Selasa, Februari 18, 2020

Orang-orang Pembuangan


Jufri Buape, mantan tahanan politik di kamp Moncongloe, Maros. Dia meninggal tahun 2017.

Muhammad Jufri Buape, 73 tahun. Mantan Tahanan Politik (Tapol). Pengurus Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Pemuda Rakyat - organisasi yang dinaungi Partai Komunis Indonesia (PKI) di Pare-pare,  sudah duduk di ruang depan rumahnya. Menghisap rokok dari lentingan tembakau murahan. Sudah hampir habis. Lalu mencocolnya ke dalam dasar asbak.  
 
Saya mengulurkan tangan bersalaman. Dia menerimanya dengan susah payah. Tak beringsut dari kursi plastik. Tangan kirinya lumpuh sejak tahun 2012. Tongkat untuk membantunya berdiri, tepat di samping kanannya. “Saya datang pak. Sesuai janji,” kataku. “Ya ya ya, ayo duduk,” katanya, lalu kami tertawa bersama.

Jufri menggapai tembakaunya. Saya mengulurukan rokok kretek, agar tak bersusah payah lagi menggulung. “Saya datang untuk bertanya dan meminta bapak bercerita tentang peristiwa kelam. Peristiwa tahun 65 itu, jika bapak bersedia,” kataku. “Saya datang untuk membuktikan, cerita dan rumor orang-orang jika tahanan 65 seperti bapak dan banyak teman-teman bapak, adalah orang kejam. Anti agama. Beberapa hari ini, saya juga bertemu teman-teman bapak dan menanyakan hal sama.”

Jufri tersenyum.  Menarik kakinya ke arah dalam, membuat badannya terlihat tegap. Membenarkan letak tangan kirinya yang hampir jatuh dari sandaran kursi. “Hahahaha, kamu tahu film itu (film propaganda pemerintahan Orde Baru G30 S PKI), itu semua tidak benar. Tapi masyarakat nonton itu, jadi itu dipercaya. Anak-anak sekolah dan semua orang nonton,” katanya. “Film itu semuanya bohong, saya yakin itu.”

“Kalau itu benar, maka saya ikut membenci partai ini. Apa kau setuju dengan film itu?” kata Jufri.

TAHUN 1965, JUFRI BUAPE, bertugas sebagai polisi Pamong Praja di Kabupaten Sidrap. Pada sebuah pagi, di Desember tahun itu, sebelum berangkat kerja, dia menjenguk salah seorang keluarga. Sekira pukul 12.00 beberapa tentara mendatanginya dan memintanya menuju kantor Kodim untuk diminta keterangan. Dia merasa heran, namun tetap ikut.

Dalam sebuah ruangan, seorang tentara bertanya, “Di Jakarta terjadi pembunuhan Jenderal. Kamu pasti terlibat,” kata tentara itu. Jufri kaget. Namun akal sehatnya masih berjalan. “Jangan menuduh sembarangan, saya di sini (Pare-pare) dan kejadian di Jakarta. Itu jauh sekali. Saya tidak tahu itu,” jawabnya.

Sejak permintaan keterangan siang itu, dia resmi menjadi penghuni di sel tahanan Kodim. Lalu dipindahkan ke Lapas Pare-pare selama enam tahun dan selanjutnya di masukkan di kamp pengasingan Moncongloe selama enam tahun. Total masa tahanan yang dilaluinya adalah 12 tahun.

Tiba-tiba saja Jufri berdiri, badannya bergetar hebat. Kakinya goyang bergeser, mencari tumpuan dan posisi yang tepat, agar badannya tak doyong. Tapi menyerah sesaat kemudian.  Meminta saya membantu menurunkan sebuah tas. Kusam dan berdebu. Tiga buah foto kenangan saat di Moncongloe menyembul. Salah satu frame-nya terlihat empat orang pria berdiri. Jufri ada diantara pria itu, menggunakan jaket, celana kotak bergaris dan memakai kacamata.

Latar belakang foto itu adalah barak tahanan. Jufri golongan B, penghuni barak A. Setiap barak dihuni sekitar 100 orang. Ranjang tingkat. Lantai papan. Tanpa kasur.

