MOBIL
saya
mogok di perjalanan tepat di pendakian menuju desa Asuli. Saya memotong sebuah
tangkai pohon kecil di sisi jalan, menelungkupkannya di depan dan satunya lagi
di belakang mobil, sebagai tanda hati-hati untuk kendaraan lain yang melintas.
Sebentar
saja saya mengasoh menunggu pertolongan, seekor burung Nuri bersama kawanannya
melintas tepat di atas kepala. Seekor lainnya menengok ke arah saya. Lalu
menukik tajam dan bertengger di pohon kecil tampatku bersandar.
Sambil
membuka paruhnya yang bengkok dan keras berwarna merah itu, dia menjulurkan
lidahnya. “Kau punya susu,” katanya. Burung Nuri itu pandai bicara. Dia juga
tak takut, malah mendekatiku. Mengangkat kakinya. Tanda bersalaman. “Hanya ada
minuman karbonasi. Kamu mau,” jawabku.
“Tidak.
Saya sering sakit perut kalau minum coca
cola dan sejenisnya,”
“Ok. Kau mau lebih lama, kita bisa bertukar pikiran. Baru
kali ini saya bertemu burung yang pandai bicara manusia dan bebas pula,”
“Maaf bung, saya terburu waktu, saya ada meeting bersama kawanan lainnya dibalik
pohon itu,”
Dengan sekali kepakan, burung itu berlalu.
Saya kemudian beralih duduk di jalan beraspal buatan
sebuah perusahaan nikel di Sorowako. Meluruskan kaki dan membuat lengan seperti
standar kendaraan. Sebentar saya menyulut rokok, tiba-tiba di sisi lain ada
pula rombongan kupu-kupu yang dipimpin Papilio
Androcles melintas. Rombongan itu terbang dengan anggun dan mengarah ke rimbunan
pohon tempat Nuri menghilang.
Saya mengamati mahluk yang pernah di teliti Wallace di
Bantimurung itu dengan perasaan kagum. Saya membuka pintu mobil, tergesa-gesa
merogoh tas menggapai kamera, dan sial batereinya habis. Saya berdiri melongo.
Lalu tiba-tiba suara seperti siulan dan kepakan sayap
muncul dari arah berlainan. Warnanya kuning. Itu kawanan burung Kepodang. Saya
menarik nafas dalam-dalam. Dan tentu hanya dalam hitungan detik rombongan
kupu-kupu itu akan lenyap menjadi penganan.
Saya mencari-cari batu, ranting, atau apapun, lalu
dengan sekuat tenaga mengayun lengan dan melemparkannya ke arah Kepodang. Tak
sampai, para Kepodang itu tak sedikitpun merasa terganggu. Saya putus asa.
Akhirnya saya berteriak-teriak. Menepuk-nepuk telapak tangan. Tetap saja tak
berhasil mengusir Kepodang.
Kaleng coca cola
yang masih terselip dekat ban mobil akhirnya kuteguk. Sebentar lagi akan
menyaksikan pembantaian. Saya mengeluarkan buku catatan dan akan menulis detail
cerita sadis itu.
Seekor Kepodang mungkin pimpinan mereka terbang serupa
gelombang, menukik menuju kerumunan kupu-kupu. Pappilio Androcles yang jadi pimpinan rombongan terbang memutar
arah. Seperti hendak beradu tabrakan dengan Kepodang itu.
Saya berteriak. Tidak mungkin kau bisa melawannya. Dan
dua mahluk dari kejauhan kulihat masing-masing bertengger. Kepodang di tangkai
dan kupu-kupu di ujung daun. Mereka saling menatap.
Minggu, 9 Juni 2013, sekitar pukul 08.00 kupu-kupu dan Kepodang itu
saling tatap. Cengkram cakar Kepodang yang kuat tak membuatnya bergoyang
dihembus angin. Kupu-kupu meskipun punya kaki tiga pasang, seakan menari
mengikuti ritme daun yang digoyang angin. Mungkin seperti inilah keberanian
menghadapi maut.
