Bagimana orang-orang
yang lahir dari trauma, kemudian bangkit dan menemukan kepercayaan diri.
PERNAHKAH anda membayangkan kehidupan yang damai, hidup
saling tolong menolong, membagikan senyum kepada tetangga, lalu tiba-tiba berubah
jadi teror yang mencekam. Ketakutan dan ancaman seperti masuk ke sudut-sudut
rumah, dekat dan tak berjarak. Ada pengumuman dari suara-suara melalui pengeras
suara, dan orang-orang dibunuh. Jenasah-jenasah terkubur di tempat-tempat yang
tersembunyi.
Saya menemui orang-orang itu. Salah satunya adalah Thomas
Lasampa. Lasampa adalah seorang nasrani yang taat dan mantan guru SMA. Dan
berumah di Wasuponda. Bersama kawan-kawannya memelopori lembaga adat Pasitabe
yang menaungi suku Padoe, Karunsuie, Tambe’e, dan Dongi.
Thomas sendiri dari suku Padoe. Salah satu anak suku yang berada
di wilayah Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Pada masa kejayaan kerajaan Luwu abad
12 hingga 19, Padoe adalah anak suku yang dianggap sebagai saudara dari tanah
jauh.
Suku-suku yang dinaungi adat Pasitabe adalah rumpun suku
yang berada di wilayah pegunungan, sekitar danau Matano. Mereka pada mulanya
menganut kepercayaan Melahomua, yakni
kepercayaan yang memuja gunung, atau pohon-pohon besar yang dianggap memberi
kehidupan dan dihuni mahluk-mahluk halus yang menguasai bagian tertentu.
Sekitar tahun 1880-an, ketika kekuasaan Belanda mulai
melebar dan memasuki wilayah Sulawesi, para misionaris pun ikut menyebar.
Orang-orang Padoe, Karunsuie, Tambe’e, dan Dongi, kemudian beralih kepercayaan
menjadi nasrani. Kemudian tahun 1950 pada masa pergolakan Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia (DI/TII) orang-orang itu memaksa menganut agama islam.
Tapi ceritanya tak sesederhana itu. Thomas yang masih
berusia 12 tahun saat peristiwa teror itu terjadi. Tahun 1954, bersama
keluarganya hijrah ke Malili (sekarang ibukota Kabupaten Luwu Timur). Di
Malili, Thomas kemudian belajar mengaji. Namun bukan untuk berpindah keyakinan,
tapi untuk menyelamatkan jiwanya. “Ini adalah masa yang suram,” katanya.
Lasampa, hingga sekarang masih menghapal beberapa surah pendek
dalam Alquran. Dia melafalkannya dengan cukup fasih ketika saya bertemu
dengannya. Di ruang tamunya, yang berdebu dan sofa murahan, matanya terlihat sembab.
Kesedihan Lasampa seperti memuncak, saat ceritanya menggapai
detik-detik ayahnya menghilang. Ayahnnya adalah seorang tokoh masyarakat yang disegani
masa itu. “Itu tahun 1950-an itu,” katanya. Dimana pada sebuah siang, sebuah
mobil mendatangi rumah keluarga Lasampa, beberapa orang turun dan mengundangnya
ayah Lasampa untuk menghadiri perundingan di Sorowako – yang jaraknya sekitar 30
kilometer dari Wasuponda.
Pada awalnya, tak ada firasat buruk. Ayah Lasampa, bersama
38 orang lainnya pun memenuhi undangan pasukan DI/TII. Setiba di Sorowako,
perundingan dibatalkan, dan dipindahkan ke seberang danau Matano.
Sebanyak 38 orang perwakilan itu tak mampu berbuat apa-apa. Mereka
manut. Di tengah perjalanan menyusuri
birunya air Matano, orang-orang itu menemui ajal. Mereka dibunuh dengan keji. Jenasah
mereka tak dibuang ke danau, melainkan dibawah kembali ke daratan. “Tiga hari
kemudian, kami temukan itu ayah saya, tangan dan kakinya terikat. Darahnya
sudah mengering. Itu jenasah duduk dibawah batang pohon,” kata Lasampa.
“Bisa dibayangkan bagaimana kesedihan anak-anak seperti saya
yang belum sekolah tapi sudah tidak ada ayah.”
MAHADE ADALAH keturanan dari Tosalili, orang yang dianggap
membuat kampung Sorowako. Tosalili tak jelas asal muasalnya dari mana. “Saya
kira besar kemungkinan dia ada darah dari Mekongga – Mengkoka,” kata Mahade.
Mahade sama dengan Lasampa, seorang guru. Tahun 1950 ketika
pergolakan DI/TII memasuki Sorowako, semua anak-anak seusianya diwajibkan mengikuti
pendidikan menjadi tentara islam. “Saya beruntung karena seorang guru, jadi
saya tidak wajib ikut jadi gerombolan,” katanya.
Ketika tekanan DI/TII semakin kencang, tahun 1955 penduduk
Sorowako akhirnya meninggalkan kampung halaman menuju Seluro, bagian lain pesisir
danau Matano untuk mengungsi. Dua tahun kemudian, oleh pasukan DI/TII rumah-rumah
mereka dibakar. Kampung Sorowako menjadi hangus.
Bahar Mattalioe dalam Kahar
Muzakkar dengan Petualangannja, menuliskan bila rencana pembakaran
kampung-kampung itu untuk menunjukkan titik kekuasaan atau menjadi penanda
batas antara wilayah yang dikuasai TNI dan DI/TII.
Di Seluro, kehidupan para pengungsi cukup memprihatinkan. Tanahnya
yang tak subur susah untuk tumbuh padi. Sementara sagu berada di wilayah
terlarang. Akhirnya penduduk mengkonsumsi singkong sebagai makanan pokok dan daunnya
menjadi sayur.
Tahun 1962 keadaan sedikit tenang. Penduduk Sorowako
akhirnya kembali ke tanah kampung awal mereka. Membangun kembali rumah-rumah
yang sudah dibakar dan mulai mengelola lahan pertanian. Awal-awal masa itu
sungguh membahagiakan, orang-orang saling membantu, saling memberi semangat
untuk bangkit.
Tapi nafas kedamaian itu ternyata hanya sesaat. Saat padi
sudah mulai menguning, ketegangan muncul lagi antara TNI dan pasukan DI/TII. Tanpa
menunggu panen, penduduk kembali ke Seluro. “Itu keadaan yang sungguh sulit.
Semoga kita tidak lihat lagi keadaan seperti itu lagi,” katanya.
HASYIM ADALAH seorang yang memiliki perawakan besar. Sebagian
besar rambut di kepalanya sudah memutih, beberapa lainnya terlihat kuning. Dia
menghabiskan masa kecil dan dewasanya di desa Suli, Kecamatan Suli, Kabupaten
Luwu.
Sebagai anak muda, dan keluarga yang cukup dikenal, dia
memiliki pengaruh di daerahnya. Orang-orang menghargai orang tuanya dan itu
ikut menular padanya. Tahun 1980-an ketika pemilihan umum dilaksanakan, yang hanya
ada tiga partai yakni Golkar, PPP dan PDI, dia memtuskan memilih PPP. Menurut dia,
partai itu membawa amanah islam.
Di tempat pemungutan suara, dia tanpa ragu mencoblos gambar kabah
untuk lambang partai. Tak ada rasa sesal atau khawatir dalam dadanya. Sehari kemudian,
dia ketahuan memilih PPP bukan Golkar. Dan hal itu menyulut kemarahan aparat
desa khususnya TNI dalam lingkup kuasa Koramil. “Saya juga heran kenapa bisa
ditahu,” katanya. “Ternyata surat suara itu sudah ditandai. Jamang-jamangna tau’e (kerjaan
orang-orang).”
Beberapa malam rumah Hasyim dikepung oleh pasukan TNI. Lalu dia
mendapat panggilan ke kantor Koramil untuk melakukan introgasi. “Kenapa kau
memilih PPP? Adakah untungnya,” kata Komandan Koramil saat itu. “Jangan
mempersulit diri,” lanjutnya.
Hasyim hanya tersenyum. Dia mulai dibentak dan diberikan
ancaman. Seorang yang lain sudah babak belur kena pukulan dan tendangan sepatu
lars. Ada juga orang-orang yang kuku kakinya sudah terlepas. “Tidak bisaki
melawan nak,” kata Hasyim. “Jadi memang dari dulu kita selalu dipaksa dan
mungkin juga itumi hidupta ditentukan oleh orang-orang,” ujarnya.
SAYA BERTEMU dengan mereka tahun 2012. Menemani mereka ke
kebun, meluangkan waktu bercerita, atau menemani menyeruput kopi. Mereka bagi
saya seperti orang-orang yang memiliki kekuatan-kekuatan tersembunyi yang
begitu kuat.
Thomas Lasampa kini pensiun sebagai seorang guru dan mengabdikan
dirinya membentuk lembaga adat, mengenalkan pada setiap orang
kebudayaan-kebudayaan Padoe yang mulai hilang dan diharamkan pada masa DI/TII. “Saya mencintai kehidupan ini. Saya mencintai
kehidupan nasrani saya. Dan disinilah saya bermula, dari budaya kami,” katanya.
Lasampa kini membolak-balik lembaran kehidupan masa lalunya,
mengunjungi orang-orang tua, dan menciptakan kembali kesenian-kesenian sukunya.
Baginya, hidup akan terus berlanjut, dan apa yang telah sulit ditemukan akan
kembali dihidupkan. Dia ingin, ragam budayanya tidak lenyap bersama kegeraman
orang DI/TII.
Mahade, tiap hari mengunjungi kebunnya di pesisir danau
Matano. Dia memiliki rumah kebun yang cantik, air danau beriak menampar
tiang-tiang rumahnya. Suara air itu menyenangkan dan buat sejuk perasaan. Kini
dia sudah punya cucu dan cicit. Keturunan-keturunan itu membuatnya serasa seperti
muda dan berguna. “Saya tak pernah menceritakan kisah-kisah sedih pada anak dan
cucu. Saya pendam sendiri. Biar saya saja yang tahu. Semoga tidak ada lagi masa
seperti itu, masa bunuh-bunuh,” katanya.
Hasyim bekerja paruh waktu untuk perusahaan yang membutuhkan
tenaganya di Sorowako. Dia memiliki pengalaman yang baik, biasanya perusahaan
akan mengontraknya per 6 bulan. Sekarang di pesisir danau Towuti dia membangun
rumah untuk menjaga kebun-kebunnya. Dia menanam merica, kakao, dan kelapa
sawit.
Thomas Lasampa, Mahade dan Hasyim adalah orang-orang yang memiliki
cerita dan kisah yang berbeda. Tapi mereka besar dalam kurun waktu yang sama. “Masa
lalu adalah pelajaran,” kata Lasampa.
“Sekarang saya membantu orang-orang untuk melakukan kampanye,
kadang-kadang menjadi tim sukses. Kan dulu kita dilarang-larang dan dibatasi
mendukung partai, sekarang saya bebas memilih. Meskipun selalu tidak puas,”
kata Hasyim.
0 comments:
Posting Komentar