Di kamp pengasingan Moncongloe, tahanan dibagi dalam lima buah barak. Untuk barak A,B,C, dan D dikhususkan untuk laki-laki. Dan barak E untuk wanita. Setiap barak memiliki satu dapur umum. Pada awal pembangunan, jalan menuju kamp hanya ada satu. Ada dua buah pos jaga – dikenal dengan nama piket-an. Satu di jalan masuk kamp, satu lagi berada di ketinggian untuk memantau situasi kamp.  

Para Tapol juga diklasifikasi. Misalnya, untuk tahanan golongan A adalah mereka yang menjadi pengurus Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pentolan oraganisasi partai. Golongan B adalah tahanan terpelajar yang menjadi penggerak lapangan. Dan golongan C adalah simpatisan dan orang-orang yang dicurigai terlibat PKI dan organisasinya.

Kamp Moncongloe dipagari kawat berduri, di dalamnya ada masjid, gereja, poliklinik, lapangan upacara, dan dapur umum. Setiap pagi para tahanan politik akan berkunjung ke rumah-rumah perwira, dipekerjakan sebagai pembantu, atau pun menjadi pekerja perintis jalan, membuka lahan, dan membuat beberapa bangunan. Para Tapol juga mendapatka waktu, antara pukul 16.00 hingga 18.00 mengelola lahan. Menanam tomat, singkong, dan beberapa jenis sayuran.  

Bagi para mantan tapol, kamp Moncongloe dirasakan sedikit lebih nyaman. Setiap hari mendapatkan jatah nasi. Sesekali waktu ada ikan teri. Sayur dari hasil ladang sendiri. Daun ubi adalah menu favorit waktu itu.

Tapi, sebelum menempati kamp, para tahanan tak mendapatkan jatah makan. “Oh itu tak ada makanan. Jadi setiap hari keluarga bawa makanan, tapi disortir dulu sama petugas,” kata P.L Payung, 80 tahun, mantan Tapol dari Tana Toraja.

Payung menghuni sel besi di Kodim Toraja pada 28 Oktober 1965. Empat orang tentara menjemputnya saat pulang sekolah. Dia seorang guru Sekolah Dasar di Rante Pao. “Saya tidak sempat naik ke rumah. Petugas menunggu di depan rumah, lalu saya di borgol,” katanya. “Jadi sama anak,  istri dan keluarga tidak ketemu. Tidak sempat ganti baju.”

Para tentara itu begitu sigap dan tegas. “Bapak diamankan. Makanya harus ke Kodim,” kata tentara itu ditirukan Payung. “Kenapa saya diamankan. Saya kan tidak buat rusuh,” jawab Payung, yang terus digiring naik ke mobil.

Payung menghuni sel tahanan Kodim selama enam tahun. Tanpa pengadilan, tanpa pembelaan. Bersama ratusan tahanan lain, setiap hari diperintahkan membuat jalan.  “Kami ke sungai mengambil kerikil dan memanggulnya. Batu-batu itu harus sama semua, tak boleh ada yang lebih kecil, tak ada yang boleh lebih besar. Kalau banyak bentuk, akan kena sanksi, bisa dipukul kita,” katanya.   

Hal yang sama dirasakan Waris Thahir, 75 tahun, seorang Pegawai Negeri di kantor Walikota Pare-pare. Pada Desember 1965, dia dijemput oleh tentara dengan alasan keamanan. “Di penjara Pare-pare, kami keluar dan diperintahkan buat jalan. Kami juga membangun jalan menuju Pacekke (sekarang dikenal dengan nama Monumen pacekke dan menjadi salah satu kebanggaan TNI). Jadi jalan yang dinikmati di Pare-pare adalah keringat dari teman-teman Tapol,” katanya.