Beberapa menit kemudian, saat saya hendak memulai
baris selanjutnya, tiba-tiba dua binatang itu saling mendekat. Seperti seakan
ingin saling cipok. Saya teringat
sebuah teropong dalam tas kamera, dengan memutar tombol fokus dan
menempelkannya di kedua mata saya mengamatinya dari jarak puluhan meter.
Kepodang itu membuka katup paruhnya yang berwarna
kemerahan. Kupu-kupu Pappilio Androcles membuka bentangan sayap,
terlihat jelas serupa garis putih lurus dibelakang sayap itu seperti gunting.
Yang bila tertutup orang-orang selalu mengira Androcles adalah kupu-kupu berekor yang cantik.
Saya menghitung dalam kepala, satu, dua, tiga, empat,
tapi Kepodang itu tak menyambarnya. Ada apa? Mungkinkah si burung sudah
kenyang, atau Androcles kemudian
mengibah untuk tak dimakan. Tapi mana mungkin ada cerita semacam itu: ah saya
kira hanya ada dalam dunia dongeng.
Pukul 10.00 udara mulai menyengat, bantuan perbaikan
mobilku belum datang. Pepohonan tak mampu menjadi tembok penghalau matahari. Coca cola dan air mineral sudah habis.
Buku catatan masih kugenggam. Saya membaringkan badan di bawah mobil, kepalaku
hampir menyentuh ban belakang. Bau mesin dan aus besi dari rangka-rangka mobil
tua keluaran tahun 1996 sangat terasa.
Tak ada tanda-tanda, telepon genggam belum berdering.
Bantuan sepertinya masih lama. Tiba-tiba saya tertidur, teriakan-teriakan
burung Nuri membangunkanku. Itu sudah hampir pukul 12.00. Saya tersentak. Kepalaku
terantuk di besi gardan,
hampir-hampir saja membuatku jatuh pingsan.
Saya berdiri celingukan di samping mobil. Seekor Nuri
lainnya kembali mendekatiku. “Hei bung. Nama saya Galeng. Kita akan bertemu
suatu saat nanti. Dan manusia akan tahu siapa sebenarnya pemilik cerita,”
katanya.
Saya hanya melongo. Lalu bergantian, rombongan
Kepodang menyambar di atas kepala. Kemudian di baris belakang para laskar
kupu-kupu.
SETIAP AKHIR pekan saya
berkemah di tempat-tempat terpencil. Saya menamakan kegiatan itu pencinta malam
minggu. Kenapa demikian, sebab anak muda seperti saya tak boleh tidur di rumah
saat malam minggu, tak boleh bangun melihat plafon ataupun dinding. Saya ingin
bangun memandang pohon, danau, dan mendengar suara kodok dan nyanyian burung.
Suatu waktu, ketika saya berkemah di pantai Kupu-kupu.
Mendirikan tenda di pesisir danau Matano. Mendengar deburan ombak yang lembut
dan tentu suasana pagi yang menawan. Saya membenamkan diri dalam air,
bertelanjang badan. Setelah puas, saya menggelar matras di depan tenda, membuka
bekal, ada roti tawar, ada selei coklat.
Kopi juga sudah siap, wanginya sungguh menggoda sebab
airnya dididihkan dengan kayu bakar. Pantai kupu-kupu, tak ada kupu-kupu.
Padahal saya menginginkannya. Saya ingin membagi makanan dan cerita bersama
mereka, ataupun menuangkannya dalam blog. Kecewa.
Saya kemudian bertemu dengan seorang anak remaja beberapa
kilometer dari pantai kupu-kupu saat perjalanan pulang. Usianya sudah 38 tahun.
Saya menyalaminya, kulitnya halus namun seperti hendak terkelupas.
