Nama-nama
Tanpa Nisan
Monumen Korban 40.000 Jiwa, di Kampung Kalukuang, Makassar. |
PADA SELASA 28
Januari 1947, ketika matahari pagi itu sudah setingi tombak, penduduk dikumpulkan
di sebuah lapangan Suppa, ada suara
ledakan pistol dan ratusan orang terkapar, lalu dimakamkan dalam tiga liang
besar.
Saat itu, Sikati berusia sekitar 25 tahun, bersama seorang
bayinya tidur dengan pulas di rumahnya di kampung Ujung, Desa Malongi-longi,
Kecamatan Lanrisang, Kabupaten Pinrang. Jaraknya sekitar 10 kilometer menuju
Suppa. Ketika suara azan subuh dari surau-surau belum terdengar, tiba-tiba datang
suara gaduh. Ada serdadu ramai teriak, memerintahkan semua penghuni rumah untuk
keluar.
Pada waktu bersamaan di tempat lain, sekitar 7 kilometer dari Suppa, Ceddung seorang ibu muda dan guru membaca Al-Quran di kampung Kae’, Desa Tassiwalie, Kecamatan Suppa, sudah terjaga. Dia terbangun karena juga mendengar suara ribut serdadu.
Sementara itu, Andi Munji di Kampung Suppa, Kelurahan Watang
Suppa, Kabupaten Pinrang, ikut pula terjaga. Usianya masih sekitar 10 tahun,
bersama ibu dan adiknya yang masih belajar merangkak dikutkan dalam gendongan, berjalan
menuju lapangan. Dia melihat banyak orang dan tentara berjaga-jaga dengan
senjata lengkap.
Remaja lainya adalah Akil. Dia sedikit lebih tua dari Munji.
Rumah mereka hanya berjarak beberapa meter saja. Akil berusia sekitar 20 tahun,
ketika serdadu Belanda mengumpulkan semua penduduk di lapangan. Ayahnya bernama
Ambo Siraje, seorang militan yang pro Republik dan penentang Belanda yang tak
pernah gentar.
Di lapangan itu, seluruh penduduk dikumpulkan dari berbagai
kampung. Laki-laki dewasa dikumpulkan bertelanjang dada, duduk bersila, dan hanya
menggunakan celana kolor. Perempuan dan anak-anak di tempatkan di bawah kolong
rumah. Seorang serdadu Belanda berjalan, meneliti setiap orang, lalu tanpa
aba-aba menekan picu pistol, pelurunya menembus kepala. Dalam beberapa catatan,
ada 208 orang pria terbunuh tanpa perlawanan di lapangan Suppa, atau sekitar 16
orang setiap jamnya meregang nyawa, disaksikan anak-anak, keluarga dan istri
mereka.
Peristiwa itu berlangsung sejak pagi hingga menjelang
magrib. Banyak orang bertanya-tanya mengapa mereka menyaksikan peristiwa keji
itu. Empat orang ini adalah sebagian dari mereka yang selamat dari ribuan
penduduk yang meninggal. Mereka mengingat-ngingat kejadian, meski harus
berhenti sejenak, sebab air mata menetes sendiri. Inilah kali pertama mereka
melihat lebih banyak kematian dari pada yang mereka pikirkan. Dan saat
peristiwa itu terjadi, semua orang sebenarnya tidak mengetahui nasib sendiri. Apakah
ada di ujung pistol itu. Mereka hanya bisa berdoa dan berpasrah.
Lalu pembunuhan itu dikenal di Nusantara sebagai peristiwa
Korban 40.000 jiwa, dilakukan oleh seorang serdadu cakap dari Pasukan Komando
Khusus atau Depot Speciale Troeppen (DST)
pemerintah Belanda - yang di pimpin Raymond Westerling.