Sejarawan Universitas Negeri Makassar, Taufik Ahmad, dalam Kamp Pengasingan Moncongloe, menuliskan kerja paksa para tapol berlangsung sejak awal penangkapan. Di Kabupaten Barru tapol merintis jalan dari Mangkoso ke Paccekke sekitar 10 kilometer. Di Pare-pare pada 1967, atas permintaan Walikota Andi Mallarangeng, tapol membangun jalan raya. Di Takalar membangun jalan dari kota Takalar menuju Pattondo (perbatasan Jeneponto). “Jadi bisa dibayangkan, tapol ini bekerja tanpa upah. Yang ada hanyalah jatah makan,” kata Taufik beberapa hari lalu.

Pada 1966, Kolonel Inf. Solichin yang menjabat Panglima Kodam XIV Hasanuddin, mengeluarkan kebijakan baru untuk perumahaan satuan-satuan tempur, berupa pembukaan home base. Lokasinya disiapkan Pemerintah Daerah atas pertimbangan taktik dan strategi jangka panjang dalam rangkaian Perang Rakyat Semesta (Perata). Salah satunya adalah pembukaan lokasi di Moncongloe tahun 1969.
Pola pemanfataan ini disebutkan pula sebagai transmigrasi lokal, sebagai upaya pemindahan Tapol dari Makssar menuju Moncongloe – yang saat ini menjadi wilayah Kabupaten Gowa dan Maros. Alasan pemisahaan Tapol dengan tahanan lain, untuk kemandarian dan tentu saja untuk memutus pemikiran dan ideologi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Maka pada Maret 1969, 11 orang Tapol dari Makassar diberangkatkan ke Moncongloe, masing-masing tujuh orang laki-laki dan empat orang perempuan. Tapol inilah yang menjadi perintis awal kamp pengasingan Moncongloe. Beberapa bulan kemudian Tapol lain didatangkan sebanyak 44 orang. Dan pada akhir 1969, fasilitas kamp sudah selesai. Dimana terdapat barak laki-laki ukuran 6 x 20 meter sebanyak empat buah, barak wanita 1 buah, tempat piket, 1 buah poliklinik, masjid ukuran 7 x 10 meter, gereja ukuran 7 x 10 meter, aula 6 x 20 meter, koperasi, dan lapangan upacara. Dengan luas keseluruhan kamp adalah 150 meter persegi.

Hingga akhir tahun 1971, jumlah tapol yang menghuni Kamp Mocongloe mencapai 911 orang, terdiri dari 52 perempuan dan 859 laki-laki. Rinciannya sebanyak 250 tapol dari penjara Makassar, dan selebihnya saat mejelang pemilihan umum tahun 1971 didatangkan dari Majene, Polewali Mamasa, Pinrang, Tana Toraja, Palopo, Pinrang, Pare-pare, Barru, Pangkep, Maros, Bone, Gowa, Takalar, Bantaeng, Bulukumba dan Selayar.

Kamp Moncongloe - desain Rasjidi Amrah

RASJIDI AMRAH, 75 Tahun, mengingat betul pertama kali memasuki kawasan Moncongloe. Hutan, rumpun bambu, dan jalan tanah yang jelek. Dia menghuni barak D, golongan B. “Saya benar-benar tak bisa bilang apa. Dari Majene, kami dibawa menggunakan truk. Seperti binatang, dan tidak dikasi makan,” katanya.

Rasjidi adalah salah seorang mahasiswa terbaik Universitas Hasanuddin tahun 1960-an, jurusan Teknik Sipil. Dia kuliah dengan beasiswa sejak awal. Mengunjungi ITB sebagai tempat tes terakhir kelulusan untuk mencapai gelar sarjana dalam program studi teknik. Dia juga merupakan salah seorang penerima beasiswa pendidikan untuk program Full Study ke Uni Soviet. “Saya tidak berangkat, karena menunggu keputusan kampus, tapi rupanya saya sudah digantikan di Jakarta,” katanya. “Tapi karena tidak pergi, maka itu menjadi alasan saya ditangkap. Bagaimana kalau saya ke Uni Soviet mungkin saya tidak pulang lagi ke Indonesia.”

Rasjidi tak tahu menahu perihal penahanannya. Tak peduli pada politik – apalagi PKI – organisasi di bawah naungan partai pun tak pernah disentuhnya. “Saya tidak masuk Pemuda Rakyat, ataupun Lekra. Tapi saya diamankan juga. Itulah nasib, mau melawan tidak bisa,” katanya.

