Tentang sebuah pengalamaman.
Suatu hari kita akan berpikir dan berjalan sendiri. Mencari kawan, tentu juga akan bertemu lawan. Dalam hidup, kita seperti sebuah siluet. Samar dan tak jelas. Seandainya hidup itu hanya ada hitam dan putih. Jangan ada abu-abu. Itu yang sering membuatku risau.
Tentang kata abu-abu itu, di dalamnya ada kelembutan, kelemahan, kekuatan, kengerian, kebiadaban, keangkeran, surga, dan neraka. Samar dan sangat menakutkan. Dan saya takut berdosa mengatakan, “Tuhan tidak adil membuat sesuatu yang tidak jelas.” Saya berpikir tentang semua hal yang aneh. Hingga teman-teman di kampus pernah berkata jika saya harus ke psikiater.
Saya lahir di desa kecil. Sekitar 350 kilometer dari pusat kota Makassar. Bertepatan peristiwa mengerikan di Tanjung Priok, 12 September 1984, hari Rabu, sekitar pukul 09.00.
Desa tempatku lahir penduduknya ramah. Namun, sekarang ini kurang beradab. Penyebabnya karena telah mengenal minuman keras, ganja, sabu-sabu, dan jenis narkoba lainnya. Di desaku itu pula sering terjadi maksiat ditengah kebun coklat. Di rumah-rumah tempat para petani beristirahat. Hingga suatu ketika banyak teman-teman banyak menikah muda. Bukan seperti sinetron pernikahan Dini, tapi karena tertangkap basah melakukan sesuatu, atau karena si perempuan telah berbadan dua.
Meski demikian keindahannya belum lenyap. Di depan rumah ada sungai yang membela desa. Cukup lebar. Kalau musim kemarau airnya akan berkurang, pada dasar sungai akan tumbuh lumut, hingga airnya berwarna hijau. Menjijikkan. Tapi saya suka menapaki lumut itu, halus. Licin dan menggelikan. Bulu kudukku sering berdiri jika menginjaknya. Namun jika musim hujan tiba, airnya akan meluap. Kami selalu senang jika air meluap ada banyak kejadian menyenangkan. Berenang di depan rumah, atau masuk kebun mencari ayam tetangga yang tercebur, setelah itu memotongnya dan membawanya dengan teman kemudian dibakar atau di buat kapurung (makanan khas palopo) beramai-ramai.
Bapak seorang pelaut. Ia sering ke luar negeri. Banyak cerita yang dibawanya ketika kami berkumpul. Dari lautan yang membeku. Salju. Kota yang bersih. Dan tentu saja oleh-oleh yang menyenangkan. Ada pesawat pakai remote. Boneka besar. Atau hiasan kamar dari Yunani. Sangat banyak.
Sedangkan mama, ibu rumah tangga. Ia sangat cekatan dalam bekerja. Setiap pagi tak pernah mengeluh melayani anak-anaknya yang berangkat sekolah. Sarapan. Tali sepatu. Kaos kaki bersih. Pakaian yang telah digosok seterika. Dan uang jajan. Mama punya aturan sendiri, kalau sarapan uang jajannya akan lebih. Tapi jika tak sarapan uang saku hanya ada dua ribu. Pas untuk ongkos pergi pulang sekolah.
Bapak menjenguk kami di kampung setahun sekali, karena ia punya kontrak dengan kapal tempat bekerja. Saya sering melihat mama kelabakan, kekurangan uang atau kesepian.
Di rumah mama mengangkatku sebagai kepala keluarga menggantikan bapak. Tak jarang ia bercerita bagaimana menghadapi keluarga dengan status orang tua tunggal. Saya tahu itu sangat susah. Saya anak pertama dari enam bersaudara. Sekitar dua tahun lalu adikku yang kedua mengikuti jejak bapak, berlayar. Saya tak mau mengikuti karir bapak, karena telah melihat betapa menderitanya istri jika ditinggalkan suaminya. Saya tak mau itu kembali terjadi di keluargaku, kelak.