****
Sikati, salah seorang janda korban 40.000 jiwa. Tahun 1947 ketika peristiwa pembantaian Westerling, dia berusia 25 tahun. |
PAGI-PAGI sekali,
Sikati, dengan ratusan penduduk kampung lainnya berjalan melewati pesisir dan
menyeberangi sungai kecil dengan hati-hati. Mereka digirng menuju kampung Suppa,
diawasi oleh serdadu-serdadu dengan persenjataan lengkap. Rumah-rumah mereka
dibakar, semua barang dan benda apapun tak boleh dibawa serta. Yang tersisa
hanya pakaian yang melengket di badan.
Sikati hanya bisa memandangi rumahnya. Api yang berkobar
cepat seakan menghias langit subuh itu. Jualannya berupa barang campuran ikut
terlalap. Ketika dia hendak menyelamatkan sedikit barangnya, serdadu Belanda
itu menendangnya. Belum puas kesedihannya melihat rumah yang teralalap, serdadu
sudah memerintahkan untuk mulai berjalan. Tak ada langkah yang boleh mengendur
sedikit pun. Orang-orang berjalan dengan penuh prasangka. Tak ada yang tahu
kejadian apa yang menunggunya di sana. Rombongan itu menyelesaikan perjalanannya
tak kurang dari dua jam.
Beberapa hari sebelumnya, suaminya Abduh Rahman, terlebih
dahulu ditangkap. Pasukan Belanda
menuduhnya sebagai seorang mata-mata dan anggota bende – kelompok liar atau pasukan pribumi yang menentang Belanda. Dengan tangan terikat, tanpa menggunakan baju,
suaminya digelandang naik sebuah mobil jeep. Kepalanya tak boleh mendongak. Sikati
melepas suaminya di halaman rumah dengan perasaan kalut.
Pada Kamis, sepekan sebelum pembunuhan di Suppa, bapaknya Daeng
Mappile, seorang tokoh yang disegani, kepala kampung pertama di desa
Malongi-longi juga di tembak mati, dengan tuduhan yang sama. Dia yakin nasib suaminya akan seperti sang
bapak.
Tapi sesampai di lapangan Suppa, tempat orang-orang
berkumpul, dia masih berharap menemukan rupa suaminya. Namun tak ada. Dalam
keadaan yang serba tak menentu, seseorang berbisik padanya bila sudah melihat sang
suami ditembak mati sesaat sebelum mereka datang. Jenasahnya sudah dimasukkan
ke dalam liang galian. Hatinya remuk padam.
Anak keduanya yang masih kecil menangis dalam pangkuan. Dia
lupa memberinya ASI. Dan menjelang siang, badan mulai kelelahan.
Di tempat yang sama di lapangan Suppa itu, Andi Munji, duduk
berdekatan dengan neneknya. Dia melihat bapaknya diantara orang-orang yang duduk
bersila. Bapaknya bernama Andi Monjong, menjabat sebagai Pabbicara Suppa – camat untuk masa sekarang. Tugas utama Andi
Monjong adalah memberi laporan pada pemimpin Suppa, Andi Abdullah Bau Massepe
Datu Lolo, yang saat itu bermukim di
kota Parepare.
Untuk menempuh perjalanan dari Suppa menuju Parepare pada tahun
1947 hanya menggunakan perahu dan Pabbicara
Suppa hampir tiap minggu melakukannya, laporannya berkisar dari mulai keadaan
rakyat, hingga masalah politik. Karena alasan itulah, Andi Monjong ditahan di
penjara Kariango selama tiga pekan.
Andi Munji bersama ibunya, beberapa kali mengunjungi sang
bapak untuk sekedar membawa makanan. Ruang tahanan bapaknya bukanlah sebuah sel
yang luas, melainkan menyerupai sebuah perangkap atau kurungan yang terbuat
dari kayu berbentuk persegi.
Kondisi sang bapak dalam tahanan itu sangat
memprihatikannya. Ukuran “sangkar tahanan” hanya cukup dalam posisi gaya
merangkak. Tak dapat duduk dengan posisi tegak apalagi untuk berdiri. “Jadi
kalau mau makan di suap saja melalui mulutnya dari depan. Mandrasa dikka (sangat tersiksa),” kata Andi Munji.
