Sabtu, November 20, 2010

Bencana yang Berdiam Diri


Pada Maret 2010, di jalan menuju kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Malino dan melewati bendungan Bilibili, Kecamatan Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan cukup menanjak. Hamparan gundukan bukit membentang, tapi tak ada pohon besar, lahan hutan berubah fungsi menjadi kebun dari jagung, wortel, kol dan tanaman sayur lainnya.

Pengamat Bendungan Bilibili, Muhammad Yunus memandang dari tempatnya berdiri. Dia menunjuk dengan telunjuk kananya sekeliling kawasan yang luasnya 16,5 kilometer persegi. Dia berhitung potensi longsoran lumpur yang akan memasuki kawasan DAM Biibili tiap hujan turun. “Di bawah permukaan air DAM itu, potensi lumpur sudah mencapai 70 juta kubik,” katanya.

Menurut dia, penggundulan yang terjadi di area bendungan Bilibili sudah memprihatinkan dan sulit terjangaku petugas bendungan. Pengawasan, kata dia, seharusnya dilakukan oleh pemerintah setempat bukan membebankan pada petugas bendungan. “Kami melihat dan memperhatikan, setiap tahun laju pembalakan dan pengalih fungsian hutan sekitar bendungan sangat cepat terjadi,” lanjutnya.

“Lima tahun lalu, kawasan perbukitan itu masih lebat dan suasana di sekitar bendungan masih dingin dan sejuk. Sekarang coba perhatikan semua sudah terliihat tanahnya. Tak ada lagi pohon yang menahan air, dan laju erosi semakin cepat,” ujarnya.

Awalnya pembangunan bendungan Bilibili meneggelamkan sebanyak empat desa. Bendungan itu, dibangun pada 1992 dan peresmiannya tahun 1998. Konstruksinya sangat kokoh dan merupakan andalan warga sekitar untuk kebutuhan air bersih, listrik, dan pengairan untuk sawah.

Bilibili mampu memasok kebutuhan air baku hingga 3.300 meter kubik per detik. Menghasilkan aliran listrik tenaga air hingga 20,1 mega watt. “Kami masih menyediakan semua itu,” lanjut Yunus.

Tapi kondisi mulai berubah, sejak 10 tahun terakhir. Pada 2004 longsor di Gunung Bawakaraeng terjadi, dan membawa jutaan kubik sedimentasi yang bertumpu di bendungan Bilibili. Air yang dihasilkan pun mulai keruh. Longsor tersebut diperkirakan terjadi karena patahan dan tercatat sebagai yang terbesar. Selain itu, kondisi alam yang sudah gundul. “Sangat sedikit orang yang berdiri di belakang kita, untuk membicarakan dampak kerusakan lingkungan. Padahal efeknya sangat besar,” kata Yunus.

Tak hanya itu, abrasi di pesisir bengungan Bilibili pun sudah mulai nampak. Di perlintasan kendaraan jalan poros Gowa-Malino jalan kondisi jalan sangat jelek. Berlubang dan berlumpur. Aspal yang melapisi kerak batuan tak bertahan dengan seirus. Kendaraan truk berkekuatan besar, dari enam roda hingga 12 roda tak henti melintas. Truk-truk tersebut adalah pengangkut hasil tambang golongan C di bagian hulu bendungan Bilibili.

Satu keuntungan, sedimentasi yang terendap akan terangkut, namun sisi lain kondisi jalan tak pernah baik. Pinggiran jalan pun mengalami abrasi. Jarak air dari jalan mulai dekat. “Ini juga adalah masalah, bagaimana seharusnya pemerintah membatasi laju kendaraan itu atau khusus tonase berapa, ini tidak ada truk super besar pun bisa melintas,” keluh Yunus.

Di atas bendungan Bilibili yang kokoh dan diperkirakan bertahan hingga 50 tahun ke depan, sepanjang aliran sungai Jeneberang yang membawa aliran air dari bendungan terlihat meliuk indah, seperti punggung ular. Airnya keruh dan kotor. Gunung-gunung yang mengawalnya tak lagi memperlihatkan kerindangan yang elok. Salah satunya adalah Taman Wisata Alam Malino. Suasana berubah.

