Jalan berlumpur. Pohon-pohon yang tumbuh rindang dan rumah adat yang tak terawat. Somba Opu begitu saya melihatmu dalam keadaan yang tergerus, merintih, dan terabaikan.
Awal Desember 2010, begitu ketika saya menyapamu dengan lelehan lumpur yang melengket di ban motor. Truk-truk pengangkut bahan galian, suara-suara mesin gerinda, pecikan cahaya las, dan adukan-adukan semen. Saya ketakutan.
Kini kau seperti petapa yang kena strok, tak mampu lagi bergerak, kau tak tak mampu beringsut. Orang-orang yang menjagamu pun tak kuat berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa mengeluh dan menghardik. Kini Somba Opu, kau itu maksudku sekarang dirusak setelah sekian lama menderita dalam kesendirian. Kau meradang sebelum kau berdiri tegak dengan baik.
Saya tahu kau meradang pertama kali pada 18 November kau tertunduk terkulai di depan para kompeni. Kau diluluhlantakkan oleh meriam-meriam dan tembakan para serdadu yang membenci keagunganmu. Itu, tepat sebulan yang lalu dengan tahun yang berbeda, ketika Hasanuddin menyerahkanmu pada 1667 di perjanjian Bungaya.
Kini saya hanya bisa mengenangmu lewat lembaran buku yang terselip di rak-rak teman. Di tempat itu, kau pernah melahirkan seorang pemimpin yang piawai, cerdas dan berani. Karaeng Pattingaloang. Raja jenius yang punya perpustakaan besar, yang ‘gila’ dengan ilmu pengetahuan. Pattingaloang membawa teleskop Galileo dan atlas (globe) besar ke tempatmu. Orang-orang seluruh kampung mengerebuti ketika bola dunia itu merapat dengan kapal besar di pelabuhan.
Ada juga meriam polong yang kau selipkan, meski sudah melengkung tapi tetap membuatku merinding saat mengunjunginya. Meriam itu diciptakan anakmu si jenius Pattingaloang. Dia memotongnya untuk membuat jarak tempuh tembakannya semakin jauh dan punya suara yang menggelegar. Itulah kenapa jika dia meletuskannya maka para musuh akan merinding mendengar gelegarnya.
Somba Opu kau sempat terjaga dengan itu. Tapi ketika Hasanuddin tak sanggup menjagamu, pemimpin yang kau lahirkan sendiri dari rahimmu jauh setelah si jenius Pattingaloang berdiri tegak, kau pun khawatir. Belanda si kompeni itu, mendatangi rahimmu, menembaknya dari dalam dan luar, kau terkapar dengan ratusan ribu anak-anakmu. Tapi meriam itu yang sekarang berada di temat kecil, kini sendirian juga. Seperti anak-anakmu yang menjagamu tak ada yang tahu dan mengirimkan doa. Meriam itu dibakar oleh para kompeni hingga melengkung.
Kini saya mengenangmu sekali lagi dengan ingatan yang sangat terbatas. Berdiri dengan tegang. Kita sama-sama mengeluh. Kau mengeluh dan saya tak kurang khawatir. Kini kau akan dibombardir seperti kisahmu yang dramatis pertama kali.
Water boom, taman satwa, dan tempat outbound. Apakah kau terhibur dengan itu? Apakah kau senang karena akan banyak orang yang mengunjungimu? Ataukah kau merasa terusik dengan pembangunan baru itu?
Saya bertemu dengan kawan anak-anakmu yang katanya mengenalmu secara dekat. Namanya iwan Sumantri. Dia mempelajari rahimmu dengan ketekunan ilmunya. Kau memang senang, itu seperti membuka ingatan pada si jenius Pattingaloang.
Dia banyak menjelaskan pada saya pada apa yang kau senangi dan tidak kau senangi. Iwan mengatakan, seharusnya dimasa tuamu kau harus istirahat dengan tenang. Hiburanmu harus jelas dengan apa yang dicita-citakan Pattingaloang. Pendidikan dan kemapanan otak. Saya senang mendengarnya.
Dan kau mulai berbaring kembali. Semua yang kau butuhkan dijanjikan padamu. Ingatkah kau ketika kubisiki melalui rahimmu lewat tapa-tapak sendalku dalam dua pekan ini? Kini kau tak sendiri. Ketika saya beranjak pulang, saya menitipkan pesan untuk dari seorang kawanmu yang lainnya, Andi Muhammad Said. Tapi kau sudah sedikt lupa dengannya.
Dan kau memintaku untuk bercerita ulang tentangnya. Muhammad Said, adalah kepala balai Peninggalan dan Pelestarian Purbakala Makassar. Dialah yang bertanggung jawab atas keselamatanmu. Dan yah, kau bilang itu anakku, kau sungguh bersahabat mendengar namanya.
Tapi ketika satu persatu kusampaikan hasil ceritaku padamu tentang dia, kau mulai murung lagi. Muhammad said, kataku padamu waktu itu, tak banyak bercerita tentang kebesaranmu. Dia seperti takut dan hanya bilang pembangunan itu akan membuatmu terhibur.
Pada 18 Oktober 2010, beberapa orang yang tak kau kenal mendatangimu dan menginjak-nginjak rahimmu. Mereka hendak membangun sebuah tempat permainan. Biayanya sungguh besar mencapai Rp40 miliar.
Dan apa yang harus kuperbuat. Kau hanya memintaku menulis keluh kesahmu. Dan itu kulakukan, meski tak cukup baik tapi akan kusampaikan. Minggu, 19 Desember 2010 pada siang yang hujan kau mengajakku berjalan-jalan dengan santai. Kau tunjuk sebuah titik yang ada bangunan pabrik pengelohan sampah di rahimmu. Kau mengatakannya, itu dibangun beberapa tahun lalu, dan anak-anakmu yang katanya mencintaimu tak melihatnya. Saya pun hanya tertegun.
Somba Opu, seperti namamu akan kukenang kau dengan perasaan yang terdalam. Akan kusampaikan cerita itu kelak pada keturunanmu.
Selasa, Desember 21, 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar