Stiker diskon untuk TNI dan POLRI |
Saya tiba di Baron, Kabupaten
Nganjuk, Surabaya pada 25 Februari 2012. Sehari kemudian saya menyempatkan
jalan-jalan ke Malang bersama dua adik saya. Tiga hari kemudian, kembali ke
Baron menghadiri pesta pernikahan adik sepupu.
Perjalanan menuju Malang dari Baron
membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Menggunakan dua bus dan satu angkutan
mikrolet. Rutenya Baron ke Jombang, menggunakan bus besar Sumber Kencono,
berpendingin udara, tarifnya Rp9,000, jarak tempuhnya sekitar 45 menit. Dari
Jombang ke terminal Malang menggunakan bus kecil tanpa pendingin udara namanya
Puspa Indah, tarifnya Rp16,000, sekitar 3 jam. Dari terminal lalu dengan
angkutan umum warna kuning dengan tulisan depan ADL, tarifnya Rp2,500 setiap
orang, dengan jarak tempuh sekitar 30 menit.
Dua bus yang kami tumpangi melaju
dengan kecepatan tinggi. Meliuk seolah tak membawa penumpang. Saya beberapa
kali harus terjaga dari tidur ketika badan bus melewati garis pembatas median
jalan. Adik saya, Eva, bahkan tak mampu memejamkan matanya. Ini pengalaman
pertamanya jalan-jalan menggunakan bus di pulau Jawa.
Laju bus yang begitu cepat membuat
Eva sangat ketakutan. Beberapa kali dia meminta berhenti, tapi saya tak
menghiraukan. Ketika bus mengerem mendadak, tangannya menegang sandaran kursi
orang didepannya.
Setelah istirahat, Eva mengatakan
pada saya, kalau korban kecelakaan bus di pulau Jawa yang sering ditontonnya di
televisi dan merenggut banyak nyawa, bisa menjadi wajar. Dikatakannya, kalau
kecepatan bus seperti itu, jelas bisa membunuh semua penumpang.
Dia membandingkannya dengan bus-bus
penumpang di Sulawesi Selatan. Lajunya tak terlalu cepat, dia bahkan bisa
menikmati perjalanannya dengan tidur nyenyak. Bus seperti bom waktu bagi
orang-orang di pulau Jawa.
Sementara menurut sepupu saya, yang
orang Surabaya, laju bus memang demikian. Itu sudah biasa. Harus cepat karena
orang memburu waktu. Kalau tidak demikian penumpang bisa mengamuk. Tak hanya
itu, sopir-sopir bus juga memerlukan waktu yang tepat untuk sampai tujuan,
kemudian memutar haluan kembali mencari penumpang, untuk mengejar setoran.
Bus Sumber Kencono, adalah bus
besar. Lantainya bersih. Ada dua orang kondektur, satu di pintu bagian belakang
dan satu dibagian depan. Seorang kondektur bertugas menagih uang pembayaran
dari penumpang. Menggunakan kertas karcis.
Saya mengamati beberapa bagian
kendaraan itu. Ada stiker himbauan dilarang merokok dan himbauan untuk selalu
menjaga barang. Tapi ada satu stiker yang menarik perhatian saya. pengumumannya
lucu, tentang penyampaian bila anggota TNI/Polri yang berseragam akan
mendapatkan diskon 50% dalam setiap pembayaran.
Inilah stiker pertama dengan nada
seperti itu yang kulihat. Di Sulawesi Selatan tak ada hal demikian. Saya
kemudian menerka-nerka penghasilan anggota TNI dan Polri itu. Di Sulawesi
Selatan saya punya beberapa teman yang berprofesi demikian. Dia seangkatanku
ketika duduk di bangku SMU.
Mereka sangat ramah, dan hampir
setiap bertemu dia mentraktir kami makan. Kini mereka juga sudah memiliki rumah.
Saya mengira penghasilan sebagai anggota TNI dan Polri itu tidak kecil.
Di Surabaya, ada keluarga dan
beberapa kenalan saya bekerja di perusahaan-perusahaan, seperti pabrik
pembuatan makanan, hingga peralatan rumah tangga. Mereka bekerja dengan sistem outsourcing. Para pekerja
diambil dari sebuah biro khusus yang menampung tenaga kerja. Sistem inilah yang
banyak ditentang oleh kaum buruh.
Penghasilan mereka setiap
bulan antara Rp500 ribu hingga Rp1,2 juta. Seseorang yang kukenal bekerja
sebagai pencari kerja di perusahaan outsourcing.
Dia menghela nafas saat menceritakan pembagian hasil yang dilakukan bironya,
yang memperkerjakan sekitar 6000 karyawan. Uang makan makan setiap orang dari
Rp53 ribu setiap hari dipotong menjadi menjadi Rp30ribu. Uang transport yang
seharusnya karyawan dapatkan tak diberikan. Penghasilan mereka bahkan dipotong
beberapa persen.
Sistem ini menurutnya seperti
perbudakan. “Dalam waktu dekat saya mau mengundurkan diri” katanya.
Pada 1 Maret 2012, saya menumpangi
kembali bus Sumber Kencono. Pesawat yang akan membawa saya ke Makassar pukul
06.30. Saya meninggalkan Baron, sekitar pukul 01.30. Perjalanan ke terminal
Surabaya ditempuh sekitar 2,5 jam. Penumpangnya hampir penuh.
Yang duduk didekat saya adalah
seorang laki-laki bekerja sebagai karyawan outsourcing.
Masuk kerja pukul 07.00, terlambat sedikit akan mendapat teguran, bahkan surat
peringatan. Dia turun sebelum memasuki pintu terminal. “Harus tepat waktu
mas,” katanya.
Lelaki itu bekerja sebagai buruh
harian. Upahnya setiap bulan sekitar Rp950 ribu. Upah itu dikeluarkan Rp100
ribu untuk kontrakan rumah setiap bulan, sisanya buat makan dan uang sekolah
empat orang anaknya di Nganjuk. “Tak ada diskon untuk uang bus,” kata
saya. “Mana ada mas. Orang kecil seperti saya ini nda mungkin dapat
diskon-diskonan,” jawabnya.
Ketika saya turun di terminal saya
menanyakan hal itu pada kondektur. Kenapa ada stiker khusus diskon untuk TNI
dan Polri. Kenapa tidak ada untuk karyawan outsourcing.
Kondektur menjawab dengan enteng, sudah demikian. Bahkan dengan pengumuman
seperti itu, masih ada juga beberapa orang TNI dan Polri yang tak membayar.
0 comments:
Posting Komentar