasi Dalam Perang Jurnalisme

SIANG itu saya baru selesai kuliah. Di sebuah musallah kecil depan kampus, seorang teman bercerita tentang sebuah laporan yang menarik. Namanya Buyung Maksum, seorang wartawan Harian Fajar Makassar. Ceritanya panjang lebar. Ia menganjurkan membaca tulisan Alfian Hamzah. “Pokoknya seperti menonton perang langsung,” katanya.

Saya tertarik. Sorenya saya langsung ke toko buku mencarinya. Buku itu tertata di rak sastra. Warnanya hitam putih, disampul tertulis judul besar, Jurnalisme Sastrawi. Saya tersenyum melihatnya.

Di sebuah asrama di Jalan Mannuruki II no 35 B, saya membaringkan badan, membuka halaman demi halaman. Buku itu setebal 500 halaman kurang. Di halaman 163 foto Alfian terpampang. Judul artikelnya Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan. “Ini tulisan apa,” pikirku.


Tulisan itu dimulai dengan keberangkatan sekitar 700 pasukan Batalyon Infantri (Yonif) 521/Dadha Yodha dari pelabuhan Armada Laut Timur Ujung di Surabaya dengan kapal Teluk Bayur dan akan bertolak ke medan perang di Aceh. Perjalanan itu ditempuh sepekan.


Pasukan turun di Loksumawe, prajurit Kepala Muhammad Khusnur Rokhim menjadi pemandu jalan. “(Dikawal) tim khusus satu pleton. Tiga puluh orang. Senjata lengkap. Saya bilang ke anak-anak, disini sudah masuk Aceh, jangan kayak tugas di Ambon, Timor-timur. Tidak ada apa-apanya. Di Aceh sejengkal tanah tidak ada yang aman,” kata Rokhim.

Perlahan artikel ini membawa saya masuk. Penuh detail. Tajam seperti sebuah pedang. Medan perang seperti di depan mata. Tegang sendiri. Tertawa sendiri. Sampai membacapun harus hati-hati. Kisah seram dihadirkan dengan senyum. Saya terpingkal membaca kelucuan para serdadu TNI dan GAM.

Alfian menguntit serdadu Indonesia selama dua bulan. Sebelumnya, untuk mengerjakan liputan ini, ia harus dapat surat ijin dari Pangkostrad Ryamizard Ryacudu di Jakarta. Sebulan lebih layangan surat itu tanpa balasana. Tak ada jawaban. Nekat, Alfian berdiri di depan rumah Kepala Staf Kostrad Syamsul Mappareppa.

Alfian sudah membulatkan tekat. Tak ada surat ijin pun tetap berangkat ke Aceh. Di luar dugaan, ia ngobrol dengan Kepala Staf Kodam Iskandar Muda Syarifuddin Tippe, hasilnya ijin peliputan. Tippe tertarik saat Alfian menceritakan keinginannya menulis sisi manusiawi tentara di front.

Ia menulis kebiasaan tentara Indonesia memelihara ayam, burung, atau bermusik dengan intrumen mulut. Ada suara gitar, gendang, bas, suling, tapi semua dari mulut. Atau kisah pasukan Rajawali yang tak butuh tenda. Sangat menyenangkan. Konon cerita ini di sukai oleh tentara Indonesia maupun pihak tentara Aceh.

Alfian tak menyangka dua bulan di Aceh ternyata berbuah liputan yang memukau. “Jadinya lucu. Saya sendiri sampai ketawa,” katanya.

“Saya ingat waktu Alfian pulang dari Aceh. Ia menghamburkan beberapa kaset hasil wawancaranya di meja saya. Hampir penuh. Katanya, ‘Andreas ini hasil liputannya’. Saya bilang ya sudah kamu translet. Sampai mabok kamu,” kenang Andreas.

SATU tahun setelah tumbangnya rezim Soeharto, sebuah majalah terbit. Namanya Pantau. Artikelnya boleh dikata aneh untuk pembaca di Indonesia. Halaman depannya gambar kartun. Adaptasi majalah The New Yorker terbitan Amerika. Hmmm, seperti majalah anak-anak, kadang tanpa judul artikel disampulnya. Tiga tahun kemudian, delapan artikel terpilih berhasil disatukan kedalam satu buku. Judulnya Jurnaliame Sastrawi ini.

Selintas membaca judul buku itu, saya tak percaya. Mana mungkin ada jurnalisme yang digabung dengan sastrawi. Dua bidang ilmu yang sangat bertolak belakang. Jurnalisme rohnya adalah fakta, fakta, dan fakta. Sedangkan sastrawi bisa jadi fakta namun dibumbui dengan imajinasi, dan itu sah saja.

