Jumat, Mei 06, 2011

Kejar Tayang I La Galigo di Kampung Sendiri

Puang Matoa Saidi berjalan tertati memasuki panggung dari sisi kanan, menggunakan pakaian kuning kemudian duduk membelakangi penonton. Cahaya panggung pun langsung berubah. Dari sisi kanan panggung beberapa orang membawa peralatan mulai dari guci, alat pertanian, kurungan ayam, hingga rangka perahu berjalan melintas. Mereka berlalu begitu saja.

Dan lamat-lamat musik mulai mengisi panggung. Suasana begitu hening. Adegan pembuka itu menjadi penanda “kepulangan” I La Galigo ke kampung halaman setelah tujuh tahun melanglang buana ke negeri orang.

Tapi I La Galigo yang pulang kampung itu adalah sebuah pertunjukan teater-tari-musik dengan sutradara Robert Wilson. Menggunakan panggung ukuran raksasa dengan lebar sekitar 18 meter, kedalaman 14 meter dan tingginya mencapai 9 meter di taman Benteng Rotterdam Makassar pada 23-24 April 2011.

Adalah Rhoda Grauer yang mengadaptasi cerita itu menjadi sebuah pertunjukan dari salinan naskah Bugis kuno (sureq Galigo) yang aslinya ditulis sekitar abad ke-17, berjumlah 6000 halaman, 300.000 baris dan terbagi dalam 12 jilid penulisan. Konon naskah ini satu setengah kali lebih panjang dari epos Mahabarata yang hanya memiliki panjang 200.000 baris.

Ketika Puang Matoa Saidi yang pada kehidupan nyatanya adalah seorang Bissu atau ahli spritual masyarakat Bugis, membalikkan badannya ke penonton. Dia duduk dengan kaki kanan ditekukkan di depan dadanya. Lalu membaca penggalan cerita I La Galigo. Di kursi depan penonton mendongak memperhatikan pementasan itu.

Pertunjukan yang dilakukan di luar ruangan digarap dengan kondisi sederhana. Panggung pertunjukan dan kursi untuk penonton hampir dibuat setara tingginya. Penonton yang duduk di deretan ketiga pun akan sulit menikmati pertunjukan karena terhalang kepala penonton lain di bagian depannya. Jadi jangan tanyakan penonton yang mendapat jatah duduk bagian belakang. Deretan penonton dalam pertunjukan itu dibagi dalam tiga deretan besar. Tengah, kiri dan kanan.

Pada pertunjukan di Sabtu 23 April, beberapa penonton begitu kesal dengan ketidakyamanan yang mereka dapatkan. Padahal untuk menikmati pertunjukan itu mereka mengeluarkan duit hingga Rp1,5 juta.

Tak hanya soal duduk untuk penonton, set panggung minimalis dan tata cahaya yang menjadi ciri khas Robert Wilson pun tak luput dari kebocoran. Latar panggung dengan kain putih besar ternyata dapat menembuskan cahaya hingga ke belakang. Gedung kantor Balai Peninggalan dan Pelestarian Purbakala (BP3) Makassar yang tepat berada di belakang panggung pertunjukan jelas terlihat ketika panggung diisi cahaya putih.

Durasi pertunjukan I La Galigo hampir 3 jam, dimulai pada pukul 19.30 dan berakhir pukul 22.15. selama pertunjukan berlangsung, tak hanya kelalaian pengelola yang menjadi titik utama tapi gangguan pementasan datangnya pun dari penonton. Ada yang mengambil gambar dengan menggunakan blits kamera, menerima telepon, hingga berdisuksi akan jalan cerita I La Galigo.

Pertunjukan I La Galigo memusatkan ceritanya pada pembentukan dunia tengah. Patotoqe atau dewa penentu takdir yang berada di dunia bagian atas mengirim anak sulungnya Batara Guru untuk mengisi kekosongan di dunia tengah (Kawaq, Alelino). Batara Guru dinikahkan dengan anak ratu dunia bawah, We Nyiliq Timoq.

Kemudian diciptakanlah gunung, hewan dan semua isi dunia tengah. Dari pasangan manusia pertama di dunia ini melahirkan anak kembar yakni Sawerigading dan We Tenriabeng. Dua anak Batara Guru itu dibesarkan secara terpisah. Dan akhirnya pada suatu ketika cinta terlarang Sawerigading pada We Tenriabeng, membuatnya mengarungi lautan untuk mencari We Cudaiq yang berhasil ditaklukkannya di belahan negeri Cina tepatnya di kerajaan Tanete.

Ketika iringan perahu Sawerigading menempuh perjalanan dengan gagah. Para awaknya meneriakkan kata Samaratanna Helallah (tetap satu dengan satu tujuan) beberapa kali. Pertunjukan mengarungi lautan menuju tempat We Cudaiq begitu memesona. Energi kebangasawanan dan keuletan bangsa Bugis di lautan begitu terlihat.

