Minggu, Oktober 23, 2011

Mendayung Cerita Kano

Ini Minggu pagi, 23 Oktober 2011, di danau Matano. Airnya jernih, udaranya segar. Saya diajak teman bermain Kano. Perahu kecil dari bahan fiber ataupun plastik. Digunakan dua orang, empat orang paling banyak.

Saya bersama Doni seorang kawan fotografer, menyewa Kano berwarna merah. Masing-masing dari kami memegang dayung. Duduk memanjangkan kaki atau bisa juga bersila. Untuk pemula bermain di Matano harus dilakukan sebelum pukul 12.00, menjelang pukul 13.00 angin akan kencang dan ombak tinggi.


Saya belum pernah mendayung Kano. Inilah kali pertamanya. Ternyata menyenangkan dan membahagiakan. Melihat putaran air disamping Kano waktu mencelupkan dayung, itu seperti mengaduk air di gelas saat menyeduh kopi. Di Matano, airnya berwarna biru. Dasarnya tak landai, tapi curam seperti jurang.

Saya dan Doni mendayungnya dengan hati-hati dan pelan. Saya mengambil posisi duduk depan. Bila orang di depan mendayung di sebelah kiri, maka orang bagian belakang mendayungnya di sebelah kanan. Kalau sudah seperti itu, maka Kano meluncur dengan cepat. Tapi, itu teorinya.

Mendayung Kano membutuhkan latihan beberapa kali. Waktu saya dan Doni hendak menyusuri pesisir bakau di sisi kanan tempat kami, Kano malah berputar-putar. Kalau rencananya meluncur ke depan, Kano berbelok. “Tunggu, tunggu, jangan dayung. Biar saya saja dulu,” kata saya. “Nah, nah, dayung sebelah kiri Don,” lanjutku.   

Susah ternyata.

Saya dan Doni menggunakan pelampung yang disediakan pengelola. Satu paket dayung dan Kanonya, itu harga sewanya Rp25 ribu. Jika banyak orang yang akan menggunakannya, harga sewa itu hanya untuk 2 jam saja. Kalau pengunjung kurang, bisa digunakan sepuasnya.

Doni tak bisa berenang. Dia takut ke bagian tengah. Pada waktu Kano kami sudah menjauh dari dermaga tempat sewa Kano, dia meminta untuk kembali. “Jangan jauh-jauh dong Ko,” katanya. “Ayo-ayo pulang aja,” lanjutnya.

Dasar danau Matano di sekitar tempat menyewa Kano, di Pontada Dermaga Yacht Club seperti padang pasir yang tandus. Yang terlihat hanya sebaran pasir dan pecahan batu berwarna kemerahan, seperti warna tanah Sorowako. Tapi beberapa orang meyakinkan saya, kalau mau lihat pemandangan yang indah, harus menyelam. Di bagian tengah danau, ada banyak ikan dan batu yang berbentuk karang.

Air yang jernih di danau Matano itu zat kapurnya sangat tinggi. Makanya biota airnya kurang beragam dan hanya spesies tertentu yang bisa bertahan. Kalau merebus air danau, busanya akan meluap naik ke bibir panci.

Tapi, akan jadi kepuasan sendiri bagi pengunjung melihat Matano. Air jernih itu, sangat menggoda untuk meceburkan diri ke dalamnya. Memandang dari atas dermaga saja, ikan sekecil kuku jari kelingking akan terlihat jelas berenang.

TAK puas bermain dengan Doni saya berpindah Kano dengan seorang pengunjung lainnya. Dia anak lelaki, masih duduk di Sekolah Menenagah Kejuruan (SMK) Sorowako. Orangnya ramah dan baik. Saya duduk di bagian depan Kano. Dia ajak saya mendayung ke tengah danau. Saya memperhatikan perubahan warna air, semakin jauh, biru airnya semakin kental, bahkan seperti hitam.

Agak takut juga membayangkan isi perut Matano itu. Apakah ada buaya, ikan besar yang bisa makan manusia, ataukah monster. Saya ragu-ragu mencelupkan kaki saya ke 
permukaan air.  

Saat berada di bagian tengah danau danau itu, saya sangat kagum melihat jejeran gunung yang mengelilinginya. Kampung Nuha di seberang danau tampak seperti gumpalan bangunan kertas. Kecil. Hanya sebesar kepalan tangan saya.  

Tapi di sisi lain, ada gunung yang tampak kemerahan, tak ada lagi pohon. Itu area penambangan nikel. Dekat gunung tandus itu, ada beberapa cerobong yang mengeluarkan asap. Itu adalah pabrik PT.Inco. Dan tepat dihadapan kami ada gunung yang masih lebat dengan pohon. Seperti hendak mengurung kami di tengah danau.

Menikmati Kano yang bergerak dengan gelombang kecil cukup mengasikkan. Gunung-gunung yang di hadapan kami itu bergerak. Saya memperhatikannya dengan jelas, mengusap mata dengan air danau. Mungkin hanya halusinasi dan ketakutan. Tapi, tidak. Itu benar, gunung itu bergerak ke arah kiri saya. Gunung itu hidup.

Ataukah karena pengaruh pergesaran Kano yang dimanjakan gelombang. Tapi itu tak penting, ini adalah pemandangan yang sangat membahagiakan.

DI ATAS permukaan air, Kano hanya seperti plastik yang rapuh. Kelihatannya sangat ringan. Tapi itu prasangka yang salah, berat sebuah Kano dalam perkiraanku mencapai 20  kg. Menariknya ke tepian seperti hendak mengeluarkan semua sisa tenaga saya.

Panjang Kano itu sekira 4 meter. Bagian tengahnya memiliki beberapa lekukan. Ada lubang yang langsung menyentuh  permukaan air. Sementara lambungya tetap kosong. Kano tidak elastis, kalau memukulnya bisa membuat tangan patah atau bengkak berminggu-minggu.

Adalah seorang pengacara berkebangsaan Scotlandia, Yohannes Macgregor tahun 1860 yang merancang perahu Kano. Pada masa itu, Kano masih memiliki tiang dan gladak, dan didayung. Dan setelah perancangannya yang pertama, Kano tetap bervolusi hingga mencapai bentuk sekarang. Lalu, Kano menjadi olahraga yang digemari dan pertama kali diperlombakan di pertandingan olimpiade tahun 1936.

Bagi saya mendayung Kano seperti menikmati mainan air yang menyenangkan. Tak ada geladak dan tak ada batasan pandangan. (Eko Rusdianto)

2 komentar:

  1. Hi! I’m impressed, I must say. Really rarely do I encounter a blog that’s both educative and entertaining, and let me tell you, you have hit the nail on the head. Your idea is outstanding; the issue is something that not enough people are speaking intelligently about.

    BalasHapus