Beruntung satu minggu setelah wisuda, saya mengikuti kursus narasi dan Jurnalisme Sastrawi yang di ampuh oleh penyunting buku ini. Andreas Harsono, Budi Setiyono, dan Janet Steele, seorang dosen dari Universitas George Washington. Setiap malam selasa mereka memperkenalkan banyak contoh tulisan. Dari Jhon Hersey wartawan yang menulis tentang tragedi bom di Hirosima sampai Pham Xuan An wartawan yang merangkap sebagai intel di Saigon dan berperan dalam kemenangan Hanoi. Saya menjadi stres membaca semuanya.

Hari demi hari kelas kursus semakin membuat bingung. Kuliah di kampus selama 4,5 tahun seperti sia-sia. Saya dikenalkan dengan metode penulisan flash back, menggebu-gebu hingga sampai klimaks, atau beginning of beginning. Padahal selama berada dibangku kuliah praktis saya hanya mengenal dua struktur penulisan, piramida terbalik untuk hard news dan model kotak untuk tulisan feature.

“Bagaimana struktur tulisan dalam narasi,” tanya Andreas suatu kali.

Tiba-tiba Andreas menulis di kertas HVS putih. Gambarnya seperti frekuensi radio. Naik turun. Ada tegang, ada datar, ada cepat, dan ada lambat. “Seperti inilah struktur narasi itu,” katanya.

Tulisan panjang dan utuh. Tak dipecah-pecah kedalam beberapa tulisan. Lebih dalam dari in-depth reporting. Dan penulisannya lebih mengalir. Gaya bertutur. Menulis narasi seperti membuat sebuah video yang utuh. Berbeda halnya dengan feature hanya satu adegan. Ibaratnya seperti sebuah jepretan foto.

Genre ini diperkenalkan pertama kali oleh Tom Wolfe dan EW Jhonson, pada 1973. Mereka menyebutnya The New Journalism. Genre ini berbeda karena laporannya menyeluruh. Ada adegan, karakter, babak, konflik, penuh detail, dan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Artinya, artikel akan dikerjakan dengan narasumber yang banyak. Wawancara yang dalam, berkali-kali.

Roy Peter Clark, guru menulis dari Poynter Institute Florida mengembangkan pedoman 5W+1H. Menurutnya, who berubah menjadi karakter, what menjadi plot atau alur, where menjadi setting, when menjadi kronologi, why menjadi motif, dan how menjadi narasi.

Seperti penulisan jurnalisme lainnya, jurnalisme sastrawi menggunakan tujuh kriteria. Pertama, fakta. Tak ada setitikpun fiksi yang masuk dalam tubuh tulisan. Hukumnya haram. Menulis nama dengan sebenarnya. Biru tetap biru. Merah tetap merah. Kedua, konflik. Tulisan panjang akan memikat dan dapat dipertahankan jika ada konflik. Konflik dalam hal ini bukan hanya tergantung dari benturan fisik. Ia bisa menjadi pertentangan seorang dengan diri sendiri, dengan masyarakatnya, dengan agamanya dan kebudayaannya.

Ketiga, karakter. Ada tokoh yang akan mengikat cerita. Misalnya dalam tulisan Alfian Hamzah, ada tokoh Rokhim yang digambarkan sangat hidup. Karakter yang dipilih dalam tulisan ini harus memiliki kepribadian menarik. Pekerja dan tak mudah menyerah. Keempat, akses. Sebaiknya jika ingin melakukan reportase harus memikirkan akses. Jaringan. Akses dalam hal ini bagaimana mendekati sumber. Seperti wawancara, dokumen, korespondensi, foto, buku harian, dan sebagainya.

Kelima, emosi. Emosi adalah kedalaman masuk dalam bagian karakter. Ia akan membuat tulisan menjadi hidup. Keenam, perjalanan waktu. Ini diibaratkan sebuah putaran waktu. Truman Capote menulis, kisah pembunuhan satu keluarga Clutter, di Holcomb Kansas. Mereka dibantai dengan senjata laras pendek. Capote menghabiskan waktu mengikuti perjalanan ini dari mulai panangkapan hingga hukuman mati bagi Dick dan Perry. Capote mengikutinya selama enam tahun. Panjang perjalanan waktu ini sesuai kebutuhan.

Ketujuh, unsur kebaruan. Dalam jurnalisme unsur kebaruan adalah satu hal yang sangat penting. Artinya tak ada gunanya mengulang-mengulang kejadian lama. Kejadian itu bisa diulang jika ada fakta baru yang ditemukan. Saya tertarik membaca tulisan Andreas Harsono tentang Iwan Fals, Dewa Dari Lewiminanggung. Berapa banyak wartawan atau buku yang menulis tentang Iwan. Andreas melakukan pendekatan dengan beberapa kali wawancara. Hasilnya ada sesuatu yang belum tertangkap penulis lain. Ia memperkenalkan Iwan sebagai dewa. Tapi disisi lain, dalam setiap pertunjukan musiknya selalu disponsori oleh perusahaan rokok. Dalam ending tulisan itu, Andreas sedih membayangkan seorang dewa mengajak generasi muda untuk merokok.


PADA sebuah diskusi diruang kelas itu, Budi Setiyono, mengatakan wartawan harus sabar jika ingin menulis narasi. Misalnya, tulisan Ngak Ngik Ngok, dikerjakannya dengan beberapa kali wawancara. Sekitar seminggu ia mewawancarai tetangga, mengenal lingkungan Koes Bersaudara, mencari teman dekat. Pemusik yang semasa. Dan membaca puluhan bahkan ratusan literatur dan artikel tentang Koes. Riset mendalam menjadi kuncinya.

Ngak Ngik Ngok adalah julukan Soekarno untuk musik dari Barat. Soekarno tak mengijinkan irama musik ini hidup di Indonesia. Alasannya sederahana, tak sesuai dengan konsepsi kebudayaan nasional. Alhasil personel Koes Bersaudara (berubah nama menjadi Koe Plus) salah satu band ngetop era 60-an ditangkap. Lagu-lagunya dilarang.

Artikel ini dimulai dengan suasana kediaman Koeswojo. Budi tak mau tulisan menjadi kaku karena mengupas hanya tentang sejarah. Ia harus mengetahui bagaimana kehidupan mereka setelah rambut mereka memutih. “Saya menyusun bahan itu sembari mendengarkan lagu-lau mereka, berharap bisa memberikan efek dan suasana pada tulisan,” ujarnya.

Selain kepiluan band Keos Bersaudara ada juga tulisan Linda Cristanthy tentang pembakaran seorang pemulung di belakang Mal Taman Anggrek sebuah pusat perbelanjaan mewah di Jakarta. Laporan ini dikerjakan sekitar sebulan lebih. Ia mencari tahu kembali asal usul si Kebo. Menjahit fakta-fakta di lapangan. Alhasil Kebo hidup kembali dalam tulisan. Ini artikel favorit saya dalam buku ini. Ada jalan lurus yang berangkal batu, pecahan batu, dan kristal semen.

Tulisan ini mengharukan, kasih sayang seorang suami. Kecintaan terhadap anak. Kebengisan. Kekerasan dalam rumah tangga. Pemenuhan ego. Ini cerita yang utuh. “Tulisan narasi harus detail. Saya harus kembali ke tempat itu untuk tahu berapa watt lampu yang menerangi jalan. Saya tak boleh hanya menulis remang-remang,” kata Linda suatu ketika.

Bukan hanya itu, Eriyanto membuat sebuah analisis media. Bagaimana media ikut andil memanaskan sentimen agama dalam kerusuhan Ambon. Kelompok Jawa Pos memecah satu koran, menjadi dua. Suara Maluku untuk corong dipihak kristen. Ambon Ekspress di pihak islam.

Chik Rini, orang Aceh. Ia menulis sebuah pembantaian orang-orang sipil di Simpang Kraft Aceh. Bagaimana wartawan Indonesia meliput dan menjadi saksi pembunuhan orang Aceh. Rini mencari kembali fakta lapangan. Ada banyak versi pembantaian itu. dari LSM, tentara, masyarakat, sampai politisi. Ini kerumitan yang dialaminya. “Berat lo belajar tidak berpihak. Tapi aku merasa bisa melepaskan diri dari keberpihakan itu,” katanya.

Agus Sopian, yang menulis bagaimana Taufik bin Abdul Halim seorang warga Malaysia melakukan pengeboman di Atrium Senen, sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta yang ramai. Hingga ia sendiri harus kehilangan kakinya. Agus membuat penggambaran yang menarik. Kesalahan koordinasi. Dan kaitannya dengan bom natal.

Coen Husain Pontoh, membuat laporan panjang tentang masalah internal majalah Tempo. Banyak tanggapan, ada yang suka, ada yang tak suka. Dalam kata pengantar buku Jurnalisme Sastrawi, dituliskan jika ini adalah sebuah reaksi yang wajar. Sebab masyarakat media di Indonesia tak pernah diliput secara independen.

Sedangkan Andreas menulis tentang warga Jakarta dengan problem airnya. Dia menulis judul artikel Dari Thames ke Ciliwung. Ia menggambarkan bagaimana sebuah perusahaan besar Eropa menguasai produksi air Jakarta. PT. Thames PAM Jaya adalah anak perusahaan besar Inggris-Jeman Thames Water. Dan Lyonnaise des Eaux milik konglomerat Prancis Suez. Jakarta membagi daerahnya mengikuti aliran Sungai Ciliwung. Thames Water mendapat bagian timur dan Suez mendapat jatah di barat.