Seiring waktu, jenggot, kumis, dan bulu ketiakku mulai tumbuh. Adik-adik melihat saya bukan lagi anak yang sering ke sungai menapaki lumut, atau mandi dengan telanjang bulat. Saya menjadi tempat mereka berbagi. Berkeluh kesah dan mengadu. Saya menikmati itu, meskipun sangat susah. Saya sering bingung. Tapi ini sudah menjadi resiko sebagai anak pertama. Iya kan! Hingga suatu saat, saya berpikir bapak itu egois meninggalkan kami. Tapi semua luluh ketika menyadari tanggungjawabnya menafkahi keluarga. Tentu itu sangat susah.
Mencari uang ke negeri orang kukira bapak juga mengalami kesepian yang luar biasa. Kengerian dan kerinduan. Tentu naluri orang tuanya sering berkelahi dalam batin.
SEJAK kecil saya melewati hari tanpa bantuan bapak. Mama sering menyiapkan sarapan jika hendak ke sekolah. Kursi di tengah meja makan, untuk kepala keluarga selalu saya yang mengisi. Di meja makan suasananya “miskin”, meskipun menu yang terhidang cukup bagus. Telur dadar bumbu, sayur yang dipetik sendiri disamping rumah, air minum dari sungai, sangat menyenangkan. Tapi itu tadi, tetap miskin. Seperti kehilangan seseorang. Mama juga tak pernah membiarkan gelas bapak di pakai siapa pun. Walau anaknya. “Jangan itu, gelas bapak. Biar bapak sendiri yang pake kalau sudah datang,” kata mama suatu ketika jika saya mengambilnya. Bapak seperti hilang dalam peradaban kami. Meski sering hadir gelas dan fotonya.
Saya tumbuh dengan mental kurang bagus. Sering kali saat pulang pulang sekolah dengan keadaan menangis. Saya tak tahu harus mengadu kemana. Bapak sebagai pelindung tak pernah memperlihatkan kekuatannya menjaga anak. Hingga sering saya menangis sendiri dalam kamar, atau berlari ke pinggir sungai. Melihat riak air mengalir menjauh. Saya menyapu air mataku. Saat itu aku merasa sangat sendiri. Kesepian. Dan sangat jauh. Sementara teman-temanku yang menjajah berkeluyuran di luar. Mereka tak mendapat teguran. Apalagi dari bapak. Itu sudah tak mungkin.
Sempat saya berpikir mungkin hal ini akan berbeda jika aku punya seorang kakak, setidaknya setiap kekaluan hati akan tercurah padanya, tapi semua hanya khayalan. Sekarang saya tumbuh sebagai orang keras. Tapi sayang sampai saat ini saya belum pernah berkelahi. Kekuatan yang tertanam dalam hatiku seperti malu-malu. Tak pernah keluar. Sebab orang-orang mengenalku sebagai pengecut. Makanya mendapat musuh pun saya sangat sulit. Siapakah yang disalahkan. Saya tak tahu, jangan tanyakan itu. Saya membencinya.
PADA 1998 perekonomian Indonesia anjlok. Negara mengalami krisis ekonomi. Nilai tukar mata uang asing khususnya dolar mencapai 15 ribu. Rakyat tercekik. Tapi, sialnya saya bergembira. Sebab itu bapak bisa membelikan saya motor. Kalau harga dolar tak melambung naik, belum tentu saya dapat motor. Menyenangkan juga.
Ke sekolah saya naik motor. Seketika saya menjadi anak yang tampan. Sebagian teman-teman perempuan titip salam padaku. Waktu itu saya kelas tiga sekolah menengah pertama.
Tentu saya tak menghiraukan semua itu. Tapi, ketika duduk di bangku sekolah menengah umum, saya mengenal pacaran. Menyenangkan juga ternyata. Pacar pertama yang tak sebahagia diceritakan dongeng-dongeng.
Waktu pun berjalan, kemampuanku mengendarai sepeda motor semakin terlatih. Motorku Yamaha F1ZR, mampu kukemudikan mencapai kecepatan 130 km/jam. Hingga angin yang menerpa telinga begitu halus. Bola mata akan berlinang air.