Dalam tahanan, Rasjidi yang diketahui sebagai seorang sarjana teknik, dimanfaatkan oleh petugas. Dia lah yang menggambar desain masjid dan gereja. Dia pula yang merancang pembangunan barak. Bahkan di salah satu wilayah di Kabupaten Gowa, membuat desain 300 unit perumahaan tentara yang dikerjakan oleh para tapol. “Mereka tak memberikan upah. Atau itu sumbangsih pada negara mungkin,” katanya.

Sebelum ditahan, Rasjidi mengajar di Sekolah Menengah Pelayaran Makassar – sekarang Akademi Pelayaran Indonesia (AIPI). Tinggal di perumahaan kompleks Angkatan Laut. Kelak menjadi tempat dimana dia dijemput untuk diamankan. “Saya dijemput dengan mobil Land Rover itu. Ada empat tentara membawa senjata dengan bayonet lengkap. Benar-benar seperti penangkapan teroris,” katanya.

“Tentara dari angkatan laut itu, membawa saya ke kantornya di Ujung Tanah – sekarang jalan Tentara Pelajar dekat Pelabuhan Paotere – saya di suruh menunggu di tingkat dua. Sendiri. Menyeramkan. Saya lihat ada kapal perang di lautan. Jam satu malam, saya dibawa lagi ke kantor Polisi dekat kantor Balaikota,” kata Rasjidi.

Dari penjara Makassar, dia berpindah ke Mejene, menjadi tahanan Kodim dan Lembaga Pemasyarakatan lalu akhirnya dibawa ke kamp Moncongloe. Saat menghuni kamp, sebagai seorang insiyur, dia memperoleh sedikit kelonggaran, meski dengan pengawalan tapi selalu keluar. Tahun 1976, dia memutuskan menikah.

Saya menoleh ke istri Rasjidi yang sejak awal, menemani perbincangan sore di rumahnya di kawasan Antang.  “Saya tahu dia (Rasjidi) adalah tahanan. Tapi saya ada hubungan keluarga. Saya juga biasa berkunjung ke baraknya. Orang tua setuju dan seperti itulah jodoh,” sang istri.

JUFRI BUAPE MENERAWANG pada masa lalunya. Mengenang grup music yang dibentuknya dengan nama Banteng Merah. Acap kali memeriahkan hajatan kawinan dan acara pemerintahan di Pare-pare. 

Menurut dia, band ini sangat populer tahun 1963-1965, karena memiliki personil yang mumpuni. Dan gratis. “Kami main tanpa meminta bayaran. Tujuan kami Lekra dan Pemuda Rakyat menjadi tempat untuk menyalurkan kreatifitas dan tempat belajar kebudayaan,”  kata Jufri.

Visi ini jugalah yang membuat Jufri, kepincut dengan dua organisasi itu. “Sebelum bergabung, saya ikut melihat dan menilisik tujuan organisasi. Dan yakin setelah melihat pergerakan, menjadikan buruh dan para petani  berdaya,” katanya.

Menjadi pengurus Lekra dan Pemuda Rakyat tidak lah mudah. Harus melalui pengkaderan yang panjang. Memahami kondisi sosial masyarakat. Melek huruf. Dan memiliki kepribadian baik. “Kami pernah memecat beberapa anggota Pemuda Rakyat, karena terbukti memberikan informasi yang bohong pada masyarakat. Kami juga tak mentolerir, anggota yang bersikap sewenang-wenang atau memaksakan kehendak,” katanya.

Dalam ingatan Jufri, jumlah anggota dua organisasi itu mencapai ratusan, kalau tidak menghampiri ribuan. Anggotanya dari berbagai lapisan masyarakat, dari anak tani, pegawai negeri, pemuka masyarakat, tokoh agama, hingga keluarga militer.

“Jadi waktu di penjara Kodim, seorang tentara meminta menuliskan beberapa nama kawan-kawan saya. Jadi saya tulis, sekitar 10 nama yang semua bersumber dari kalangan TNI, yang bahkan istrinya sendiri. Kata tentara itu, ‘wah jangan yang ini. Kamu jangan bicara soal ini lagi’. Jadi mereka diam. 

