Jumat, Maret 09, 2012

Ini Cerita Kami

Foto ini diambil di depan kamar tamu rumah kami, di desa Kombong Kecamatan Suli, Luwu. Dari kiri: Saya, Iwan, Mama, dan Tina.
Saya hanya bisa mengingat masa kecilku ketika bersekolah di taman kanak-kanak. Itu pun masih samar-samar. Dan sebelum bersekolah kenangan itu tak ada sama sekali. 

Waktu, sekolah di taman kanak-kanak, saya selalu berangkat dengan seorang sepupu. Namanya Andi Jauhan. Sekarang sudah bekerja sebagai pelaut dan mengelilingi beberapa negara. Saya kelas nol besar, dia di nol kecil.  

Untuk menjangkau sekolah, saya berjalan kaki sekitar 1 kil0meter. Memutar ke jalan utama Kecamatan Suli, melewati pasar tradisional, dan sebuah jembatan. Saya paling ingat, kalau berjalan dengan Andi selalu mengepakkan kaki hingga telapak menyentuh pantat. Kami selalu tertawa saat melakukannya. 

Setiap pagi saya berangkat sekolah, kadang diantar oleh keluarga dengan kendaraan roda dua, atau menyewa becak, tapi kebanyakan berjalan. Sebelum berangkat pagi-pagi Mama sudah menyiapkan kebutuhanku, dari mulai alat tulis, hingga bekal makanan. Saya punya tempat makanan sendiri. Selalu menggantungnya di dada. Isinya kadang nasi goreng, roti, atau kerupuk. Ada juga tempat air minumnya.

Teman-teman di sekolah ada banyak orang. Sekolah kami tepat bersisihan dengan kantor Koramil Suli. Selalu banyak bapak tentara, saya takut sekali dengan mereka.

Rumah orang tua saya adalah rumah panggung. Dindingnya tidak begitu rapat. Sekat-sekat kamar dipisahkan dinding tripleks. Sebagian lantainya dilapisi karpet plastik, sebagian tidak. Di rumah itu ada dua kamar.

Satu kamar diperuntukkan bagi keluarga yang datang menginap. Satu kamar lainnya untuk orang tua saya. Ada juga sebuah ranjang di ruang tamu dan sebuah lagi di bagian dapur. 

Ranjang bagian dapur adalah tempat favorit Nenek, saya selalu tidur dengannya.
Sumur untuk mandi ada dibagian belakang rumah. Sementara toilet tak ada. Jadi ketika hendak buang air besar, mau pagi atau tengah malam harus ke sungai.

Ranjang dapur berhadapan dengan meja makan. Di sisi lainnya ada dapur masak, menggunakan kayu bakar. Jika tidur di sore hari dan Mama memasak maka asapnya akan sangat mengganggu.  

SAAT bersekolah di taman kanak-kanak, meski telah membawa makanan saya juga selalu dibekali uang jajan. Biasanya Mama memberikan Rp25,-, dan kalau Nenek lagi baik hati bisa ditambahkan Rp50,-.  

Sekolah selalu membuat saya bahagia. Selalu punya cerita banyak. Ada mainan kayu, ada perosotan, ada juga ayunan. Waktu sekolah di Taman Kanak-kanak, saya sudah memiliki dua orang adik. Namanya Iwan, lengkapnya Erwan Suseno dan Tina, nama lengkapnya Etri Rustina.

Kalau pulang sekolah dan sudah berganti pakaian, lalu makan, saya suka main di dengan teman-teman. Biasanya ke sungai, mandi dan berenang. Tapi saya paling benci kalau Mama meminta saya mengajak adik.

Iwan selalu minta diajak main. Tapi dia nakal sekali. Selalu mengikuti. Kalau mau berenang, atau main sembunyi-sembunyi dia selalu mau ikut bergabung. Padahal dia belum bisa apa-apa. Kalau saya marah, dia menangis. Kalau sudah demikian, dia akan pulang melapor ke Mama. Saya tentu akan kena marah.

Iwan waktu itu adalah punya badan kurus. Beda dengan saya. Menurut cerita keluarga, badan saya waktu kecil itu gendut. Mata Iwan juga besar, kalau marah minta ampun meredamnya. Tapi dia selalu rapi, mau pakai pakaian apapun, bajunya akan selalu dimasukkan ke dalam celanan.

Sementara Tina adalah perempuan. Saya juga tidak senang ketika hendak main, tiba-tiba dia menangis, lalu Mama meminta saya mengayunnya. Biasanya dengan keadaan begitu, Mama lagi melakukan sesuatu, memasak atau menucuci.

Kalau tidak salah ingat, disuatu siang Tina lahir. Waktu itu saya sedang tidur siang di ranjang kamar depan. Dan tiba-tiba mendengar suara anak kecil. Ketika melahirkan, Mama saya dibantu seorang dukun. Namanya Nenek Rippung. Dukun ini juga lah yang membantu proses kelahiran saya dan Iwan.

KINI kami mulai tumbuh dewasa. Adik saya bertambah. Bukan hanya Iwan dan Tina, tapi ada juga Eva Astuti, Mahdian Auliana dan Asti Adelia.

Ketika pada 2007 akhir, saya menyelesaikan kuliah, dan bekerja sebagai jurnalis cetak. Ini membuat orang tua bangga. Tulisan pertama saya dibaca mereka. Mama dan Bapak menelpon saya, mereka memberi semangat. “Kau sudah seperti pengarang hebat sekarang,” katanya.

Dan saya senang dengan pekerjaan itu. Bertemu banyak orang dan menuliskan kisahnya. Dan untuk juga ingin menulis kisah keluarga saya. Ingin sekali menjadikannya sebuah catatan sejarah keluarga.

Mama saya, namanya Tumini seorang dari Baron, Jawa Timur. Sementara Bapak orang Suli, Luwu. Menulis pertemuan mereka saja, sampai kami lahir adalah hal luar biasa, dan perjalanan yang panjang. Tentu ada banyak kisah.

Lalu pada 2008, Iwan juga sudah menyelasaikan pendidikannya. Dia tak ingin kuliah, memilih Balai Taihan Kerja Indonesia  (BLKI) Makassar, kemudian mengikuti jejak Bapak, bekerja sebagai pelaut di kapal-kapal besar luar negeri. Pekerjaan utamanya juga sama dengan Bapak, tukang las. Kami sekeluarga senang mendengar ceritanya jika pulang kampung. Masa kerjanya 9 hingga 15 bulan. Isitrahat di darat selama 3-5 bulan. Kemudian berlayar lagi.

Kemudian beberapa tahun kemudian, Tina juga menyelesaikan kuliahnya. Saat ini menjadi tenaga medis di Puskesmas Wasuponda, Luwu Timur. Kemudian Eva masih kuliah di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Medi masih menempuh pendidikannya di Sekolah Menengah Umum (SMU)  Belopa, dan Asti masih kelas lima Sekolah Dasar di Suli.

Iwan lebih cepat bekerja dibanding saya. Dia lah yang membantu keuangan keluarga, membiayai sekolah aik-adiknya, termasuk saya yang masih kuliah pada masa itu. Tapi perlahan-lahan saya, Iwan, dan Tina pun bekerja. Kini saya senang melihat keadaan itu. Saling membantu dan mengingatkan.

Dan cerita kami akan terus melaju, terus tumbuh, sampai kami saling terpisah. Dan sampai saya bertahan menulisnya.   

0 comments:

Posting Komentar