Sudah beberapa bulan belakangan, diskusi Elang makin berat. Dia sudah sudah naik kelas 4 Sekolah Dasar. Dia masuk peringkat tiga besar. Dia senang.
Kini dia punya beberapa kegiatan. Les gitar setiap selasa. Menonton film favoritnya di Netflix. Dan menggambar. Atau bermain catur dengan saya pada malam hari.
Suatu kali dia cerita dengan serius. Soal perang Palestina dan Israel. Lalu belakangan masuk Iran dan Amerika. Dia bilang, kalau mereka punya nuklir kenapa tidak ditembakkan. Itu pasti akan menghancurkan negara musuh. Saya membiarkannya bercerita.
Orang-orang, kata dia, menciptakan senjata nuklir dan bom atom. Lalu dia tanya kembali, mana yang lebih dahsyat, nuklir atau atom. Saya tetap mendengarkan.
Dia diam sebentar. Lalu mengingat kisah film Spongebob SqurePants oleh Amerika di pulau kecil Bernama Bikini Atoll, antara tahun 1946 dan tahun 1956. Efeknya berkepanjangan, ada Sponge laut yang berubah wujud. Ada Petrik si bintang laut. Ada Petrik si kepiting yang punya anak seekor Paus. Tapi mungkin, kalau pakai nuklir kata dia, semua hal menjadi berubah. Seperti kehidupan di kampung Spongebob ada banyak yang bermutasi.
Saya melihatnya dan bilang Elang tahu mutasi? Iya, itu seperti membuat sesuatu yang alamiah menjadi tidak wajar. Tapi sudah lah, semua sudah terjadi. Seandainya, orang tidak berperang, pasti dunia menjadi sangat tenang.
Teman-temannya, di sekolah menulis dan menggambar Free Palestine. Tapi dia tak pernah melihatnya langsung. “Saya tidak tahu mau dukung siapa,” katanya.
Kalau Elang mendukung salah satunya bagaimana? Kalau saya dukung Palestina, jadinya bisa bunuh orang Israel. Kalau dukung Israel bisa bunuh orang Palestina. “Namanya juga perang. Itu kan saling menghancurkan, seperti di game ku. Saling serang,” katanya.
“Tapi kalau game kan untuk senang-senang ji. Tapi ini kenyataan toh,”
“Aii bingung ka deh.”
Bagi Elang, membunuh adalah perbuatan yang tak dapat dibayangkan. Sebab, dia pernah mengalami kejadian memilukan, dimana karibnya telah memukulnya dan hal itu membuatnya sakit hati. Dia sangat kecewa sebab sahabatnya itu sangat dekat. “Kenapa orang gampang sekali memukul. Dia nda berpikir soal sakitnya orang kah,” katanya.
Saya mencoba menenangkannya. Saya bilang, kalau Elang masih anak-anak dan temannya. Perjalanannya masih panjang, mungkin saja suatu saat temannya akan mengerti dan akan sadar kalau itu perbuatan yang salah. Tapi Elang bersikukuh. Dia telah memutuskan untuk tak memaafkannya. Logikanya sederhana; kalau sejak kecil telah melakukan kekerasan dengan mudah, kalau besar akan lebih gampang.
Dia lalu membuat teorinya sendiri. Baginya presiden yang berperang sekarang itu, pasti masa kecilnya suka melakukan kekerasan. Kali ini saya terhenyak. “Darimana Elang punya pikiran seperti itu?,” kataku.
Dia lalu bilang, pikirannya spontan saja. Tapi dia melanjutkan, kalau presiden itu orang baik saat kecil, pasti dia tidak akan tega membunuh orang. “Andaikan dunia ini dipenuhi orang-orang baik, pasti akan tenang,” katanya.
Presiden lain di suatu kabupaten
Ada perhelatan acara besar di Maros. Namanya Gau Maraja – silahkan cari sendiri artinya. Salah satu kegiatannya di tempatkan di Taman Prasejarah Leang-Leang, pada malam 5 Juli 2025.
Saya beberapa penampil di kegiatan itu. Ada Ibe yang akan membacakan puisi. Ada komunitas SIKU Ruang Terpadu yang akan membuat instalasi cahaya. Kami tentu saja ingin menyaksikannya. Akhirnya pada sore hari kami ke Leang-leang. Orang di depan gerbang telah membuat antrian panjang.
Saya meminta izin masuk lebih awal di pintu samping. Seseorang mengijinkan. Ada panggung utama didirikan di sekitar batuan karst. Ada tenda besar yang diperuntukkan untuk para pejabat dan tamu undangan.
Saya mulai tak nyaman menyaksikan konsep acara seperti ini. Jelang malam, Elang mulai bosan. Acara utama belum dimulai. Akhirnya, ketika ribuan pengunjung memasuki kawasan Taman Leang-leang pukul 19.30 tempat itu menjadi sesak.
Kami menunggu sesaat ketika kerumunan dari luar berkurang, lalu memutuskan meninggalkan tempat kegiatan. Kendaraan kami parkir agak jauh dari taman berharap bisa dengan mudah mendapatkan akses keluar dan pulang ke rumah istirahat.
Sialnya, macet sudah makin parah hingga sekitar 2 km. Ketika kami sudah berjalan pelan, Elang mengeluh, kalau kegiatan itu tak sesuai ekspektasinya. “Biasanya kalau Om Rais yang bikin kan akan bagus. Tapi ini tidak bagus, karena banyak orang,” katanya.
Dia juga kecewa sebab akhirnya tak bisa melihat Ibe membaca puisi. Elang suka menonton orang membaca puisi. Dia senang dengan intonasi suara yang melafalkan setiap kata. Rasanya, bikin nyaman kata dia.
Ketika perjalanan macet kami sudah mulai sekitar 30 menit, tiba-tiba dua orang berpakaian Dinas Perhubungan (Dishub) menyambangi. Mereka sedang mengatur jalannya kendaraan. Awalnya ini membuat legah, dia meminta kedaraan untuk mundur.
Setelah sampai di tempat tertentu, pegawai Dishub itu meminta untuk berhenti dan menepi. Kami menunggu dengan sabar kendaraan melintas. Tiba-tiba dari depan sebuah mobil polisi masuk dan di belakangnya ada deretan mobil lain.
Itu adalah iring-iringan Chaidir Syam, Bupati Maros. Mereka lah yang menjadi tamu VIP yang ditunggu kedatangannya agar acara bisa dimulai. Elang, menyaksikan iringan itu melintas di samping kami.
Bupati tak pernah mengalami kemacetan. Mereka lah para pejabat itu. “Kenapa bupati harus ditunggu kalau ada acara,” kata Elang.
“Dan harus diberikan jalan lebih bagus dari orang lain,”
“Atau Bupati anggap dirinya lebih jago (mungkin lebih penting) dari orang lain,”
“Itu bupati yang saya kirimkan surat dulu toh bapak,”
“Iya,” jawabku.
Iringan Bupati mungkin sudah sampai di Leang-leang. Kami kemudian kembali berjalan pelan. Di sisi kiri dan kanan, motor berdempetan mencari celah untuk dapat bebas dari kemacetan. Ada pasangan yang anaknya di gendongan sudah tertidur sambil menghirup asap kenalpot.
Ada warga yang rela berjalan kaki sejauh 2 km untuk melihat perhelatan Leang-leang. “Bupati tidak peduli soal begini toh bapak,” kata Elang.
“Sepertinya tidak,” jawabku.
“Semua pejabat seperti itu, suka bikin susah orang lain?,”
“Di Indonesia, sepertinya hampir semua begitu.”
0 comments:
Posting Komentar