Senin, Maret 28, 2011

Makan Siang yang Telat di Tebing 45

Satu cerita tentang alam, tentang tebing dan gua. Ini lah kali pertama merasakan bagaimana menggigilnya tidur malam di mulut gua tanpa tenda, tanpa api unggun.

Tak ada suara malam itu, cerita-cerita dari serangga yang saling bersahutan tak kudengarkan. Makan malam yang menyenangkan di mulut gua Saripah, tapi keesokan harinya makan siang yang telat dengan tumis sambal yang dahsyat di tebing 45. Bikin kepala terasa gatal dan perut berdendang riang.
SABTU 6 Oktober 2010, sekitar pukul 16.00 lalu lintas di sepanjang jalan Perintis Kemerdekaan Makassar begitu padat. Udara pengab dan matahari yang mulai redup. Di kampus Stikom Fajar Makassar di depan sekretariat Komunikasi Pencinta Alam (Kompala) beberapa orang membuat lingkaran, sejenak tertunduk, lalu mengucap doa. Saya ada di bagian itu.

Beberapa menit kemudian suara motor saling bersahutan, yang pertama mulai melaju dan yang lain mengikuti. Saya dan teman-teman melewati jalan Racing Centre menikung ke jalan Perintis Kemerdekaan kemudian tanpa henti melajukan kendaraan lurus-lurus saja hingga ke Kabupaten Maros.

Perjalanan di tempuh sekitar 45 menit. Saya berboncengan dengan Odil, seorang perempuan yang berkacamata. Satu kali mampir mengisi bensin dan sekali lagi berhenti memompa ban belakang motor.

Odil adalah wartawan harian Fajar sekaligus anggota Kompala. Dia cukup cerdas dan pendiam. Saya senang berteman dengannya.

Sesekali dia mengeluarkan suaranya bila ada kendaraan yang melambung tidak sesuai aturan lalu lintas. “Apakah,” katanya. Aksen kata itu bila di masyarakat Makassar digunakan untuk menekankan sesuatu pada hal-hal yang tak masuk akal.

Saya membawa sebuah tas ransel kecil, isinya catatan harian, satu celana pendek, celana dalam, dan satu baju kaos. Sikat gigi, sabun mandi, dan handuk terlupa di kosan.

Rencananya saya dan rombongan akan menginap di Maros hingga Minggu esok harinya.

Sampai di Maros sekitar pukul 17.00. istirahat sejenak, dan mengisi perut yang lapar. Odil makan mie rebus tambah telur plus nyoknyang. Dia begitu lahap, kesukaan dia memberi tambahan pada kuah jeruk nipis, rasanya agak kecut.

Saya dan teman lainnya menikmati jagung rebus. Rasanya enak. Kami duduk di sebuah balai-balai yang terbuat dari papan. Ada Opi salah seorang teman lainnya, bilang kalau makan jagung itu jangan sungkan-sungkan. Jangan khawatir akan dibayar, jadi gratis. Saya makan empat buah jagung. Cukup membuat perut nyaman.

KITA masuk gua setelah magrib,” kata Sophian pendamping kami juga dari Kompala. “Kita masuk gua Anjing dulu, terus kita tunggu Opal (nama panggilan Fadli Alim) baru masuk gua Saripah.”

Opal memang datang telat, dia menyusul dengan Putri. Opal tiba di Maros ketika kami meninggalkan gua Anjing dan sudah berada di mulut gua Saripah.

Gua Anjing anjing letaknya hanya di belakang rumah tempat makan jagung rebus. Untuk menggapainya sangat mudah, cukup berjalan sekitar lima menit. Tapi jalannya memang harus hati-hati karena ada banyak tai sapi bertebaran dimana-mana.

Di mulut gua Anjing ada empat ekor sapi duduk santai, ketika kami mendekat matanya menyala terkena pantulan cahaya dari senter yang digunakan Sophian.

