Kamis, Februari 02, 2012

Saatnya Belajar dalam Gelap


Justo, adalah seorang laki-laki. Dia bekerja di kapal asing sebagai seorang pelayan. Mengelilingi banyak Negara dan punya banyak cerita. Dua tahun lalu ketika bersama teman-temannya berpesta minuman keras hingga dua hari. Lalu kemudian terbangun disuatu siang, penglihatannya gelap. Seperti mati lampu.
Justo menabrak kawanya yang sedang salat duhur. Mencari sakral lampu dan masuk kamar tidur yang disangkanya toilet.


Beberapa hari kemudian, dia keluar dari perawatan rumah sakit. Diboyong keluarganya ke Makassar. Dan kembalilah dia ke kampung. Diagnosa dokter kala itu, urat matanya terputus. Seorang kerabatnya menjelaskan pada saya, dengan menganalogikan sebuah balon yang diisi air, lalu di pukul dan airnya tertumpuh. Begitu kira-kira sistem pembuluh darah menuju mata Justo yang terjadi. 


Di kampung, Justo berobat melawan kegelapannya itu melalui dukun-dukun. Mencoba pengobatan lainnya, dari mulai meminum air yang sudah dijampi-jampi, hingga proses urut. Dia belum berhasil.

Di kampung itu, Justo adalah pria yang tampan. Tingginya mencapai 170 sentimeter lebih, punya kulit putih. Rambutnya selalu gondrong sebahu. Murah hati pada temannya, tidak pelit. Dia adalah buah bibir, yang selalu diperbandingkan dengan orang pelit. “Cobalah seperti Justo. Dia itu baik sekali,” kata orang-orang.


Di ruang keluarga rumahnya, saya mengunjungi. Selama berhari-hari dia menghabiskan waktu luangnya di depan televisi, berbaring, dan mendengarkan siaran. Ritual lainnya, setiap pagi antara pukul 08.00 hingga 10.00 duduk di teras rumah. Kemudian sore hari antara pukul 16.00 hingga 17.30 juga duduk di teras.


Dengan kegelapannya itu, dan tak kemana-mana. Badanya sudah sedikit menggemuk. Pipinya mulai tembem. Kulitnya semakin bersih. Hampir-hampir tak terkena sinar matahari. Ketika saya datang dan mengucapkan nama, dia mengulurkan tangan. Saya menjabat tangannya. Ini lah kali sekian saya mengunjunginya. Ada perasaan aneh dan sangat memukul. Memperhatikannya dengan begitu serius, tawanya yang tidak berubah, dan candaannya yang masih seperti dua tahun lalu.


Saya tahu dia tersiksa dengan itu. Tadi malam saya mencoba menutup mata saya. Mencoba menebak-nebak perasaanya dalam kegelapan. Di kamar saya, yang ukurannya 3x4 meter, mencoba buta itu sangat sulit. Saya menghisap rokok dan mereka-reka keadaan kamar. Tak ada warna, tak ada bentuk.


Justo juga masih merokok, kebiasaan yang tak ditinggalkannya. Saya mengulurkan rokok padanya, membuka bungkusannya dan dia membakarnya sendiri. Untuk memastikan rokok itu sudah tersulut api, dia merabanya dengan jari hingga keujung. Kalau sudah panas berarti sudah baik.


Kalau pada malam itu, saya menutup mata sembari menghisap rokok, rasanya malah aneh. Kenikmatan dari kepulan asap tak terlihat. Dan tak pernah tahu sudah seberapa jauh api itu membakar batang rokok.


Kami bercerita cukup lama. Tentang masa-masa ketika dia masih bisa membedakan warna dan melihat orang-orang. Ada tentang pacar, tentang kebiasaan, dan tentang makanan. Justo tertawa begitu lepas, saya malah sering menahan tawa.


Saya bertanya padanya, apakah dia masih suka makan Pacco’ (jenis makanan di kampung kami, bahannya dari ikan mentah, seperti sushi-nya orang jepang). Dia mengiyakan. Tapi selama dia mengalami kebutaan, dia sudah tak begitu memedulikan jenis makanan. Yang penting enak untuk lidahnya, nyaman untuk disantap. Mau bentuknya jelek, mau bahannya dari mana, dia tak memikirkannya lagi.


SUDAH dua tahun, Justo di rumah. Menanti kawan-kawannya datang. Bercerita dan berbagi pengalaman. Ketika saya meninggalakanya, lalu kemudian kami berjabat tangan, wajahnya memandang ke tembok dan bilang saya untuk hati-hati.


Dua tahun lalu, Justo adalah tulang punggung keluarga. Dia menjadi ABK di perusahaan-perusahaan kapal asing, dengan kontrak hingga setahun lebih. Pulang ke kampung, 2 hingga 3 bulan lalu berlayar lagi. Kebersamaannya dengan keluarga sangat sedikit.


Dan sekarang, mungkin saja sepanjang hidupnya akan bersama keluarganya. Ibunya dan bapaknya yang begitu sayang menemaninya. Dan ketika tiba-tiba asap rokok masuk ke matanya, dia menggosoknya dengan pelan. “Mata saya masih bisa rasakan apa-apa. Mudah—mudahan masih bisa sembuh,” katanya.


Di televisi, Didi Kempot pelantun tembang dangdut berbahasa Jawa sedang berlenggok-lenggok. Justo juga mendengarnya dengan saksama. Tak tahu apa yang terjadi dan bagaimana gayanya. Setahu saya, Justo adalah penikmat lagu tembang kenangan dan musik disko.


Disko, jalan-jalan, dan main domino adalah hobi Justo. Kesukaan yang membuatnya bisa begadang hingga dini hari. “Masih ramai kah anak-anak main domino di bawah pohon nangka,” katanya pada saya. Di kampung, anak muda menghabiskan malamnya di atas balai bambu tepat dibawah pohon nangka untuk main domino dan meneguk kopi.


Di tempat itu, akan banyak cerita berseliweran dari mulai masalah pertanian, hingga masalah sosial. Romatisme-romantisme itu, selalu lekat di kepala Justo dan tak pernah bosan kami bercerita disetiap pertemuan.  (eko rusdianto)

0 comments:

Posting Komentar