Andi Munji adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Saat
detik-detik penembakan Bapaknya, dia berada tepat dengan garis lurus si
penembak. Dia hanya melihat punggung sang bapak. Sambil mempraktikkan gerakan
itu, Andi Munji, menirukan bentuk pistol dengan menegangkan ujung jari telunjuk
dan ibu jarinya, sementara jari lainnya
seperti mengepal. Dia melihat orang menembak itu menggunakan tangan kiri. Dan
dengan jarak yang begitu dekat, seperti menodong, dalam sekejap kepala bapaknya
tertembus peluru.
“Bapak saya jatuh. Seperti orang sujud, mukanya menghadap
tanah,” kata Munji.
“Itu pabbicara Suppa, sudah mati,” kata
Palintang, neneknya yang ditemani duduk.
Pabeseang adalah kakak Munji. Ketika bapaknya sudah
tertelungkup meninggal, dia berlari hendak mendekati. Tapi dihalau. Kakinya di
tumbuk dengan senjata gagang panjang, hingga patah dan lumpuh seumur hidup. “Saat
itu saya hanya bisa menangis,” kata Munji. “Tapi, tiba-tiba malah ada itu orang
Belanda datang bawakan saya roti, tapi saya tidak makan itu roti,” lanjutnya.
Selain bapaknya, Munji juga menyaksikan Om dan Kakeknya
terbunuh di tempat yang sama. Ketika jenasah bapaknya digotong beberapa orang
menuju liang, maka si pengangkat pun mendapatkan pula hadiah peluru. Begitulah
seterusnya. Pembunuhan di Suppa dalam beberapa
catatan yang dilakukan Raymond Westerling diperkirakan salah satu yang terbesar
karena hanya dilakukan satu hari. Selain korban di Galung Lombok, Mandar,
sekitar 800 orang dalam beberapa hari.
Westerling tiba di Makassar pada awal Desember 1946 bersama
123 serdadu lainnya, melalui unit pasukan khusus DST. Dan pada 10 Desember
1946, melakukan pembunuhan pertama di wilayah Batua, Makassar, dengan
mengumpulkan sebanyak 45 orang. Aksi tersebut dilakukan untuk memberi
peringatan, bila Negara dalam keadaan bahaya. Sejarawan Universitas Hasanuddin,
Edwar Poelinggomang, mengistilahkannya semacam tindakan peringatan atau shock therapi untuk masyakarat.
Pemilihan Sulawesi Selatan untuk pusat operasi karena merupakan
wilayah strategis sebagai ibu kota negara Timur Besar yang meliputi seluruh Indonesia
Bagian Timur atau grote ost. Selain
itu, kontur wilayah dan persebaran yang luas, dan penduduk yang memiliki
semangat juang. Sementara di dalam hutan-hutannya para gerilyawan masih
bergerak.
Tahun 1945, saat NICA memasuki Sulawesi Selatan, ketika pemerintahan
sipilnya di jabat oleh Dr. Lion Cachet, dia berhasil mengkocar kacirkan
perjuangan di bidang politik. Membentuk laskar-laskar perjuangan sendiri untuk
membantu aksi-aksi dan melancarkan strategi Belanda. Dr. M. Natzir Said dalam
bukunya SOB 11 Desember 1946, menuliskan bila NICA bahkan
menggandeng tokoh-tokoh masyarakat dan mengganti raja-raja yang pro Republik
menjadi yang dapat bekerjasama dengan NICA. Dan kelak kelompok inilah yang membantu tugas
Westerling dan pasukan Belanda melakukan aksi penumpasan. Termasuk membentuk
PARNESI (Partai Negara Serikat Indonesia), Partai Kemerdekaan Indonesia (PKI),
PARKI (Partai Kemerdekaan Indonesia) pimpinan Sonda Dg. Mattajang.