Sebelum memasuki gua Anjing, Sophian memberi petunjuk bagaimana seharusnya memasuki gua. Menurutnya, gua adalah tempat yang sunyi dan tenang. Untuk itu, gua harus tetap pada keadaannya semula. Baik sebelum memasuki dan meninggalkannya. Jangan ada sampah, aturan gua; boleh mengambil gambar tak boleh mengambil apapun, atau yang bisa ditinggalkan hanyalah jejak telapak kaki.

Di mulut gua Anjing terdapat tumpukan kayu bekas bakar. Jaring laba-laba tergantung. Beberapa sudah terkoyak rusak.

Medan masuk gua tidak begitu sulit, hanya berjalan dan melompat sedikit. Ornamen gua tak beragam. Hanya ada beberapa stalaktit dan stalakmit. Saya tak menumukan pilar.

Memasuki gua Anjing memang cukup membosankan. Dinding gua yang kotor, tanah liat banyak yang lengket ke dinding. Saya cukup menyayangkan hal itu.

Andai saja langit gua tidak tinggi maka lapisan putih seperti beludru yang lembut juga akan kotor terkena tanah. Dari langit-langit itu muncul sedikit ornamen yang membentuk cerukan, bentuknya seperti gorden di rumah-rumah penduduk yang digantung di ruang tamu, bergelombang lembut.

Kami menyusuri gua itu hanya sekitar satu jam saja. Ketika keluar kami bertemu dengan dua penghuni asli gua. Adalah laba-laba. Yang pertama, warnanya coklat lembut dengan bintik-bintk, punya tiga pasang kaki yang kuat tercengkram di batu gua. Ada juga sepasang cabiknya yang bergerigi dilekukkan tepat di depan mulut.

Sementara tuan rumah yang kedua, punya badan lebih besar dari yang pertama. Punya warna lebih gelap dengan beberapa bagian tubuhnya berbintik putih. Tuan yang satu ini punya kaki empat pasang, menyeramkan seperti monster-monster yang ada di film-film produksi dunia barat.

Oh ya hampir lupa, saat berada dalam gua Anjing kami duduk untuk sejenak istirahat. Cahaya dari senter dan lilin dimatikan. Tak ada sedikitpun cahaya, gelap dan sunyi. Kawan-kawan yang berada saling berdekatan tak bisa saling lihat. “Beginilah mungkin ketika kita berada dalam alam kubur,” kata Sophian.

SEKITAR pukul 20.00 kami melangkah ke gua Saripah. Letaknya tak jauh dari gua Anjing hanya dipisahkan jalan beraspal yang menghubungkan Maros dengan Kabupaten Bone.

Jalan menuju mulut gua Saripah cukup menanjak. Bagi mereka yang kurang olah raga pasti akan kerepotan dan ngos-ngosan untuk mencapainya.

Matras, carel, panci, trenggia, dan peralatan lainnya dibuka. Tempe, minyak goreng, daging ayam, hingga wortel sudah siap. Saatnya meracik makan malam. Opal datang sekitar pukul 21.00.

Jadi menu makan malam hari itu cukup istimewa, daging ayam digoreng dengan garing, tumis cabai, sop wortel dicampur mie instan. Kami makan dengan lahap. Ditambah beberapa cemilan, kacang telur, kerupuk, dan beberapa jenis biskuit. Nikmat nian terasa malam itu.

Setelah makan malam usai, maka tibalah giliran meneguk kopi. Ada yang doyan dengan kopi instan, ada yang suka kopi tubruk campur susu. Semua jadi membahagiakan. Angin yang datang tak cukup kuat dan suasana jadi begitu hangat.

Tibalah sudah pukul 23.00 saya mengganti celana. Siap memasuki mulut gua Saripah. Kata teman-teman gua ini begitu luas dan besar, belum ada satupun kelompok pencinta alam yang berhasil memetakannya.

Kini kepemimpinan Sophian digantikan Opal. Masuk gua Saripah melalui pintu di bagian kanan gua. Awalnya menanjak, kemudian untuk masuk ke gua itu harus dengan gaya tiarap dengan medan yang menurun. Celana yang kukenakan tak punya pengikat, ketika mulai merayap celana itu terlepas. Cukup menggelikan sebab tanah langsung menempel di paha dan selangkangan.

Kami menelusuri gua itu selama dua jam lebih. Medan untuk gua Saripah memang cukup menantang di banding gua Anjing. Tapi kondisi di dalamnya sama parahnya. Kotor karena tanah, mungkin karena sering dijadikan tujuan wisata alam.

Telusur-telusur gua Saripah cukup buat capek, ada medan yang mengharuskan berjalan jongkok, merayap, dan berenang. Isi gua Saripah banyak kubangan air dan berlumpur.

Saya bersama delapan teman lainnya kelelahan mengkitui gerak cepat Opal. Meski badannya kurus, namun ototnya kencang, ada tulang ikut menonjol tapi gesit dan lincah. Dia begitu santai menyerusuk, tiarap, berjongkok, berenang dan melompati ceruk-ceruk gua.

Semakin dalam memasuki Saripah saya seperti memasuki lorong-lorong misteri yang menakutkan. Liku-liku lorongnya seperti dihuni monster-monster jahat, pikirku mungkin merupakan rumah piton atau anakonda atau buaya purba atau juga binatang lainnya yang belum sempat kukhayalkan.

Ornamen di Saripah kurang memikat, langit gua berwarna coklat kusam dan tak menggairahkan. Tapi Opal mengajak kami melalui jalur yang menurutnya masih jarang dilalui orang.

Jalannya curam, melaluinya harus penuh kehati-hatian. Di tempat itu ada stalaktit, stlakmit, dan pilar. Lantai gua hitam pekat bercampur warna putih yang lembut dan menyala.

Saya senang di tempat itu. Hawanya dingin dan sejuk. Semakin kedalam mengikuti jalur itu, maka akan semakin kecil dan bertemu dengan kubangan air yang dalam. “Sampai di sini saja. Jalan ke depan sudah vertikal, kita tak punya tali yang cukup dan medannya semakin berbahaya,” kata Opal.

Semakin ke dalam, itu adalah sarang kelelawar. Bau tainya sudah menyengat.”

Kami puas, sekitar 10 menit kami meninggalkan jalur itu, kemudian melalui jalur umum yang biasa dilalui para penelusur gua wisata. Tak jauh dari tempat itu, kami bertemu kubangan air yang panjang. “Semua bisa berenang kan,” ujar Opal. “Siapa yang tidak bisa.”

Sebenarnya melalui kubangan itu cukup mudah bagi yang mampu berenang. Tapi karena ada beberapa teman yang tak bisa berenang maka diputuskan untuk menggantung disela-sela dinding gua.

Yang pertama adalah Opal, disusul Gaby yang tak bisa berenang. Dia dipandu dengan serius. “Jangan panik nah. Santai saja. Kalau menggantung di air itu lebih mudah,” kata Opal.

Setelah Gaby ada Zein, disusul Bombom, lalu Aditya. Kemudian di belakangnya berurutan saya mengikutinya, lalu Opi, Odil dan Sophian. Oh ya, Opi, Odil dan Sophian ternyata tak bisa berenang. Plong, jalur air sudah dilewati.

Kami berjalan dengan cara berjongkok. Sebuah ruangan yang besar. Di bagian lainnya ada ruangan yang tak kalah curam dengan tempat awal melihat ornamen gua. Opal bilang, kalau musim hujan gemuruh air sangat keras. “Di bawah itu ada air terjun, tapi nda bisaki liat karena lamputa jelek.”

Meninggalkan tempat itu, kami berjalan dengan begitu hati-hati. Jalan-jalan yang ditapaki begitu licin karena tanah liat yang terkena air. Ada satu adegan penyeberangan yang cukup menegangkan. Luasnya tak seberapa, hanya untuk tapakan kaki, kalau sedikit salah maka taruhannya adalah nyawa karena berbatasan langsung dengan jurang batu yang curam.

Kami menggunakan sabuk untuk membantu penyebrangan teman. Satu ujungnya kuikatkan pada perutku, ujung lainnya di ikatkan pada tubuh Opi. Yang menyeberang akan memegang tali itu untuk antisipasi bila tak ada pegangan. Akhirnya selamat juga.