Kepala Seksi Perlindungan Pengawetan dan Perpetaan Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (Balai BKSDA) Sulsel, Faat Rudhianto, mengatakan kerusakan hutan konservasi di TWA Malino mencapai 40 persen. Kerusakan itu, diakibatkan terjadinya alih fungsi lahan yang tak terelakkan. Masyarakat tiap tahun membuka lahan baru, padahal petugas terus melakukan pengawasan.

Petugas konservasi, selalu dibuat kerepotan ada-ada saja sertifikat baru yang muncul dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Gowa. “Saya tidak tahu kenapa ada surat hak milik padahal kan itu tidak tepat. Tapi kenyataan di lapangan ya memang seperti itu,” katanya.

Luas kawasan TWA Malino mencapai 3.500 hektare. Vegetasi flora dan fauna yang berada di dalamnya sangat beragam, ada tanaman vakis-vakisan dan serangga-serangga endemik. Namun, semua kini mulai berpindah. Di TWA Malino, penduduk mulai memasuki hutan dan tak mampu dikendalikan, sudah lebih dari 100 kepala keluarga yang menghuni kawasan itu dan ironisnya memiliki sertifikat tanah garapan. “Itu kan dari BPN, apakah pemerintah setempat tidak ingin melihat kondisi alam tetap baik,” lanjutnya.

Dijelaskan, Faat, salah satu sumber air dari bendungan Bilibili dan sungai Jenebrang yang membentang dari Gowa hingga Makassar adalah TWA Malino. Namun, sekarang semua sudah berubah fungsi, kekuatan TWA Malino untuk memberikan sumber air sudah mulai berkurang karena alih fungsi lahan masyarakat dan didiamkan pemerintah setempat.

Sesuai pengataman saya, saat mengunjungi TWA Malino beberapa villa dan rumah peristirahatan terlihat dalam area konservasi. Beberapa pejabat seperti Bupati memiliki tempat disana. “Sebenarnya inilah yang menjadi kendala kita selama ini,” ujar Faat.

Akhir tahun 2009, Balai Besar KSDA Sulsel melakukan pemetaan batas untuk wilayah konservasi karena tiap tahun selalu susut. Kemudian, dilibatkanlah Bupati Gowa Ichsan Yasil Limpo dan BPN Kabupaten Gowa dan beberapa unsur lainnya. Tapi setelah pemetaan dilakukan dan membuat berita acara Bupati Kabupaten Gowa Ichsan Yasin Limpo dan unsur dari BPN itu tak ingin menandatangani.

Menurut Ichsan yang ditirukan Faat, berita acara itu ditandatangani bila Balai Besar KSDA mengeluarkan batas hutan dari wilayah masyrakat. Artinya hutan konservasi akan di susutkan untuk mendukung pemberdayaan masyarakat sebab dianggap sejak lama telah mengolah lahan secara turun temurun.

Namun pendapat Faat berbeda, menurutnya sejak ditetapkan sebagai hutan lindung tahun 1920-an oleh SK Menteri Kehutanan zaman Belanda. Dan pada 1975 dilakukan pengukuran dan tata batas awal. Saat ini lah masyarakat mulai merangsek masuk kawasan hutan dan persoalan mulai rumit.

Pada 1991 ditetapkan kembali menjadi kawasan hutan negara lalu beralih menjadi kawasan hutan konservasi sesuai SK Menteri Kehutanan nomor 420 /KPTS II/1991 yang dikeluarkan pada tanggal 14 Juli 1991. Sejak saat itu kawasan konservasi dinyatakan steril dari aktivitas warga. “Jadi bukan kawasan hutan yang mengambil lahan warga tapi sejak dulu warga yang masuk kawasan hutan,” katanya.

Untuk itu, kata Faat, pemerintah tak boleh lepas tangan untuk menentukan nasib hutan sebab merupakan salah satu sumber air, penyerap karbondioksida, dan penyedia oksigen. Diperkirakan 10 tahun ke depan bila kawasan itu tak terjaga maka daerah sekitar seperti kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar , dan sebagian Makassar akan kekurangan air bersih. “Dari mana tampungan air bersihnya, ya salah satunya adalah Malino ini,” lanjutnya.