Rencana pun dimulai, pada Juli 1946 Belanda menggelar konferensi
di Malino untuk meloloskan konsep Negara federal, yakni pembentukan Negara
Indonesia Timur, namun gagal. Kemudian pada 11 Desember 1946, perundingan dipindahkan
di Denpasar, Bali. “Di konferensi Bali, Negara Indonesia Timur terbentuk. Karena
para delegasi dipaksa dengan ancaman akan lebih banyak korban, karena
Westerling sudah melakukan pembunuhan sehari sebelumnya,” kata Edwar
Poelinggomang.
Tapi bersamaan dengan keputusan itu, Gubernur General Hindia
Belanda, Van Mook di Batavia, mengeluarkan surat perintah untuk melakukan hukum
di tempat (stan-drecht), sebab Negara
dalam keadaan darurat atau Staat Van
Orlog en Beleg. Dalam surat perintah itu, ada empat wilayah yang mendapat
perhatian utama, yakni afddeling
Makassar, Bonthain (Bantaeng), Mandar, dan Parepare yang meliputi Suppa.
Menurut Edwar, dari empat wilayah tersebut, kelompok-kelompok
kelaskaran tumbuh subur dan berkembang, dari KRIS, BPRI, TRI, LAPRIS hingga
Lipan Bajeng. Di Parepare Pemimpin pemerintah
RI dijabat oleh Datu Suppa Toa Andi
Makassau dan pemimpin tertinggi kelaskaran adalah Datu Suppa Lolo Andi Abdullah Bau Massepe.
Saat itu, Andi Makassau, menjalin hubungan dengan Jawa,
melalui perdagangan. Bahkan beberapa penduduk dikirim ke Jawa untuk melakukan
latihan militer, dan sebaliknya pasukan-pasukan kelaskaran dengan mudah
berlabuh di pelabuhan Suppa. Untuk itu lah Westerling pada pertengahan Januari
1947 meyambangi Parepare. Bersama pasukan KNIL dan pasukan pendukung dari
pribumi yang sudah dilatih sejak masuknya NICA yang dinamakan Poke, menangkap
Andi Makkasau yang kemudian di tenggelamkan di laut dan Bau Massepe di seret
dengan mobil hingga meninggal dunia. “Pasukan Poke inilah yang menyebar terror
bahkan hingga Juli 1947,” kata Edwar beberapa waktu lalu.
Atas dasar itulah, pada 1947 ketika Jawa dilanda kesedihan
saat sebuah gerbong kereta barang dari Bondowoso menju Surabaya, digulingkan
dan mengunci rapat sekitar 100 orang didalamnya. Presiden Soekarno mengutuknya.
Namun Kahar Muzakkar menyampaikan hal yang lebih perih, bila di Sulawesi telah
terjadi pembunuhan 4.000 bahkan saja sudah mencapai 40.000 korban jiwa.
Presiden Soekarno, kemudian mengajukan gugatan pada dunia
Internasional dan pemerintah Belanda sebagai tindakan diluar batas kemanusiaan
dan merupakan kejahatan perang karena pelanggaran hak asasi manusia. Dan
akhirnya peringatan peristiwa korban 40.000 jiwa dilakukan pertama kali di
Jogja pada Desember 1947.
Meski demikian perdebatan mengenai jumlah korban yang tewas
dalam aksi Westerling itu masih diperbincangkan, tapi Edwar yakin angkanya mencapai
ribuan. “Dari fakta fisik yang ada, di seluruh taman makam pahlawan di Sulawesi
Selatan jumlah korbannya mungkin tak mencapai 30.000 orang,” katanya.
Bertahan
Seadanya
AMBO SIRAJE
adalah komandan battalion dan membawahi puluhan orang pasukan. Selama melakukan
perjuangan, bersama keluarga dan pasukannya,
dia bergerilya dari hutan ke hutan. Akil saat itu sudah berusia 20 tahun dan
sudah mulai ikutan. “Saya sering keluar masuk hutan dengan bapak saya,”
katanya.