Andreas menulis dengan memikat. Ceritanya mengalir. Diawali dengan pertemuan duta besar Inggris Richard Gozney dan wakil presiden Hamzah Haz. Gozney meminta Hamzah menaikkan tarif PAM di Jakarta. Cerita awalnya Hamza membiarkan dirinya dikerubuti wartawan. Ia mampu memanfaatkan media. Dari awal pertemuan itu lah muncul cerita memikat, hingga peliknya masalah air Jakarta. Naskah ini adalah liputan investigasi untuk Internasional Consortium of Investigative Journalists. Andreas mengerjakan liputan ini selama setahun penuh. Pada mulanya naskah dalam bahasa Inggris, diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Menurut saya, di Indonesia baru majalah Pantau yang menggunakan genre narasi ini. Peliputan yang panjang dan utuh. Tapi sayang majalah ini berumur pendek. Pada awal 2004 majalah ini tutup. Sekarang Yayasan Pantau, berubah menjadi sindikasi berita, di www.pantau.or.id. Banyak orang yang menyayangkannya. Tapi saya teringat ucapan Andreas, “Karir tertinggi seorang wartawan bukan direktur, atau pemred, atau redaktur. Tapi membuat buku. Tapi yang bagus.”

BEBERAPA hari sebelum meninggalkan Makassar untuk mengikuti kursus narasi di Pantau Jakarta. Saya mempersiapkan diri. Buku Jurnalisme Sastrawi ini tak tahu telah berapa kali saya habiskan. Banyak teman-teman yang mendengar keberangkatan saya. Ada nitip salam ke Andreas, Budi, atau Linda.

Sekarang buku Jurnalisme Sastrawi dalam cetakan ke dua. Warnanya lebih lembut. Gambar sampulnya botol air mineral yang diremas. Kertasnya pun lebih ringan, tak terang. Desainnya menarik. Sebelumnya artikel Andreas bukan tentang kesulitan air di Jakarta, Dari Thames ke Ciliwung tapi resensi tentang majalah New Yorker yaitu Cermin Jakarta, Cermin New York. “Seperti buku terbitan dari barat,” kata Ibe, seorang teman di Jakarta.

Hari itu tiba, kelas kursus pertama dimulai. Andreas sudah di ruangan. Kulitnya putih. Rambut sedikit beruban. Pakai kacamata. Sangat ramah. Jika tersenyum semua kulit wajahnya mengencang. Saya lupa pertama kali ia memakai baju apa. Tapi saya ingat betul celana jeans yang dikenakannya ada coretan dari pulpen. Gambar yang tak jelas.

Beberapa kali saya jalan dengan Andreas. Suatu kali di atas mobil sedan Hyundai Sylver yang dikreditnya, ia berucap, jika wartawan harus independen. Kesalahan pertama wartawan kita (di Indonesia) ketika mereka menjadi tim sukses. “Itu sama halnya dengan ngelonte,” kata Andreas.

Andreas sesekali bertanya pada saya tentang wartawan di Makassar. Saya bilang di Makassar banyak wartawan “ngelonte”. Penampilan wartawan Makassar bergaya. Pakai mobil. Banyak mafia berita. Ada sebagian wartawan senior yang kerjanya hanya duduk di warung kopi, mereka mengandalkan stringer untuk mencari berita. Setelah berita akan ditayangkan ia dengan senang hati menuliskan namanya. Satu berita untuk stringer dibayar sekitar 50 ribu.

Pertama kali ketemu dengan Andreas dan beberapa kali jalan saya kaget. Penampilannya sangat sederhana. Saya berpikir telepon genggamnya mungkin Blac Berry atau communicator. Ternyata bukan.

Sudah hampir enam bulan saya meninggalkan Makassar. Saya teringat Uga, teman diskusi di kampus. Dia tak segan mengatakan, “Jika buku ini betul-betul anjing.”

Anjing adalah pelampiasannya jika membaca sebuah buku yang menjengkalkan. Yang menurutnya sangat bagus. Maria Hattiningsih wartawan harian Kompas, menerima Penghargaan Yap Thiam Hien 2003 di halaman depan buku menulis, “Prosa terbaik dan paling orisinil yang pernah ditulis jurnalis Indonesia saat ini.”

Atau Endy Bayuni pemimpin redaksi The Jakarta Post dalam halaman belakang sampul buku menulis, “Gabungan antara yang terbaik dari jurnalisme dan yang terbaik dari sastra dapat menghasilkan tulisan nonfiksi yang kuat dan efektif…inilah buktinya.”

3 komentar:

  1. Iya, makanya bahasanya manthabs.. Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha
    uhuk2, anjrit keselek..

    BalasHapus