Hanya berjarak sekitar lima meter dari tempat penyeberangan, ada ceruk kecil yang harus dilalui. Caranya harus dengan cara merayap dan memiringkan badan. Bombom tak dapat melaluinya.

Kami sampai di tempat yang dikenal dengan nama aula, memang cukup lapang. Kata beberapa teman bisa untuk bermain futsal. Istirahat sejenak. Lalu mematikan lampu senter, gelap dan sunyi. Sesuatu yang pasti akan kurindukan di alam gua. “Gelap abadi.”

Di Saripah ini kami juga bertemu dengan penghuni aslinya. Seekor jangkrik. Dengan antena yang panjang melebihi ukuran badannya. Panjang antenanya melebihi satu jengkal orang dewasa seperti saya.

Akhirnya perjalanan sekitar dua jam itu usai, kami keluar dengan pakaian yang belepotan lumpur. Dan wajah yang kecapaian tapi dengan batin yang terpuaskan. Cuci badan dengan seadanya lalu istirahat.

Saya tidur kedinginan malam itu. Tak ada jaket dan selimut seperti di rumah. Ketika terbangun pada dini hari karena kedinginan saya memeperhatikan langit-langit mulut gua yang sangat menarik. Keteraturan alam. “Ada kah orang yang bisa membuat stalaktit yang keren menggantung dengan lelehan beberapa air yang terjatuh. Indah sekali.”

PADA Minggu 07 Oktober 2010, bangun pagi agak telat. Langit mulai memperlihatkan warnanya yang terang. Tak ada sarapan kami bergegas meninggalkan mulut Saripah.

Semua sampah di satukan dalam kantung plastik hitam, kemudian dibawah turun untuk dibuang di tempat seharusnya. Kegiatan hari ini adalah belajar manjat tebing. Tim memilih tebing 45 yang juga tak jauh dari gua Saripah hanya sekitar 200 meter.
Sampailah kami, menjelang pukul 10.00, Opal memanjat tebing dan memasang jalur pendakaian yang akan dilalui. Sophian bertugas membilai Opal.

Tebing itu cukup tinggi. Menurut Odil, penamaan tebing 45 karena mahasiswa Universitas 45 yang pertama kali menemukan jalur pendakian dan memasang hanger untuk pemanjatan. Ada juga pendapat lain yang bilang kalau tinggi tebingnya memang 45 meter.

Opal sudah turun, tali untuk pengaman pemanjatan sudah terpasang. Seorang kawan mencoba memanjat dengan tenang. Cukup sudah. Opal meninggalkan kami, dia hendak menuju bandara Sultan Hasanuddin melihat pacarnya berangkat ke Jakarta. Jaket, sepatu sudah terpasang dengan lengkap. Mengambil helm kemudian berangkat. Cacao...Kami ditinggal pergi.

Sudah pukul 12.00 perut mulai keroncongan, kacang telur sudah habis terlahap. Ikan kering baru selesai dipotong kecil. Sayur kentang belum dikupas dan tempe belum dipotong-potong.

Saya ikut membantu Odil dan Putri memasak, karena saya tak ada niat belajar manjat. Mencoba pertama kali menggantung di dinding tembok telapak tangan rasanya seperti akan pecah dan terkelupas.

Pukul 12 siang lewat, ikan kering baru selesai di goreng, nasi pun sudah matang. Sayur mulai di kupas, tempe di potong-potong kecil. Tumis sambal sudah selesai. Dan yang paling lama adalah menunggu goreng tempe. “Minta ampun lamanya.”

Sekitar pukul 14.00 semua baru tersaji dengan sempurna. Tak ada aba-aba dan instruksi makanan langsung dilahap. Sambalnya minta ampun pedas sekali, buat kepala gatal dan keringat keuar di jidat.

Setelah makan siang yang telat itu, perut rasanya seperti dikucek-kucek. Wuihh, perih sekali. Dan setelah itu kami meninggalkan tebing 45 dengan perasaan gembira. Awan pun sudah mulai tebal berwarna hitam, mendung. (Eko Rusdianto)

2 komentar: