Senin, Januari 18, 2010

Lelucon Awal Tahun

Seorang berperawakan kecil itu memberikan sambutan dengan tangan begoyang sesuai intonasi bicaranya. Terkadang tangannya mengepal, atau jarinya mengeras dan kaku. Atau juga tangannya bergoyang maju mundur, seperti seterika sekali dua kali dan tiga kali untuk mengaskan sesuatu. Lalu tertawa. “Begitu caranya kalau mau ambil keputusan,” katanya.

Dia punya kumis tipis. Namanya Jusuf Kalla, mantan Wapres dan sekarang Ketua Palang Merah Indonesia. Ini kali pertama saya melihat dia berpidato dalam jarak dekat. Lucu juga memperhatikannya, bajunya yang seperti kelonggaran, atau model rambutnya yang khas jaman dulu.

Senin malam itu, pada 18 Januari 2010, dia menghadiri acara bedah buku Mereka Bicara JK di wisamanya sendiri. Sebuah wisma yang cukup mewah, tingginya 70 meter dengan 15 lantai, di Jalan DR Ratulangi Makassar.

Menonton JK berpidato cukup menghibur ternyata
. Cerita yang ceplas ceplos dari berbagai bahan bacaan dan cerita orang, memang cukup terbukti malam itu.

Pada dialog malam itu, beberapa penanya menganggap ceplas ceplos itu berasal dari budaya Bugis Makassar kampung asalnya. Tanggap dan tegas. “Iya, saya orang Bugis. Kenapa!,” kata JK.

Menurut dia, kebugisanya tak pernah dia masalahkan sebab sudah tertanam dalam diri sendiri. Menurutnya, karakter dia adalah berani, bicara apa adanya, dan perlu gertak. JK tak ingin dingin di depan orang lain.

Alkisah, ketika mempelopori perdamaian di Aceh, ketika mengemukakan niat bertemu Malik Machmud salah seorang pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Jadi saya mau bertemu dia di luar, bukan di Indonesia dan Swedia,” kata JK.

“Jadi bertemu disalah satu hotel di Amsterdam (Belanda), saya minta ketemu di lobi. Kan kalau dia macam-macam bisa dilihat banyak orang,”
“Saya bilang ke dia, pada abad 17 ada sultanmu yang namanya Ismail kan,”
“Iya,” jawab Malik.
“Kau tahu itu dari Makassar. Tapi orang Aceh, tak ada yang jadi Sultan di Makassar,”
“Tapi kan istrinya orang Aceh,”
“Memang benar. Begitulah orang bugis, menikah dimana-mana,” lanjut JK yang disambut gelak tawa seisi ruangan.

Pertemuana masih terus berlanjut. Mereka bicara tentang perdamian. Tapi Malik belum menginginkan perdamaian, masih menginginkan pisah dari Indonesia. “Kalau begitu kita perang saja,”ujar JK.
“Iya, kita perang,” kata Malik.
“Kalau begitu kita buat kesepakatan, kita perang seratus tahun. Bagaimana.”

Malik tetap mengiyakan. JK tak habis akal. Dia terus melancarkan serangan, yang dianggapnya logika. “Seratus tahun perang, tapi di Aceh bukan di Jawa atau tempat lain. Biar yang mati itu orang Aceh semua. Saya bilang begitu ke dia.”

Malik tersentak, hal itu membuatnya galau. “Dia baru sadar waktu saya bilang begitu, hahahaha,” kata JK. “Nah begitu menyelesaikan masalah.”

Pengalaman lainnya, ketika dia masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) saat berkunjung ke Aceh. Untuk menciptakan image dan citra yang baik dia memutar kepala untuk melakukan sesuatu yang biasa tapi berimbas penting. “Jadi saya ajak itu Bupati salat subuh di masjid, setengah lima subuh. Jadi bupati itu bilang ‘jangan berbahaya banyak GAM’. Saya bilang kan masih sunyi pasti GAM belum ada, jadi sekitar tujuh orang yang ikut salat waktu itu di masjid,”

“Nah intinya saya hanya mau, sedikit orang itu yang ikut salat subuh besok bercerita kalau ada Menteri yang salat subuh di masjid, di pasar dan di jalanan. Dan itu terjadi, orang–orang bicara berani sekali. Terus muncul cerita, dia itu orang apa? Orang Bugis,”

“Hahahaha, jadi kan Bugis dan Aceh itu sama tinggi. Tak ada yang dilebih-lebihkan. Kan begitu,” kata JK.

Saya menikmati cerita itu, meskipun saya tak terlalu simpatik terhadap JK. Menurutku kemampuannya melakukan usaha perdamaian memang patut diacungi jempol. Namun saya belum melihat program kerja yang membuat pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup. Membantu petani dan lain-lain. Setahuku JK memang hidup dari keluarga mapan, dengan bisnis penjualan Toyota satu-satunya di Sulsel, di Indonesia saya belum tahu. “JK msih terlalu eksklusif,” batinku.

Beralih dari cerita Aceh. Ternyata JK memiliki cerita unik dari singkatan nama itu. Bila dikalangan anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai alumni, dia dikenal dengan panggilan Kak Ucu. Namun tahun 2004-2009 saat mencalonkan diri ikut pemilu presiden berdampingan dengan Susilo Bambang Yudoyono. Mulailah aturan nama itu melekat.

Awalanya Susilo Bamabang Yudoyono disingkat SBY sudah dikenal. Ketika ingin mencetak spanduk untuk nama itu, SBY memberi masukan untuk sama-sama tiga huruf yakni MJK atau singkatan dari Muhammad Jusuf Kalla. “Nah setelah spanduk itu dicetak SBY-MJK, wah bisa gawat juga. Kan bisa diplesetkan MCK, mandi cuci kakus, hahahaha. Kan bahaya itu,”

“Jadi bersama Tim dihilangkan M-nya menjadi JK saja. Sekarang itu yang melekat dan jarang lagi yang menyebut Kak Ucu,” lanjutnya.

Ruangan kecil di lantai dua itu menjadi cukup kecil, para tamu dan undangan yang hadir sebagian masih berdiri tak kebahagian kursi. Antusias. Tak ada matinya menyimak cerita JK.

JK bahkan menambahkan dua kali sambutannya. Pada sesi terakhir setelah pemotretan bersama, dia naik panggung untuk sambutan yang terakhir. Tak ada yang melarang atau membatsi waktunya, ini acara dia. “Ini ada cerita soal foto lagi. Saya ingat setelah foto itu,” ujar JK.

JK berdiri di podium kecil tempatnya tadi, yang sisinya dihiasi bunga. Memperhatikannya sejajar dari depan maka akan muncul sedikit tubuh JK saja, bagian dada keatas. Ternyata JK trauma (dalam artian bukan takut tapi cukup terganggu) tentang foto.

Ketika masa kepemimmpinannya bersama SBY berakhir, JK kembali mencalonkan diri di pemilu Presiden, kali ini bukan sebagai Wapres tapi Presiden, tapi hasilnya kalah. Dia tak terpilih dan hanya berada diurutan ke tiga, dibawah pasangan SBY-Boediono dan Megawati-Prabowo.

JK memilih berlibur ke luar negeri. Alasannya di dalam negeri dia tak terlalu bebas karena setiap bertemu orang selalu meinta foto bersama. “Tapi bukan berarti saya tidak suka Indonesia, saya sangat suka,” katanya.

“Suatu ketika saya bertemu dengan lima orang, dia meminta foto bersama. Sekarang kan hand phone itu punya kamera, jadi lima orang itu masing-masing punya tustel. Jadi bergantian itu foto-foto. ‘Saya lagi, saya lagi, saya lagi,’ kata mereka. Capek juga saya.”

Tapi ternyata menghindari foto bersama atau populernya foto bareng. JK mendapatinya di pesawat. Ceritanya, waktu JK masuk ke kamar kecil, seorang berkebangsaan Indonesia mendapatinya. “Eh, pak JK, foto dulu,” kata orang itu ditirukan JK. “Tunggu saya masuk kamar mandi dulu. Jadi saya ditunggui sampai keluar. Jadi fotonya, dibelakangnya itu kamar mandi.”

Namun persoalan tak sederhana itu. Pramugari melihat aksi itu. sang pramugari bertanya kepada sang Indonesia, siapa bapak yang ditemaninya berfoto bersama.

“Jadi waktu pramugari itu mendekat, selalu bilang yes Sir, yes Sir.” JK kaget sebab langsung berubah dan sangat sopan sekali. “Jadi saya bertanya, kenapa?,”

“Katanya bapak adalah Wakil Presiden Indonesia. Bisa foto pak,” kata pramugari itu.

“Wah, foto bersama lagi. Padahal saya bukan lagi Wakil Presiden. Hahahahaha,” Kata JK.

Bedah buku itu akhirnya berakhir setelah cerita foto bersama. Namun kali ini semua mengerumuni JK bukan untuk foto bersama tapi meminta tanda tangan di buku. “Jadi hati-hati Pak JK, kedepan akan ada pekerjaan baru, tanda tangan buku,” itu dalam benakku.

0 comments:

Posting Komentar