Senin, Juni 14, 2010

Sabuk Hijau yang Terlupakan

foto-foto oleh: Joko Pambudi

Pangandaran memoles dirinya menuju modernitas untuk kepentingan wisatawan. Jejak alam, kehidupan nelayan, menjadi cerita menyedihkan.


Di tengah dingin pagi yang berkabut pada Jumat 28 Mei 2010 sekitar pukul 07.40, sebuah pesawat kecil dengan kapasitas penumpang 12 orang meninggalkan Jakarta. Satu setengah jam berikutnya mendarat di landasan udara Nusawiru Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Pangandaran adalah sebuah pantai. Punya dua sisi pesisir, pantai barat untuk melihat matahari terbenam dan pantai timur untuk melihat matahari muncul. Jaraknya hanya sekian ratus meter, menggunakan sepeda cukup butuh 10 menit untuk mencapai masing-masing sisi itu.


Sekitar 30 tahun lalu, Pangandaran adalah pantai yang cantik dan elok, di sepanjang pesisir di tumbuhi rimbunan tanaman pandan, rumput dan pohon. Hijau dan menyegarkan. Sehari setelah kedatangan itu, saya bertemu dengan seorang pria yang menetap di Pangandaran awal tahun 1980-an. Dia mengingatkan bila jalur hijau yang ciamik atau green belt itu sudah lenyap, bukan tergerus oleh waktu tapi termakan keserakahan manusia sendiri.

Benar saja, kini Pangandaran sudah berubah tak seperti cerita kebanyakan orang. Kecantikannya kini menjadi kenangan. Bibir pantai dengan jalan beraspal berlobang hanya dibatasi serangkaian pohon kelapa, lapak pedagang kaki lima dan tembok taman yang tingginya sekitar 1,5 meter. Pesisir pantai tertutup pedagang kaki lima.

Sabtu 29 Mei 2010, ketika langit mulai gelap beberapa anak muda mengendarai kendaraan dengan kecepatan tinggi, suara kenalpot yang besar meraung-meraung seperti ingin menandingi gemuruh ombak. Sementara di sepanjang jalan di bagian lain sisinya warung-warung kecil berdinding anyaman bambu juga ramai dengan kerlip lampu hias.

Lainnya, penjual jagung mengipas arang pembakarannya di atas trotoar jalan dan di taman poros jalan utama. Suasana begitu ramai. Dan pada kenyataannya, Pangandaran juga bergegas menuju modernitas mengubur masa lalu dan meninggalkan fungsi alamiah alam. Awal tahun 2000 sebelum bencana tsunami menerjang kawasan itu (tsunami terjadi pada tahun 2006, red), dan menghilangkan nyawa puluhan orang, melenyapkan harta benda, rimbunan flora pesisir yang berfungsi untuk menahan gelombang dan penjaga abrasi telah dibuldoser oleh pemerintah setempat. Alasannya untuk membuat pantai semakin cantik agar wisatawan tertarik datang.

INI Minggu pagi, pada 30 Mei 2010, seperti keramaian sebelumnya pesisir timur Pangandaran dipenuhi para wisatawan. Mereka menunggu matahari menampakkan dirinya lalu cahaya keemasan menerpa permukaan air. Irianto, 23 tahun, di atas gundukan batu dan tempat duduk dari tembok membersihkan jaringnya yang terpasang sejak sore sebelumnya.

Satu persatu daun, sampah plastik dari pembungkus shampo, makanan, dan ranting kecil dilepaskannya. Setelah itu sampah itu dibiarkannya menumpuk diatas tumpukan batu pemecah ombak yang panjangnya mencapai dua kilometer. Tapi itu tentu pekerjaan sia-sia sebab bila ombak datang menggulung dengan tinggi maka sisa-sisa sampah tadi akan kembali turun ke laut.

Irianto baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Pagi itu dia menemukan delapan ekor udang lobster kecil. Udang-udang itu ditumpukkannya diatas tanah dan ditaburi pasir kering. “Kalau pakai pasir kering akan tahan hidup sampai dua hari. Kalau pasir basah cepet lemes, hanya setengah hari,” katanya.

Badan Irianto, terlihat kedinginan. Telapak kakinya terlihat berkerut pucat. Dia adalah nelayan yang mencari udang lobster disekitar tanggul batu. Dia memasang jaring pada sore hari dan mengambil pada pagi esok harinya. Setiap kilogram udang akan dihargai Rp150 ribu. Untuk delapan ekor udang pagi itu diperkirakannya akan mencapai Rp200 ribu.