Perahu besar yang dibuat dari pohon Walenrenge yang dilakonkan beberapa orang dengan cara duduk berbanjar, dan kaki saling menimpa pingguul orang didepan begitu hidup. Perahu melintas tanpa henti dari sisi kiri kanan hingga lenyap ke sisi kiri panggung. Kelak dari pernikahan itu lahirlah I La Galigo.

Tapi ketika, lantunan kalimat semangat yang dikumandangkan dalam lakon kapal perahu itu, beberapa penonton ikut bersorak dengan suara yang keras mengatakan 'iihhh haaa'. “Ouwww,” kata Hamka Hidayat seorang penonton lainnya menyesalkan suara itu.

Menikmati pertunjukan I La Galigo dengan konsep luar ruangan ternyata begitu sulit. Kendala dan gangguannya sangat banyak. Komposer musik I La Galigo, Rahayu Supanggah mengakui hal tersebut. Untuk mengisi musik dengan irama yang lembut membutuhkan kecanggihan teknologi yang baik agar terdengar nyaman ke telinga penonton. “Sound sistem harus benar-benar baik,” katanya.

Musik dalam pertunjukan I La Galigo merupakan bagian penting, gerakan dan tata cahaya bahkan terkesan bergantung pada musik. “Nonstop. Musik itu ada selama pertunjukan,” ujarnya.

Sebelum pertunjukan, Supanggah sangat menghawatirkan suara akan memantul, atau suara lain dari luar tembok benteng Rotterdam. Dan ternyata hal itu terjadi. Suara sirine dari mobil ambulance terdengar jelas saat pertunjukan berlangsung. Belum lagi suara musik keras dari kafe Kampung Popsa yang berada tepat di depan benteng Rotterdam.

Bahkan pada pertunjukan terakhir di Minggu 24 April, iringan kendaraan pawai dengan suara yang keras dan sirine kendaraan sangat jelas. Hari itu memang bertepatan dengan pertandingan tim Persatuan Sepakbola Makassar (PSM) dan para suporter melakukan pawai kemenangan.

Robert Wilson sebelum pertunjukan mengatakan konsep pertunjukan luar ruangan itu sudah diteliti dengan seksama. Menurutnya semua akan berjalan dengan baik. Dia memberikan janji itu begitu tegas dihadapan beberapa wartawan.

Sementara Abdul Murad yang akrab disapa Simon aktor yang memerankan Patotoqe dan raja Cina mengatakan pertunjukan luar ruangan yang dilakukan di Makassar seperti sebauh proyek yang kejar tayang. Menurutnya, selama seminggu latihan Wilson hanya menggarapnya dua kali. “Makanya ada latihan yang dilakukan hingga dini hari,” katanya.

Seyogyanya dalam beberapa pementasan Paototoqe yang diperankan Simon harus turun dari atas panggung sebagai pertanda penghuni dunia atas, dengan cara digantung. Tapi karena keterbatasan peralatan, maka patotoqe dimunculkan dari sisi kanan panggung dengan cara didorong. “Yah, itu sangat berbahaya. Kondisi panggung yang tidak rata, bahkan bila pemain lain melakukan adegan itu bisa bergoyang,” ujarnya.

Kalau lihat tadi pementasan itu, saya sebenarnya takut-takut juga. Itu sangat berbahaya. Di atas papan beroda itu goyangnya sangat keras,” lanjutnya.

Pada adegan lain ketika dia menjadi raja Cina dengan pakaian biru yang besar hingga kainnya menyentuh lantai, Simon harus rela melangkahkan kakinya. “Itu seharusnya hanya menyeret kaki, tapi pertemuan papan untuk lantai panggung itu sangat bahaya, jadinya tidak bisa,” katanya.

Puang Matoa Saidi yang seharusnya menjadi sentral pertunjukan seperti pembaca prolog yang tak terpisah dari panggung. Dia seperti tak memiliki fungsi yang kuat. Suaranya yang mengalun cengkok Bugis yang kental terdengar tak memiliki jiwa, karena sesekali kresek dari microphone yang dikenakannya.

Puang Matoa Saidi di tempatkan di panggung paling depan pada sisi kanan. Dia hanya disorot lampu. Kadang-kadang perannya terlupakan karena hampir tak terlihat dari kursi penonton. “Oh iya. Ada pade Puang Saidi di ujung sana di (Oh iya. Ternyata Puang Saidi ada di bagian sana ya )',” kata Hamka Hidayat sedikit heran ketika mendengar suara Puang Matoa Saidi dalam perjalanan adegan I La Galigo. (Eko Rusdianto)

0 comments:

Posting Komentar