Sekarang aku punya banyak teman. Saya juga mulai mengenal rokok. Mulai mengenal pulang telat, sebab harus mengantarkan pacar pulang ke rumah. Atau tinggal di bawah pohon asam dekat sekolah bersama pacar. Hehehehehe, jadi malu mengingatnya. Kadangkala di bawah pohon itu aku sempatkan untuk menciumnya, atau kupegang tangannya. Tentu pacarku tak marah. Bukankah itu seperti sepasang setan yang bergurau di samping sekolah. Tapi sampai tamat SMU itu saya belum pernah melakukan hubungan suami istri, ini yang membuat teman-teman masih menganggapku kampungan. Sebuah renungan yang mustahil jika melihat kebelakang, sebab saya cukup tampan, hahaaa.
Tak ada niat menulis semua ini, tapi suatu ketika saat saya belajar di Jakarta. Andreas tentor saya menulis tentang dirinya sendiri. Judulnya Hokaiao dari Jember. Beberapa kali saya mau mengikuti itu tapi tak bisa. Ternyata menulis tentang diri sendiri itu sangat susah. Sebab di dalamnya ada emosi dan keterlibatan langsung. Bagaimana melihat fakta, tanpa harus mencederai tulisan. Bagaimana menjadi orang kedua yang melihat sebuah peristiwa, hingga bisa menuangkannya dalam tulisan dari sudut pandang ketiga. Ini tantangan yang luar biasa pikirku. Alasannya menulis untuk diri sendiri seperti melakukan tugas reportase.
Tulisan ini tentu bukan reportase. Hanya mengandalkan satu sumber yaitu saya. Jadi pada dasarnya jika ingin serius setidaknya saya harus wawancara bapak, mama, adik, dan semua anggota keluarga, dan tak lepas tentu orang-orang dekat saya.
SUATU ketika saya terpilih sebagai anggota paskibaraka di kelas tiga Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Belopa Kabupaten Luwu Selatan. Bukan kebetulan, tubuh saya memang tinggi. 170 cm. Pun pada hari Senin, setiap kelas kami mendapat jadwal pengurus upacara, saya sering menjadi pemimpin upacara. Oh, iya, mulai kelas satu SMU itu, saya menjadi ketua kelas.
Pacar saya juga ikut paskibaraka. Namanya Besse Herlina, saya dan dia tergabung dalam pasukan tujuh belas. Bagaimana hebatkan.
Latihannya di lapangan kabupaten ratusan meter dari sekolah. Suatu ketika latihan paskibaraka sangat pendek. Pelatih kami punya urusan mendadak. Sekitar pukul 12.00 latihan itu selesai. Saya mengantar pacar ke sekolah. Setelah itu saya menjemput teman. Kecepatan motor menggiurkan. Angin mengelus lembut. Speedometer sudah di angka seratus, saya belum puas, gas motor kembali diputar semakin kuat. Menggila, saya melaju di jalan, menghindari kendaraan satu, ke kendaraan lain. Fantastis. Keren. Tiba-tiba saya melihat sebuah sepeda motor berhenti di tengah jalan. Di depan sebuah mesjid Jalan Topoka Belopa. Saya menghindarinya. Dan seketika itu pula dunia menjadi ringan.
Waktu berjalan damai. Tak ada rasa. Hembusan angin hilang. Saya membuka mata. Hembusan nafas menjadi dingin. Ada beberapa teman. Pacarku disamping berdiri. Ia mengeluarkan air mata. Temanku Adha, memegang tangan. Mama juga ada, bahkan Om juga hadir disitu. Tiba-tiba penisku berdiri. Tanda saya menjauh dari maut. Kata orang tua di kampungku. Kini saya sadar, saya baru mengalami kecelakaan. Ketika itu saya pingsan sekitar tiga jam.
Udara yang dingin itu, dari selang tabung oksigen yang berdiri disampingku. Saya mafhum.
Saya mulai panik, meraba bagian tubuh, kupegangi semuanya. Saya mendapat daerah mulut saya luka. Adhar temanku itu, kupanggil Doha. “Nda sumbing jaka Doha,” tanyaku.
“Ndaji,” katanya.
“Tanganku bagaimana,”
“Kepalaku bagaimana,’
“Kakiku bagaimana,”
“Bajuku dimana,’
Doha kelimpungan menjawabnya. Sementara itu, mama memegangiku berderai air mata. Kesalahan yang fatal. Mengeluarkan air mata orang tua. Bukankah seperti itu yang diajarkan agama.