Remaja itu jelmaan dari kupu-kupu Pappilio Androcles. Namanya Lio. Lio adalah kepompong terakhir
keturunan kepala suku yang menghuni pantai kupu-kupu. Lio sangat kuat
ingatannya.
Pada sebuah pematang sawah, yang di sisinya telah berdiri
lapangan golf, saya dan Lio bercerita. Bicaranya lembut dan gerakannya begitu
gemulai saat tangannya bergoyang. Bahkan terkadang bila angin berhembus,
kakinya terangkat dari tanah. Lio melayang.
Saya hampir-hampir menyentuh bibirnya dengan telinga
ketika bercerita, suaranya pelan sekali. Dan begitu pula seketika kami
tertunduk bersamaan saat bola padat golf itu melintas hampir memecahkan
tengkorak.
Ibu Lio menempatkan telurnya di tanaman bernektar di
pesisir Matano, tepat di tempat saya meletakkan tenda. Tepat pada hitungan yang
ke-28 hari, kepompong Lio, berubah menjadi kupu-kupu saat orang-orang mulai
berdatangan ke Sorowako untuk memulai aktifitas penambangan. Lio pelan-pelan
mengepakkan sayapnya dan bergantung beberapa menit lalu terbang bersama bising
kendaraan.
Lio terbang bersama ribuan teman-temannya. Mereka
bermain dan saling berkejaran. Pasir-pasir pesisir danau menjadi tempat
mengasoh dengan lembut. Menjelang usia 50 hari, beberapa kawannya siap bertelur
lalu kemudian mati. Tapi Lio tak bisa bertelur.
Setelah usianya menjejak 51 hari, Lio tak tidur
semalaman. Kegelisahaannya memuncak. Dia lalu memilih tempat ibunya meletakkan
telur bakal dirinya. Dan mengahangatkan badannya dengan mengatup semua sayap.
Keesokannya matahari menamparnya, usianya kini 52 hari. Lio tak mati. Padahal
tak pernah sekalipun dia melakukan perjalanan migrasi untuk menambah jangka
hidupnya.
Sembari putus asa, Lio terbang rendah. Dia melewati
kawan sepermainannya menggeletak di tanah dan beberapa diangkut semut. Lio tak
tahu akan berbuat apa. Dia terus saja terbang, jaraknya semakin jauh. Dia sudah
melewati batas danau Matano, kemudian Mahalona, lalu menyebrang ke danau
Towuti.
BULU BURUNG Nuri itu
masih seputih kapas. Ketika sedang asik tidur siang tiba-tiba rumah pohonnya
terantuk dan menghantam tanah. Seorang pria mendekatinya dengan berpeluh
keringat, memegang gergaji mesin memotong-motong pohon menjadi bagian kecil.
Nuri itu, bertatapan dengan saudaranya. Suara
teriaknya terdengar jelas, ketika gergaji itu membelah tubuh saudaranya menjadi
dua bagian. Sang petani melihat sedikit, kemudian merogoh lubang pohon. Seekor
yang masih hidup, menggigit tangannya.
Pria itu lalu merapikan kayu yang sudah terpotong. Sesampai
di rumah, si anak begitu girang melihat burung berbulu putih. Dibuatkanlah
sebuah sangkar, lalu digantung di luar rumah. Setiap hari burung kecil itu, di
suap susu putih, diberi potongan pisang, dan bahkan roti atau sekali waktu
kerupuk kentang. Tak ada biji-bijian seperti yang diberikan induknya.
Ketika bulunya sudah berubah menjadi hijau, paruhnya
merah terlihat kuat. Anak-anak memanggilnya Galeng. Belajar melihat manusia,
meniru suara, lalu belajar berhitung. Bahkan dialog-dialog di teras rumah tentang
kayu, tentang hasil hutan, didengarkannya dengan takzim.
Galeng, selama 15 tahun tumbuh dan besar bersama
manusia. Dan pada sebuah pagi, ketika seorang cucunya dengan ceroboh memberikannya
sebuah roti abon, pintu kandangnya lupa tertutup. Itu sudah yang ke delapan
kali.
