Rabu, Maret 16, 2011

Berceritalah Eko

Itu kapal sudah bergerak. Namanya kapal motor Cari Kawan. Awalnya mudur, lalu berputar kemudian membelakangi dermaga Kayu Bangkoa. Kini aroma laut, langit mendung, dan udara yang sejuk menjadi kawan. Menghirupnya seperti sesajian yang diberikan alam dan tak mungkin terlupa. Rasanya pun sulit untuk untuk menuliskannya.

Itu pada sekitar pukul 12.00 di Sabtu 12 Maret 2011. Saya, Tika dan Faisal akan mengunjungi pulau Kodingareng. Perjalanan menuju daratan Kodingareng sekitar 1 jam. Tapi keadaan siang itu berbeda. Cari Kawan yang merupakan kapal paling jelek dari lainnya bergerak lamban. Guyuran hujan dan sedikit gelombang membuatnya begitu hati-hati.

Saya duduk dengan kursi deretan ke tiga sisi kanan kapal. Angin terasa kuat. Terpal sebagai tirai penghalang ombak begitu ribut terdengar. Atap Cari Kawan dengan bahan plastik seperti yang digunakan untuk melaipisi atap genteng rumah ikutan bocor. Saya pun basah. Akhirnya.

Pengemudi Cari Kawan dari tempatku duduk terlihat begitu tenang. Kaca depan untuk meluruskan pandangan sudah tak bisa diandalkan. Kabut. Dia hanya melihat ke kiri dan kanan kapal. Memperhatikan arus laut yang bergerak. Nelayan-nelayan di Kodingareng tahu diri akan kemampuannya membaca tanda alam.

GPS dan Kompas kadang hanya menjadi percakapan kelas masyarakat untuk menyatakan jika dia bisa membelinya. Persoalan dan masalah di lautan, adalah keterikatan dengan manusianya.

Cari Kawan terus bergerak dia percaya kemampuannya sendiri. Kini kota Makassar sudah bisa dijengkal dari kejauhan dan dermaga Kayu Bangkoa kini tak nampak.

Penumpang-penumpang lainnya tidak setegang saya dan Tika. Ada yang asik ngobrol ada yang tidur dengan pulas. “Sudah biasa,” kata Faisal.

Faisal adalah kawanku yang bekerja sebagai kontributor wartawan untuk Metro TV biro Makassar. Sepekan sebelumnya ketika berencana pulang kampungnya ke Kodingareng dia mengajakku. Memintaku untuk bercerita dengan adik-adiknya di Kodingareng tentang dunia menulis. “Ajak teman-temanku menulis dan berdiskusi dengan mereka. Bagaimana kak. Saya ingin kita cerita bagaimana pentingnya sekolah juga,” pintanya.

Menurut dia, mayoritas anak-anak muda di Kodingareng usai sekolah tingkat pertama (SMP) langsung menikah atau turun ke laut menjadi nelayan. Anak muda yang melanjutkan pendidikannya bisa dihitung jari saja. Faisal khawatir dengan keadaan itu.

CARI KAWAN sudah bergerak hampir 40 menit, pulau Kodingareng sudah mulai nampak di depan mata. Ada dua menara tinggi yang menjulang terlihat. Hujan juga sudah mereda beberapa menit yang lalu. Satu diantara menara itu adalah mercusuar dan satunya lagi adalah menara masjid.

Pulau Kodingareng modelnya memanjang. Luasnya sekitar 2 km persegi, penduduknya sekitar 4000-an jiwa. Di sana ada sekolah dasar, sekolah lanjutan pertama dan baru dua tahun ini ada sekolah menengah pertama. Ada juga satu puskesmas, dengan satu dokter yang ditugaskan untuk menjaga enam pulau yang ada di sekitarnya.

Dermaga Kodingareng sudah sangat dekat, hanya ada sekitar 20 meter. Tiba-tiba tali kemudi Cari Kawan putus. Berputa-putarlah dia sejenak. Tak seorang pun yang panik, si pengemudi malah membakar rokok. Seorang ibu muda malah bediri dan berjalan-jalan melihat-lihat kondisi barang bawaannya. Ada pisang dan beberapa jenis makanan ringan lainnya. Saya berusaha tak menampakkan rasa cemas, tapi Faisal melihatnya. “Nda apa-apaji. Biasaji itu,” katanya.

Dan simsalabim. Kami pun menginjakkan kaki di dermaga kayu itu. Berjalan dengan perasaan lega dan baju ditiup-tiup angin. Tulisan di atas baruga dermaga tertulis, Selamat Datang di Pulau Kodingareng. (Eko Rusdianto)

0 comments:

Posting Komentar