Tapi orang-orang yang saya tuliskan namanya tidak pernah ditangkap,” kata Jufri.
Jufri memang senang dengan ide dasar komunisme – haluan PKI – tentang bagaimana melihat semua orang memiliki hak sama. Melalui organisasi dalam naungan PKI itulah, dia mencoba mendekati tubuh partai. “Tapi rupanya menjadi anggota PKI itu sangat sulit. Masa percobaan selama tiga tahun. Kalau sudah dianggap mumpuni dengan tingkat kecerdasaan barulah mendapatkan rekomendasi masuk partai,” katanya.

Sulitnya menjadi anggota PKI, juga diungkapkan Taufik. Kursus-kursus politik, diadakan secara berjenjang. Materinya adalah menggabungkan Teologi Islam dengan radikalisme dan Marxisme. Teori-teori dari Lenin, materialism historis, hingga pertentangan kelas merupakan materi wajib. Buku-buku pengajaran yang digunakan, diantaranya ABC Politik cetakan ke-2 yang disempurnakan, Revolusi Rusia sampai Yalto, dan Azimat Revolusi.

Di Sulawesi Selatan, PKI juga memberikan pendidikan politik untuk memberantas buta aksara. Antara lain sekolah Badan Pendidikan Rakyat (BDR) setingkat SMP, Panitia Pendidikan Rakyat (PPR) setingkat SD. Kursus ini dilaksanakan minimal 16 kali dalam empat tahun.

Jadi, sejak kapan ide komunisme ini masuk di Sulawesi Selatan. “Saya kira sejak tahun 1920-an. Namun tidak berkembang dengan baik. Nanti ketika pemberontakan DI/TII dan Permesta telah ditumpas (1950-1962), maka PKI mulai berkembang,” katanya.

Pada masa pemberontakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar, PKI atau pun ideology komunisme dicirikan sebagai paham yang tak mempercayai adanya tuhan. Dalam paham beberapa orang pengikut Kahar Muzakkar, ide tentang Nasionalis Agama dan Komunisme (Nasakom) – s alah ide yang dikenalkan oleh Presiden Sukarno meniru beberapa negara sosialis -  dianggap mengada-ngada. “Mana mungkin kucing dan tikus disatukan dalam satu kandang,” kata Harun Al Rasyid, sekretaris Kahar Muzakkar beberapa waktu lalu di Palopo.

Tak hanya itu, daerah basis DI/TII seperti Bone, Mandar dan Palopo, dibentuk organisasi Bajak (Barisan Anti Jawa Komunis). Orang-orang transmigran yang dicurigai sebagai komunis akan dieksekusi langsung, baik sepengetahuan Kahar Muzakkar ataupun tidak.

Selama periode pemberontakan DI/TII dan Permesta hingga 1968, diperkirakan ribuan orang dibantai di Sulawesi Selatan. Menemui ajal di penjara, kamp pengasingan, ataupun diculik tanpa diketahui rimbanya.

“Saya ingat satu kawan saya, namanya Wempi. Dia orang Manado. Dia teman saya dari Pare-pare, baru tamat SMU mungkin usianya baru 19 tahun. Dia anggota Pemuda Rakyat. Dalam Kamp Moncongloe, dia itu tidak segan-segan bicara. Sangat revolusioner meskipun ada petugas,” kata Jufri.

“Dan pada suatu waktu, kami tak lihat lagi dimana dia. Saya Tanya ke petugas, mereka bilang dipindahkan di Rumah Tahanan Militer, tapi kami cari info hingga dua tahun tidak ada juga. Saya tidak tahu, dimana Wempi, hingga sekarang. Saya kira dia sudah diculik dan dihilangkan,” ujar Jufri.

Gereja yang dibangun para tahanan politik di Moncongloe, telah mengalami renovasi.

PADA 20 DESEMBER 1977, melalui surat Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan Dan Ketertiban, dilaksanakan pengembalian 10.000 orang tahanan G 30 S / PKI ke masyarakat, dari mulai Digul, Buru, hingga Moncongloe.