Dua hari kemudian saya keluar rumah sakit. Lawan tabrakan saya, seorang wanita. Kakak kelas. Cantik. Ia bunga ketika di SMU dulu. Saya merasa berdosa, padahal saya juga suka dia. Namanya saya lupa.
Otomatis sebagai orang yang menabrak, dalam aturan lalu lintas, tentu yang mengganti biaya rumah sakit adalah keluargaku. Ini kali berikutnya saya lihat mama menjadi bingung. Tak ada bapak yang membantunya. Ia hanya dibantu Om. Tak ada keluarga lainnya.
Mama adalah orang Jawa Timur yang diangkut bapak ke Sulawesi Selatan, tepatnya di Palopo, kecamatan Suli. Keluarga dari mama jelas tak ada di pulau itu. Ia bukan transmigran yang punya teman main. Untuk melatih bahasa Jawanya ia sering berlama-lama ngobrol jika seorang penjual jamu lewat depan rumah.
Selama masih lemah saya tidur di kamar mama. Ia sering mengelus rambutku. Membelainya sangat lembut. Memijat kakiku. Membantu meminumkan obat.
HINGGA suatu ketika persoalan itu selesai. Waktu membuatnya redam. Saya sudah semester tujuh di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Fajar Makassar. Ketika itu seorang teman namanya Wawa, masuk rumah sakit. Aku iri melihat itu. Di rumah sakit saya melihat, ia punya ayah yang menemaninya bercerita saban malam. Mengangkat pundaknya jika hendak minum obat. Saya tak pernah merasakan kehangatan bapak yang mengelus rambut, memijat betis, meminumkan obat, membisiki kata semangat. “Ah, jalan hidupku memang menyenangkan,” kataku suatu ketika berbohong pada seorang teman.
Setiap waktu yang menjadi pelindung adalah mama. Tentang sekolah. Tentang harapan. Tentang pacar. Tentang pekerjaan. Hidup adalah mama. Tentu saya berdosa mengatakan itu, sebab untuk berada di Jakarta sekarang adalah karena bapak. Dia yang mencari uang. Dia menyekolahkanku. Dia yang membiayaiku. Dia yang membuatku tak minder bergaul. Dia membelikanku pakaian. Dan dia yang menjadi hebat.
Saya ke Jakarta dua hari setelah acara wisuda. Lagi-lagi ini menajdi acara yang sedih. Bapak tak hadir. Sehari sebelum acara wisuda ia berada di tenah perjalanan menuju Afrika bertolak dari Brasil. Jadi yang mendampingi di hari bahagia itu hanya mama dan om. Saya merasakan kesepian. Meski saya tak memperlihatkannya pada mama. Saya benci mengingat itu. Sumpah.
BULAN Januari lalu bapak pulang. Ia menelponku. “Eh, Eko dimanaki nak. Adama di Jakarta,” katanya dari balik telepon.
“Saya di Jogja,”
“Jadi bagaimana,”
“Saya nda bisa ke Jakarta sekarang,”
“Ya, kita ketemu di kampung saja,”
Telepon itu terputus. Saya tak bertemu dengannya. Besoknya bapak langsung pulang kampung. Di Jakarta saya sedang pelatihan menulis narasi di Pantau. Suatu lembaga yang berkonsentrasi meningkatkan mutu jurnalisme. Dua bulan lagi pelatihan itu selesai. Waktu bapak menelpon itu akhir Januari dan Maret mendatang pelatihan baru selesai.
Sekarang awal Maret, bapak kembali menelpon. “Jadi kapan pulang nak,” katanya.
“Belum pasti Pak,” kataku.
“Kenapa bisa,”
“Ta mamali ra (sebenarnya kita sudah rindu sama kau),” sambungnya.
Saya tak mampu menjawab pertanyaan itu. Hingga suatu waktu saya membaca tulisan Linda Cristanthy, dalam benak saya, kampung halaman adalah dimana kelak saya tinggal dan berada, begitu tulisnya dalam sebuah pengantar untuk bukunya Dari Jawa sampai ke Atjeh.
Tentu saya belum yakin untuk mengikuti kata-kata itu. Tapi kalimat itu memang cukup mengganggu saya sampai detik ini. Meski tanpa berbohong saya rindu bapak, mama, saudara, kampung halaman, dan tentu yang sering membuat semangat dan membunuh kejenuhan adalah Ndeng.
KEMAMPUAN bapak dan mama memang tak tertandingi. Mereka merasakan kesepian. Mereka merasakan kejauhan. Saya yakin, hati bapak jika di luar sana, akan terdampar keras jika mengingat anaknya. Seperti apa si Eko sekarang, seperti apa si Iwan sekarang, seperti apa si Tina sekarang, seperti apa si Eva, si Medi, dan si Asti sekakarang. Ia pasti menangis. Air mata yang tak terukur kasih sayangnya. Kerinduannya. Kebahagiannya. Kebapak-annya. Aku rindu semua itu dan begitu pun mereka rindu dengan semua itu.
Satu hal yang selalu membuatku terhibur, saat kuliah dan mengenal seorang perempuan, namanya Sartika. Saya memanggilnya Ndeng. Badannya tidak tinggi. 157 cm sedikit sampai 160 cm, tertaku. Ia sangat baik. Saya mengenalnya saat semester tiga di bangku kuliah Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Fajar Makassar. Ia kerap menemaniku pada keadaan pilu. Saya menghabiskan waktu di pantai. Memandang kejauhan. Merindukan bapak. Merindukan adek. Merindukan semua. Dan selalu terbayang bagaimana tangan Ndeng mengelus punggungku yang dingin dengan perasaan yang sebentar lagi ingin berteriak. Ia memberi semangat, tak jarang kami melewati hari hanya berdua. Berjalan. Bercerita. Bertengkar. Dan bahkan menangis. Ia juga yang membuatku berubah, menjadi lebih gila. “Bakat menulista bagus, itu perlu di asah,” katanya di tempat kecil di Jalan Mannuruki suatu malam.
Saya ingat betul kata-kata itu.
“Aku sadar. Dan kapanpun, saya punya niat untuk mengukir nama orang tuaku pada sesuatu yang tak pernah mati. Caranya adalah menulis. Sebab itu seperti membuat sejarah,” yakinku mengingat-ingat ucapan Andreas.
Rabu, April 16, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ah, ekoooo....menyentuh sekali! ini tak bisa dibandingkan dengan profil andreas, karena kau punya sisi yang lain, beda, unik!
BalasHapussaya terharu, dan tiba2 jatuh sayang! saya memanggilmu ade' eko nah! hehehe :p
yati - balikpapan, kaltim
[eh, ini blogku yang lain :p]
cantik sekali...salam kenal :)
BalasHapuskawan kunjungi blog mimirosmini.blogspot.com
BalasHapusberi komentar na....
but eits....jgn pandangi lama fotonya...
Tulisan kamu ini, membuat orang bisa mengerti 'Semesta'mu...
BalasHapusKarya yang cantik... :)
Untuk pertama kalinya membaca sebuah profil yg membuatku meneteskan air mata....terserah mw dikatai "Cengen" tp tulisan ini menyadarkanku sbuah hal yg sulit utk aq tulis dlm Coment ini,cukup utk aq rasa dan mengerti...kk makasih dah mw berbagi dng kisah ini...
BalasHapusLuar Biasa K'Eko...
BalasHapusAirmata beningku setetes untuk karyamu....
SALUTTTT!!
Lanjutkan sejarahmu..
:)
eko, kau telah menorehkan sejarah mu...
BalasHapuswe kurang ajar........kenapa tulisanmu bagus sekali......menyesalku psoting ki BAPAKku ke Kota. Tulisan itu kayak bumi dengan langit sama tulisanmu eko....tapi mantap. Saya bangga fotomu yang saya setting sedang wawancara saya di kantorku dan bekas kantormu masih kusimpan. Suatu saat kalau kau sudah melebihi andreas saya akan bilang gini,"Hebat-hebat begitu, Eko itu pernah mewawancarai saya. Atau paling tidak saya bilang, biar jago si Eko menulis, tapi saya pernah kerjai dia," wkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwkwk.....rasakan itu eko jago.
BalasHapusMiro baldo
indhy menyukai ini....
BalasHapustdk menyangka kak ekho sehebt ini
semngttt
lanjutkan menulsnya
heheheheheh
indhy menyukai ini....
BalasHapustdk menyangka kak ekho sehebt ini
semngttt
lanjutkan menulsnya
heheheheheh