Inilah saatnya. Pikir Galeng. Percobaan tujuh kali
untuk melatih sayapnya mengepak karena kaku dalam sangkar kini bisa di andalkan.
Galeng menarik nafas dengan kuat,
menghembuskannya melalui mulut. Dadanya membusung seperti ayam saat akan
berkokok. Selangkah, dua langkah, seperti melompat, sayapnya di kepak.
Hoplah, Galeng, berteriak, uhuiiiii.. Akhirnya dia
memutari rumah itu sekali saja lalu terbang menjauh. Karena girangnya terkadang
tubuhnya dibaringkan di udara, kemudian memutar dan terbang lagi. Saat kelelahan,
dia bertengger di sebuah pohon jambu tua.
Dia rasai nikmatnya meniti ranting-ranting, tangkai,
dan mencium aroma jambu air yang matang. Lalu dijilatnya buah itu, kemudian
diraih dengan kaki. “Oh nikmatnya,” sembari mengunyah.
Seekor Kepodang sudah lama berada di pucuk pohon jambu
tua itu. Dia bersiul dan bernyanyi seperti tak kenal lelah. Galeng, memalingkan
pandangannya. Dia merasakan sesuatu yang berbeda dari nyanyian Kepodang.
Nyanyiannya tak berbeda, tak seperti yang pernah di dengarnya di pohon samping
rumah tempatnya terkurung puluhan tahun.
Galeng ikut bersiul. Kepodang menoleh ke arahnya.
Galeng menambah lama nada siulannya, mengikuti lagu Win of Change dari kelompok musik Scorpion. Kepodang tak mau kalah,
dia pun mengikutinya. “Kau hebat juga. Boleh lah,” kata Galeng.
“Suaramu juga tak begitu buruk. Lumayan,” balas
Kepodang.
Nama saya Dedes. Saya jantan. 13 tahun terkurung dalam
sangkar, dan hari ini mulai bebas.
Nasib mempertemukan mereka. Membangun pertemanan dan
saling berdiskusi. Setiap hari dengan nyanyian-nyanyian tertentu mereka
kadang-kadang terbang beriringan.
BEBERAPA BULAN kemudian. Saat matahari mulai meninggi, kebiasaan dari kurungan manusia
belum hilang. Galeng dan Dedes harus mandi, lalu mulai mencari sarapan. Saat
terbang rendah, mereka menemukan pesisir kecil dengan pasir yang digulung
gelombang Matano. Galeng dan Dedes berjalan pelan mengepakkan sayap lalu
menceburkan bulunya sedikit, percikan air bermain seperti melompat-lompat.
Mereka sambil cekikikan, lalu terbang ke sisi dahan mengeringkan badan.
Di bagian lain, Lio memperhatikannya.
Lio mengubah dirinya menjadi manusia. Lalu berjalan
perlahan-lahan menuju pohon tempat Galeng dan Dedes. Dengan sapaan sederhana
“halo”, Dedes dan Galeng, kaget. “Kau tahu kami bisa menirukan bahasamu,” kata
Galeng yang memang terkenal cerewet. “Hati-hati, dia bisa menangkap kita. Ambil
jarak Galeng,” kata Dedes seperti berbisik.
“Dari awal saya memperhatikan kalian. Tetawa cekikikan
sambil mandi. Kalian mencari susu,” kata Lio sembari mengambil kotak susu
instan dalam sakunya.
Lio menuangkan susu instan tiga tiga buah daun
Cempedak yang telah jatuh mengering. “Silahkan, jangan sungkan,” lanjut Dedes.
Galeng dan Dedes masih keheranan dan saling bertatap.
Lalu tiba-tiba Lio berubah menjadi kupu-kupu Androcles. “Ooo.. dia siluman,” seru Galeng.