Perubahan mendasar yang paling nyata menurut Faat adalah berubahnya suhu udara di kawasan Malino. Hingga akhir tahun 1980-an Malino masih merupakan kawasan yang sangat dingin dan sejuk. Minyak goreng yang dibawah dari Makassar masih bisa membeku ketika di Malino, namun sekarang semua berubah panas dan mulai pengab.

Perubahan lain adalah, tak ada lagi hujan dari tipikal hutan yang subur. Sebelumnya setiap pukul 12.00 maka bisa dipastikan akan turun hujan karena proses kondensasi yang dibuat oleh tumbuhan sekeling. “Sekarang tidur tanpa selimut dan sarung saja di Malino sudah bisa dilakukan,” ujar Faat.

Saat ini kondisi suhu di Malino sudah mencapai 29 derajat. Dibanding Makassar dengan tingkat pertumbuhan gedung yang tinggi dan pembangunan yang gila-gilaan adalah 38 derajat. Faat memperkirakan hanya butuh waktu 10 tahun ke depan suhu di Malino bisa menyamai Makassar saat ini.

Kecenderungan pemerintah melihat proses pertumbuhan hutan tidak selalu dimplemetasikan dengan kenyataan di lapangan. Program pemerintah untuk penenaman sejuta pohon hingga saat ini belum memperlihatkan manfaat. Sertifikat baru bermunculan. Balai Besar KSDA kelabakan melawan tindakan itu. “Kami pernah melaporkan tentang alih fungsi lahan itu, tapi kami tak mendapat dukungan dan Balai malah kalah,” keluh Faat.

Dilema lain muncul, untuk melaporkan ke Peradilan Tata Usaha, ternyata berbenturan administrasi. Salah satu poko aturan yang dilampirkan dalam peradilan tata usaha yakni tidak boleh saling gugat antar instansi pemerintah. SK Menteri Kehutanan tentang kawasan konservasi dan sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional merupakan produk pemerintah. “Jelas kita dimentahkan di administrasi itu bukan,” jelas Faat.

Di Kabupaten Gowa daerah pemerintahan Ichsan Yasin Limpo sebagai Bupati beberapa baliho terpampang untuk mengajak masyarakat mencintai lingkungan. Go Green begitu tag line balihonya. Ironisnya dalam perangkat kedinasan Ichsan menggabaungkan Dinas Perkebunan dan Kehutanan. Menurut beberapa ahli lingkungan penggabungan itu tidak lah tepat, karena hutan dianggap tak memberikan manfaat dan pemasukan bagi kas daerah.

“Saya pernah bertemu dengan pak Ichsan, dia bilang tak akan menandatangi berita acara penetapatan kawasan hutan. Harus masyarakat yang menjadi pemenang, dan hutan keluar dari area masyarakat,” kata Faat.

“Saya tahu pasti adek berdoa, dalam Pilkada ini saya tak terpilih lagi sebagai Bupati agar berita acara itu ditandatangani, tapi doa berbeda karena yakin akan terpilih kembali,” kata Ichsan ditirukan Faat.

Bagaimana nasib TWA Malino, mungkin saja akan berubah menjadi pemukiman biasa.

Dan Bilibili, kata Muhammad Yunus akan tetap ada, tapi bila kondisi hutan di hulu dan yang berada disekitar terus digunduli maka debit air akan selalu berkurang dan sedimentasi akan terus bertambah. Persediaan air untuk kebutuhan masyarakat dan untuk irigasi pun bisa lenyap dan akan sangat sukar.

Potensi bencana memang masih terlampau jauh untuk dibicarakan, tapi kemungkinan itu sudah di depan mata. Seberapa cepat dan seberapa lambat hal itu akan datang, “saya kira tergantung dari kebijakan dan ketegasan pemerintah. Sosialisasi dan pemahaman untuk masyarakat tentang pentingnya hutan,” kata Yunus. (Eko Rusdianto)

0 comments:

Posting Komentar