Hari itu, ratusan tapol di kamp Moncongloe begitu senang. Lalu dipilih lah sebanyak 150 Tapol, untuk menjadi perwakilan pelepasan di aula TNI di Jalan Lanto daeng Pasewang, Makassar. Jufri menjadi salah seorang diantara mereka. “Saya dengar pidato pelepasan itu dengan senang dan bahagia. Waktu itu Panglima Kodam Hasanuddin adalah Pak Kusnadi, dia bicara selama dua jam. Jadi Pak Kusnadi bilang, ‘kalau nanti besok, karena ini hari bapak-bapak bebas, besok-besok bertemu dengan masyarakat. Jangan bercerita masa lalu. Anggaplah ini masalah tidak ada’. Jadi saya mau bertanya bagaimana dengan nasib kami sebagai pegawai negeri,” kata Jufri. “Tapi ada beberapa intel disamping saya, larang bertanya.”

Rupanya setelah pembebasan dari Kamp Moncongloe, kehidupan para tapol tidak berjalan baik. Tempat awal bekerja sudah tak menerima. Kartu Tanda Penduduk (KTP) diberi cap diujung kanan ET – Eks Tapol. Bahkan orang-orang mencibir. Bahkan beberapa orang Tapol tak diterima lagi di kalangan keluarga dan masyarakat.

“Dulu sepupuku pegawai, kalau ketemu nda mau senyum. Bahkan saya punya bapak, Kepala Sekolah di SMP 2 Amanagappa Makassar, kalau pengisian riwayat keluarga, dia tak memasukkan namaku. Saudaraku pegawai juga, tidak ada na taro namaku. Iparku juga tidak ada. Coba,  kalau kita pikir, secara waras,” kata Rasjidi Amrah.

“Menantu saya tidak tau, kalau saya pernah jadi Tapol. Kita bisa baik ini (dapat pekerjaan), karena kerja sembunyi-sembunyi,” lanjut Rasjidi. “Tapi lambat laun, perubahaan terjadi. Sekarang mulai senang, orang-orang dulunya tak mau lihat saya itu, mereka memeluk saya. Bukan lagi tegur.”

Waris Thahir yang menunda aktifitas mandi,  ketika saya menemuinya. Handuk membalut tubuhnya. Tanpa baju. Rumahnya di dekat kawasan Benteng Somba Opu. Terbuat dari dinding tipleks rapuh. Beberapa atap sudah bocor. Lantainya dari semen kasar, beberapa terlihat potongan keramik sisa bangunan orang lain. Di tempel tidak beraturan. “Waktu keluar dari Moncongloe itu, saya kerja sembarang. Jadi tukang kayu dan buruh. Supaya bisa hidup dengan keluarga,” katanya.

“Dulu  kami tidak tahu, sampai kapan. Ternyata sampai sekarang, sampai bapak tua, tidak bisa lagi bekerja. Itu juga sudah mulai tuli. Kalau bicara harus keras. Kerjaan dan masa menyenangkan yang dulu, dingat-ingat saja,” kata Bunga, istri Waris Thahir.

“Saya dengar sejak beberapa tahun lalu, gaji bapak akan diganti. Tapi sampai sekarang juga nda ada. Mungkin setelah kami meninggal. Atau mungkin mi tuhan kasi kami umur panjang, untuk lihat itu,” lanjut Bunga.

Hampir sepekan saya mengunjungi beberapa Tapol Moncongloe itu. Ada beberapa yang sudah meninggal. Ada pula yang terserang penyakit stroke. Tak mampu lagi bercerita. Tapi bertemu mereka, kau akan melihat kekuatan. Para Tapol ini tak menginginkan belas kasih. Mereka hanya bertanya, siapa yang bertanggung jawab, pada peristiwa yang mereka alami.

“Saya mau semua orang tahu. Jadi sekarang saya bongkar semua yang saya ingat. Agar tidak ada lagi peristiwa semacam itu terjadi. Kita ini satu bangsa, dan tidak boleh ada penindasan sesama kita lagi,” kata Jufri.