Ketika Lio mulai terbang menjauh, Dedes tiba-tiba
bertengger di depannya. “Tunggu. Sebenarnya kau ini siapa. Jangan buat kami
bingung, saya bisa saja mengunyahmu dengan cepat, dan membuangmu jadi kotoran,”
ancamnya.
Lio, hinggap di pucuk rumput. Kemudian berubah lagi
menjadi manusia. “Kalian jangan takut. Mari minum susu itu, saya tahu kalian
membutuhkannya. Saya tahu kalian adalah burung yang baru merasakan kebebasan,”
katanya.
“Kalian, sudah bebas. Apa lagi keinginan melebihi
itu,” lanjut Lio.
DI BELANTARA pohon, ketika Galeng dan Dedes
bermain-main dan saling ledek. Tiba-tiba terdengar suara dari kawanan mereka.
Dedes dan Galeng memutuskan berpisah. “Hei apa kabar. Saya Galeng,”
memperkenalkan diri pada kawanannya.
Seekor Nuri yang jadi pimpinannya, memalingkan wajah.
Sembari berteriak-teriak kecil dan menggoyangkan badan dan kepala, seperti sedang
menari, lalu Nuri lainnya mendekat. “Oooh, kalian bisa menari juga rupanya.
Baiklah akan kutunjukkan,” kata Galeng sembari bersiul Win of Change.
Sang pemimpin mendekati Galeng. Dia merapatkan
paruhnya dan menyentuh paruh Galeng. Dengan bahasa Nuri asli, semua berteriak
kegirangan. Ramalan sudah terbukti, akan ada seekor Nuri pandai dan akan membawa
perubahan. Galeng dianggap To Manurung.
Seperti Batara Guru dalam epik La Galigo.
Di tempat lain, Dedes pun memiliki cerita yang sama.
Pada sebuah hari, pasangan Galeng hendak bertelur.
Sebagai seekor jantan dia harus membuat sarang. Mencari batang pohon yang
bolong, lalu merapikan dengan rumput, dan menempatkan sisa-sisa daun untuk
menjaga kehangatan telur. Semua berbahagia. Sang jelmaan dewa dari langit akan
mendapatkan keturunan.
Ketika menunggu beberapa lama, telur itu akhirnya
pecah dan muncullah Galeng kecil dengan balutan kulit tanpa bulu. Lalu beberapa
lama, bulu putih halus menutupi semua bagian tubuh si bayi. Galeng melihat
rupanya, 16 tahun lalu.
Galeng mengajak bayinya bercerita, menemaninya tidur
dengan lantunan siulan kelompok musik. Dan ketika sebuah pagi, di sebuah sungai
kecil, saat sedang asyik mandi, lalu mengeringkan bulu-bulunya, dia mencari
makanan kecil. Memakannya sedikit lalu membawa untuk anaknya.
Dan alangkah terkejutnya, ketika kembali pohon itu
sudah tumbang. Kisahnya terulang. Galeng begitu marah. Dia terbang dengan
teriak-teriak. Kawanan Nuri lainnya melihatnya dengan ketakutan. Semua
tertunduk. Tak ada yang bisa mendekatinya.
Dedes sedang berjalan-jalan, terbang dari pohon satu
ke pohon lainnya. Sedang galau. Rumah tangganya berantakan. Dia mandul dan
ditinggal pasangan. Dan tiba-tiba Galeng
menyambarnya dengan kencang, bahkan menendangnya. Dedes tersungkur, namun masih
bisa mendarat dengan cengkram kuat di sebuah dahan.
“Hei hei, Galeng. Kau kenapa?” kata Dedes memburunya.
“Dedes? Semuanya kacau. Bayiku bernasib seperti saya
di masa lalu,” jawab Galeng.
Dedes menenangkannya. Dia mengajak Galeng menuju
pesisir tempat mereka bertemu Lio. “Saya yakin, kalian akan datang lagi. Ada
apa kah gerangan,” kata Lio.
SUASANA MENDUNG, ketika Dedes, Galeng dan Lio mempercakapkan sebuah gerakan. Manusia
harus dilawan.
Lio memulai pembicaraan. Sebagai seekor kupu-kupu yang
abadi, yang hidup dalam kesepian. Dan mampu berinteraksi dengan manusia, dia
menjelaskannya dengan sangat detil. Bagaimana kekuatan manusia, bagaimana
kecerdasan dan kerakusannya.
“Yang utama, kita harus menyelamatkan anakmu dulu
Galeng. Besok pagi kau harus mengikuti orang yang menebang pohon itu,” kata
Dedes.
Rencana penyelamatan itu, telah disusun dengan apik.
Galeng menemukan rumah orang itu. Rumah tempat kecilnya dulu. Dengan
tergesa-gesa, dia melaporkannya ke Lio. Esok pagi, Lio bertamu ke rumah orang
itu, dengan menyelinap ke sisi teras dapur ketika penghuni rumah sedang tidur
siang. Bayi Galeng menempati sangkar kecil. Sangkar bekas ayahnya.
Satu gerakan. Lio telah memegang anak Galeng. Dengan
pelan, Galeng yang sudah menunggu di salah satu pohon besar, menukik lalu mematuk
dan mencengkram dengan kuat kaki sang anak. Membawanya terbang jauh, lalu di
tempatkan di pohon paling jauh dalam belantara.
Dua hari setelah upaya penyelamatan, Galeng mengundang
kawan-kawannya untuk pesta syukur. Melintasi gunung dan lembah. Semua bersuka
cita.
Di pesta syukur itu, Galeng menyampaikan pidato.
Berapi-api dengan teriakan has burung Nuri. Semua mendengar dengan takzim.
“Manusia tak boleh semena-mena. Rumah bermain kita semakin susah, semakin
susah. Pohon-pohon kita berubah jadi gedung. Leluhur kita lah pemilik semua
ini, bukan para pendatang itu,” katanya.
Mirip pasukan perang. Semua undangan menghentak penuh
semangat. Lio sebagai mahluk jenius strateginya pun sudah disampaikan.
Beberapa jam kemudian mereka membubarkan diri, menuju
titik sasaran. Anak-anak diangkut ke pohon-pohon besar. Dan dengan serentak,
pasukan terbang bersayap itu melintasi saya yang masih menunggu bantuan mobil
yang mogok.
Kupu-kupu memasuki area pabrik nikel, menyebarkan
racun di makanan dan minuman setiap orang. Tak ada ada yang curiga. “Mungkin
kupu-kupu ini lagi migrasi. Kau harus cepat ke kantor, kau harus melihat ini
cantik sekali,” bunyi pesan yang kuterima dari ponsel.
Menjelang magrib, saya masih sendiri menunggu bantuan.
Kuputuskan menempuh perjalanan sekira 15 km menuju rumah. Melewati pabrik
tempat saya bekerja dan melihat kendaraan masih rapi terparkir. Saya mendekati
beberapa kendaraan, orang-orang dalam mobil terlihat seperti tidur. Mengetuk
dan membuka pintu, mereka telah meninggal.
Saya melewati pintu masuk pabrik. Ribuan bahkan jutaan
burung, telihat bertengger di cerobong asap, di kanopi-kanopi, atap seng, dan
tiang listrik. “Sekarang, kami lah pemilik tempat ini. Dan kau akan merasakan
kesendirian,” kata Galeng yang menghampiriku.
Saya berlari, dengan peluh keringat, di perumahaan
warga semua orang telah meninggal. “Sekarang kamu bebas memilih tempat
tinggalmu. Kami tak akan melukaimu. Kami ingin kamu menulis cerita ini. Kami
ingin kamu menulis, dengan sebaik-baiknya. Lio akan membantumu dengan semua
ceritanya,” kata Dedes.
0 comments:
Posting Komentar