Setelah Bau Massepe dan Andi Makkasau dinyatakan meninggal
dunia, pasukan pro RI terus berpencar ke hutan-hutan untuk menyelamatkan diri.
Akil bersama ibunya kembali ke kampung. “Setelah pemimpin Suppa meninggal itu,
suasana memang sudah kacau. Tidak ada harapan lagi. Sama seperti perasaan anak
yang kehilangan bapaknya,” kata Akil.
Entah kenapa, menjelang siang, rombongan dari kampung Kae’e
dibolehkan kembali. Ceddung bersama rombongan perempuan dan anak-anak yang
terisa berjalan beriringan.Tapi, sebelum meninggalkan lapangan penembakan itu,
dia menoleh ke liang tempat beberapa jenasah ditumpuk yang tentu didalamnya
sudah termasuk suaminya. Sesampai di kampung dalam beberapa jam yang melelahkan,
didapatinya rumah sudah menjadi arang. Persediaan makanan sudah habis. Di
sebuah tanah lapang, beberapa orang duduk menangis.
Penduduk dari kampung lain
yang beruntung rumahnya tak dibakar membawakan makanan seadanya.
Sementara Sikati dan penduduk dari Lanrisang, menjelang
magrib baru diperbolehkan pulang. Berduyun-duyun dengan rombongan besar, mereka
berjalan hati-hati melewati pematang dan pesisir. Perut mereka sudah
keroncongan. Tanaman jagung yang tumbuh dan masih sangat mudah dilalap juga.
“Sudah tidak ada makanan apa boleh buat nak,”
katanya.
Penderitaan itu, berlangsung cukup lama. Sikati, bertahan
menghidupi dua orang anaknya dengan membangun kembali gubuk kecil dari bekas
rumah yang terbakar. Dia menjual penganan kue di rumahnya. Membantu penduduk
lain yang sedang panen untuk mendapatkan upah beras. “Mapeddiki nak. Mapeddi,” katanya. Susah sekali nak. Susah sekali
keadaaan.
Tak hanya itu, berbulan-bulan kemudian, penduduk masih
trauma bila di kampung mereka melintas mobil-mobil jeep dengan pasukan militer.
“Semua pintu akan ditutup. Masyarakat bahkan beraktifitas dengan seadanya.
Semua serba ketakutan,” kata Andi Munji.
Menurut Munji, peristiwa penembakan tidak hanya berhenti di
hari itu. Tapi efeknya berlangsung lama dan membuat beberapa orang enggan
membicarakan. “Sekarang ada pembicaraan untuk menuntut ganti rugi. Saya pribadi
tidak akan memburu itu. Tidak mungkin. Itu seperti menggadai nyawa orang tua
saya,” katanya.
Ceddung pun
berpendapat demikian. Dia hanya berharap peristiwa serupa tak lagi terulang. “Selaluka
merinding. Ca’kiddika ake kukilalai (Selalu
merinding bila mengingat ingat masa itu),” ujarnya. ()
Catatan: Artikel ini dipublikasikan pertama kali di Majalah Historia edisi ke-7, November 2012.
- Tulisan lain saya mengenai Westerling dan Negara Indonesia Timur dan cerita pendek Tuan Penembak.
Astaga! Bagusnya ini tulisan bah!
BalasHapusMenggelegak darahku baca tulisanmu ini, Ko!!
BalasHapusaku sudah join, follback ya mas
BalasHapusKalo benar saya sering bermain bola di suppa sampai sekarang, tapi yg dimaksud lapangan suppa mna? Saya orang suppa
BalasHapusIni tulisa yang sangat bagus dan layak mendapat acungan jempol. Di Belanda ada sosok pejuang Indonesia yang mengangkat kasus kekerasan Belanda di Indonesia. Namanya Jeffry Pondaag.
BalasHapushttp://www.serbalanda.com/2014/08/jeffry-pondaag-pejuang-indonesia-di.html
di sini ka lagi..
BalasHapus