Kamis, April 28, 2011

Kenapa We, Kenapa La

Akhir November 2010, pada sebuah siang di warung kopi Phoenam Boulevard Makassar saya bertemu dengan Husain Djunaid. Dia seorang kawan mantan anggota Dewan Sulawesi Selatan periode 2004-2009.

Dia senang bercerita seraya menyesap segelas kopi. Bicaranya lugas dan keras. Dialeg bahasanya begitu Bugis, selalu mengakhiri kata-kata bila berpamitan dengan ndi – singkatan dari adik untuk masyarakat Bugis. Saya senang cerita dengan dia. Selalu ada pemahaman baru dan banyolan.

Di siang itu, cerita kami tentang seorang kawan yang istrinya akan melahirkan, dia bingung mencari nama. Menurut hasil pemotretan kandungan oleh dokter, anaknya adalah perempuan. “Kalau mau sebenarnya pake nama Bugis itu bagus. Biasanya untuk perempuan itu didahului dengan We kalau laki-laki didahului dengan La,” katanya.

Cerita itu begitu lama bermukim dikepalaku. Hingga pada 23-24 April 2011 ada pertunjukan teater, musik dan tari I La Galigo yang dipentaskan di benteng Rotterdam Makassar. Saya meliput pertunjukan itu untuk Majalah GATRA. Dan akhirnya membaca beberapa referensi.

Saya bertemu dengan buku I La Galigo jilid satu dan dua hingga beberapa buku lainnya. Saya memperhatikan nama-nama tokoh yang ada dalam karya sastra I La Galigo, yang katanya melebihi panjang epos Mahabarata. Mencapai 6000 halaman, 300.000 baris. Sementara Mahabarata hanya 200.000 baris.

Nama-nama dan karakter dalam epos I La Galigo menggunakan ternyata hanya menggunakan dua kata depan kalau bukan La ya We. Misalnya La Patotoqe, La Galigo, La Kendi-kendi (dalam dunia Jawa dikenal sebagai Punakawan), hingga La Jiriuq dan lain-lain. Sementara ada We Nyiliq Timoq, We Tenriabeng, We Cudaiq, We Saung Riuq, We Oddang Riuq, hingga We Datu Sengngeng dan masih banyak lainnya.

Memperhatikan nama-nama itu ternyata memang ada benarnya perkataan Husain Djunaid. Semua yang menggunakan kata depan We adalah perempuan, misalnya We Nyiliq Timoq adalah istri dari Batara Guru. We Cudaiq adalah istri dari Sawerigading. Sementara We Saung Riuq adalah isri lain dari Batara Guru yang melahirkan anak perempuan bernama We Oddang Riuq.

Untuk La Kendi-kendi adalah laki-laki yang berwajah aneh dan suka melucu. La Patotoqe atau dewa yang menentukan nasib juga adalah seorang laki-laki atau pun La Jiriuq adalah sepupu laki-laki dari Batara Guru.

Lama nian saya membaca buku I La Galigo yang pada awalnya tak membuatku tertarik dan akhirnya menemukan kesenangan tersendiri, karena memperhatikan jenis kelamin tokoh-tokohnya dari nama depan.

Kemudian saya mengait-mengaitkan sendiri dengan keadaan sekarang. Beberapa kawan yang benar-benar Bugis ternyata tak satupun menggunakan nama depan demikian. Baik laki-laki atau perempuan. Sedangkan untuk nama saya sendiri tentu suatu perkecualian, karena memang saya berdarah campuran, ibu Jawa dan Ayah yang Bugis. 

Saya punya teman yang namanya Andi Oddang, Armin Hari, Anwar Jimpe, Nur Muhammad, Sartika, Sitti Rahma, Fadli Yusuf, Dian Murdani, Arisnawaty, Rusman, Ibrahim, Arifuddin, hingga Sri Amalia. Nama-nama itu setahuku adalah orang Bugis. Nama-nama itu begitu lugas bahkan tanpa embel-embel lainnya. Hingga nama belakang saja tak ada, seperti bangsa Batak yang mempertahankan nama belakangnya. Misalnya Situmorang, Sitompul, atau Harahap.

Sebagai contoh, Rusman, Ibrahim dan Arifuddin adalah saudara kandung yang berdarah Bugis baik dari ayah dan ibu mereka. Nah begitu singkat bukan? Tak ada nama belakang atau pam.  

Tapi saya coba ingat-ingat, nama-nama dengan karaktek daerah yang kuat, dan ternyata melafaskannya sangat baik dan menyenangkan. Pemain bola Boas Sallosa, Okto Maniani, Ricardo Salampessi, atau lainnya Fitri Latukonsina, hingga Ruhut Sitompul. 

Saya mulai gusar dengan nama-nama ini. Apakah ini kemunduran untuk masyarakat Bugis? Ataukah kemajuan? Dan saya kira nama-nama seperti itu adalah bukti pencapaian peradaban masyarakat. Bugis sudah memulainya dengan menemukan sendiri aksara Lontaraq-nya, hingga membuat pembedaan kelamin dari nama. Tapi sekarang tak ada satupun yang tersisa.  

Saya curiga nama-nama dengan karaktek daerah seperti itu di masyarakat Bugis sudah dianggap ketinggalan jaman atau kampungan. Banyak diantara kawan-kawanku yang memberikan nama anak-anaknya mirip artis. Ada Alfayet, ada Feby, ada Kiki.

Artinya suatu ketika, manusia jaman sekarang yang ada di Bugis bila hendak menuliskan sejarahnya dengan nama-nama seperti contohku tadi, akan begitu sukar diketahui mana laki-laki, dan yang mana perempuannya.  (Eko Rusdianto)

0 comments:

Posting Komentar