Menurut dia, saat ini lobster akan banyak keluar bebatuan atau sarang persembunyian, karena suhu yang dingin. Gelombang dan angin yang kencang sepanjang musim angin timur merupakan iklim yang tak disenangi oleh si lobster.



Tahun 2007, Irianto memulai karirinya sebagai nelayan lobster. Dia bekerja sendiri. Modalnya sebuah ban dalam besar dan jaring ukuran 30 meter, dana awalnya Rp500 ribu. Dan setiap minggu jaring yang terbuat dari tali tasi itu akan diganti, karena bocor dan sobek. Dia tak ingin lagi melaut dengan kapal-kapal nelayan, menjelajahi lautan berhari-hari. Dia tak ingin menjadi anak buah terus menerus, berbeda dengan yang dilakukannya sekarang. Wahyu menjadi bos untuk dirinya sendiri, capek dan kelelahan ditanggungnya sendiri. Ada hasil atau tidak dia sendiri juga yang menikmati.

“Kalau ikut perahu orang, penghasilan dibagi. Kalau musim paceklik begini (saat musim angin timur) maka bisa jadi tak ada hasil,” katanya.

Di sepanjang pesisir timur itu, ratusan perahu-perahu nelayan tertambat, digoyang-goyang ombak. Mereka tak melaut, tak ada hasilnya begitu kata beberapa nelayan yang saya temui.

Sementara tak jauh dari tempat perahu yang tertambat berdekatan dengan cagar alam Pagandaran, puluhan bagan berdiri kokoh. Bagan seperti rumah di atas air, terbuat dari bambu dan ditancapkan, pada bagian tengah di tempatkan jaring untuk menunggu mahluk laut yang akan terperangkap. Bagan-bagan itu saat sekarang sama dengan perahu nelayan, tak akan berharap ada ikan yang tersangkut dalam jaring. Hidi, 38 tahun, seorang dari pemilik bagan memandang dari tepi jalan ke arah bagan-bagan itu. Dia belum memastikan akan turun melaut.

Saat ini, kondisi cuaca tak baik maka bagan kebanyakan tak akan beroperasi. Beberapa tahun yang lalu, bila kondisi musim tak bersahabat bagan-bagan itu tetap melakukan aktivitas. Hidi dan beberapa nelayan lainnya akan menjaring udang-udang kecil yang dinamakan rebong. Biasanya udang kecil itu akan dijadikan pakan ternak dan bahan pembuatan terasi.

Tapi, kali ini semua berubah. Beberapa tahun lalu, jumlah udang rebong itu masih bisa terjaring hingga 4 ton perhari. Tapi sekarang sekepal saja sangat sulit. “Tak tahu apa sebabnya. Semua sudah tidak ada,” katanya.

Sementara dia bercerita, hujan mengguyur cukup deras. Di bawah tenda pos kecil yang dijejali bangku dan meja, juga beberapa boks gabus putih percikan air begitu cepat menampar.

Gelombang menghantam batu-batu besar penahan gelombang itu. Hitam dan tak berbusa. Setelah redah, permainan olah raga air, seperti banana boat, jet ski, dan beberapa lainnya kembali beraktifitas. Perahu-perahu menarik permainan itu dengan kencang. Penumpang dan wisatawan yang mencoba wahana permainan itu berteriak histeris kegirangan. Ketika mereka tercebur maka terdengarlah tawa.

Gelombang air bermain dibelakang perahu yang berkecepatan tinggi. Sementara ikan, biota laut, apalagi karang tak akan mampu bertahan dengan gangguan baling-baling perahu itu.

Pendiri Pusat Pendidikan Lingkungan Pesisir (PPLP) Adam Assegaf, mengatakan saat ini kondisi Pangandaran sudah berubah dan kerusakan lingkungan sudah tampak nyata, ekosistem bawah laut, abrasi, sudah didepan mata. Diperkirakannya bila kondisi masyarakat seperti sekarang dengan pemikiran yang statis bukan tidak mungkin 10 tahun kedepan Pangandaran akan menjadi kenangan saja.

Adam sudah menetap di Pangandaran sejak tahun 1980. Dia memperhatikan setiap perubahan yang terjadi. Menurut dia, kondisi yang mempengaruhi perubahan lingkungan pesisir Pangandaran adalah masyarakat sendiri. Keengganan untuk berubah dan mencintai lingkungan hampir tak ada.

Di contohkannya, pendirian Bagan yang terlampau dekat dengan cagar alam sebenarnya akan berpengaruh besar. Karang-karang yang tumbuh dengan baik disekitar tempat itu berangsur mati, karena ekosistemnya terjamah dan dicampuri manusia. Biota laut yang terperangkap jaring nelayan tak dilepaskan kembali ke laut bahkan dibiarkan begitu saja. “Makanya sejak tahun 1990 saya tidak lagi menyelam di tempat itu, saya tak melihat apa-apa lagi. Padahal masa-masa awal masih banyak penyu,” kata Adam.

Luas cagar alam mencapai 500 hektare dan menjadi paru paru Pangandaran. Letaknya berada di atas bukit. Ketika tsunami melanda kawasan itu, maka cagar alam menjadi kekuatan utama yang membendung laju air di daerah sekitar. Beberapa aktivis lingkungan tak membayangkan bila cagar alam itu tak bertahan, korban bencana tsunami akan tentu akan berlipat. “Nah yang lucu kan, ketika sabuk hijau pantai digusur. Hanya untuk membentuk pantai semakinlapang. Itu tentu tidak masuk akal,” lanjutnya.

Bagaimana dengan sisi barat Pangandaran. Tak ada tumpukan batu pemecah gelombang, hanya hamparan pasir. Ombak yang tinggi. Di pesisir barat itu anda tidak akan leluasa menikmati aktivitas berenang saat hari libur tiba. Orang-orang akan bergerombol di atas pantai, sejak pukul enam hingga menjelang matahari terbenam. Sangat padat.

Sementara lapak-lapak pedagang kaki lima memenuhi sepanjang garis pantai. Ada yang menjual makanan. Pakaian, minuman dingin, atau kopi. Tenda-tenda dengan penuh warna, biru, hijau dan orange, tiang-tiang dari bambu. Semua bersatu dan menutup sisi pantai dari arah jalan. Sisa-sisa sampah jualan berceceran disembarang tempat. Rencana pemerintah untuk membuat pantai semakin lapang dan bisa dinikmati di tepi jalan sirna sudah.

Seorang pengusaha ikan dan pemerhati lingkungan, Susi Pudjiastuti, mengatakan kalau mau melihat Pangandaran lebih baik, maka lapak-lapak pedagang kaki lima itu harus dipindahkan dari bibir pantai untuk mengurangi sampah. “Makanya kita adakan bersih pantai, memungut semua sampah,” katanya.

“Jadi sebenarnya aturan membabat tanaman pesisir itu sia-sia. Lebih baik lapak dari tanaman, begitu kira-kira,” lanjut Dede Suparto Prawira, aktivis PPLP lainnya.

Menurut Dede, jumlah tanaman yang dihilangkan mencapai ribuan, ada pandan, rumput khas yang mampu menjaga laju abrasi, ketapang, hingga tanaman lokal. Gundukan-gundukan pasir yang diciptakan alam diratakan. Konsep menjadikan pantai terbuka, dikatakannya sebagai kekeliruan yang sangat fatal. Malah menambah masalah. “Nah sekarang kalau bencana datang, yang menahan gelombang air atau menahan laju abrasi itu lapak kaki lima. Tidak kan,” lanjutnya. “Sepertinya pemerintah lebih hebat dari Tuhan.”

Tak hanya itu pembangunan dan kebijakan pemerintah tentang tata ruang kota tidak memberikan pandangan yang baik akan keberlangsungan lingkungan. Persoalan sanitasi dan limbah hotel tak tertata dengan baik. Aturan lahan terbuka hijau yang memadai. Dimana seharusnya untuk membuat perumahan, maka konsep yang penting adalah 60 banding 40, yakni 60 persen bangunan dan 40 persen lahan terbuka hijau. Tapi kenyataannya semua tak berlaku, halaman rumah dan sempadan jalan dipenuhi jalan tembok. Tak ada lagi tanah.

Bahkan, di pesisir barat ada landasan pacu udara untuk pesawat perintis. Menurut Deden seharusnya landasan tak di tempat itu, sebab melanggar Harim Laut atau garis sempadan pantai. Seharusnya, lanjut

Deden sempadan itu diperuntukkan untuk habitat pesisir, bukan untuk pesawat dan tujuan ekonomi wisata. “Lapangan terbang untuk memajukan wisata jelas itu hal yang sangat baik, tapi posisinya juga harus diperhatikan. Lapangan itu kan sejajar dengan garis pantai, kan tidak tepat,” katanya.



WAKIL ketua Badan Penyelamat Wisata Tirta (Balawista) Wawan Hermawan sedang melakukan tugasnya saiang itu. Dia hanya menggunakan sebuah celana puntung dan berelanjang dada. Badannya cukup kekar. Dia berdiri melihat pesisir pantai barat dari bangunan berlantai dua.

Setiap hari selama tujuh hari dalam seminggu dia menetap di pesisir pantai. Tanggung jawabnya cukup besar, apapun yang terjadi di pantai harus sepengatahuannya. Wawan cukup ramah, dia menerima permintaan wawancara di ruang kerjanya yang sederhana. Tembok-tembok dindingnya retak karena geataran gempa wakhir tahun 2009 yang terjadi di Tasik, Jawa Barat, yang jaraknya ratusan kilometer.

Dia cukup bangga menjadi penjaga pantai. Dan dengan sedikit berbesar hati dia menyatakan bila peralatan yang ada di Balawista Pangandaran merupakan yang terbaik di seluruh Indonesia. Tim penyelamat pantai itu, memiliki sekitar 30 orang personil. Mereka bertugas di beberapa objek wisata yang ada di Pangandaran, dari Batu Hiu, Green Canyon, Batu Paras, hingga pantai Pangandaran sendiri.

Di pesisir barat pantai Pangandaran terdapat empat buah pos penjagaan. Sementara pantai timur tak dipantau secara rutin. Di barat masing-masing pos berjarak sekitar 400 meter. Setiap pos dijaga lima orang. Jadi total petugas yang bertugas di lapangan mencapai 27 orang. Empat orang di kantor yang bertugas siaga melaporkan kondisi, baik cuaca, atau hal lain.

Tim penyelamat pantai itu memiliki sebuah mobil ambulans, sebuah mobil patroli, jet ski dua unit, dan kendaraan roda empat yang menyerupai motor dinamakan ATV satu unit. Lainnya, motor trail satu unit, perahu karet dua unit, rescue board atau papan penyelamat tujuh buah. Dan peralatan standar lainnya seperti pelampung, sirene, dan lain-lain.

Bila waktu libur tiba, maka jumlah pengunjung bisa mencapai puluhan ribu orang. Artinya, jumlah personil dan petugas yang menjaga tidak seimbang. Bila pada hari sabtu dan minggu mencapai 10.000 orang maka perbandingannya setiap petugas menjaga 330 orang pengunjung itu tak terhitung daerah kunjungan wisata lainnya, hanya di pesisir barat Pangandaran.

Tak mengehrankan data jumlah kecelakaan yang terjadi cukup tinggi. Pada tahun 2007 jumlah angka kecelakaan mencapai 177 kasus, jumlah korban meninggal 4 orang. Pada tahun 2008 meningkat menjadi 226 kasus, semuanya diselamatkan. Sedangkan pada tahun 2009 yakni 183 kasus, meninggal tiga orang. “kalau personil kami memang kurang. Seharusnya dan idealnya stiap pos dijaga minimal tujuh petugas pantai,” katanya.

Balawista adalah lembaga penyelamat yang dibuat oleh pemerintah daerah. Anggaran operasionalnya didanai oleh Anggaran Pendapatan belanja Daerah (APBD). Untuk tahun 2010, anggaran yang disiapkan adalah Rp325 juta. Anggaran itu termasuk operasional lapangan, konsumsi, hingga pembelian perlengkapan. “Sangat kurang, jangankan bergerak sehari-hari kadang-kadang harus tekor. Bahkan kendaraan patroli mogok ditengah jalan karena kehabisan bensin,” lanjutnya. (Eko Rusdianto)

2 komentar:

  1. Izin copy to mypangandaran.com...makasih :)

    BalasHapus
  2. Untuk Pangandaran yang berkunjung ke bilik ini. Semoga tulisannya bisa berguna. Untuk meng-copy tulisan silahkan saja, saya cukup senang bila bisa dibagi.

    Terima kasih.

    BalasHapus