Senin, Mei 18, 2015

Imigran Rohingya


Kabir Ahmad memperlihatkan foto anak-anaknya.Eko Rusdianto
Apa yang dilakukan seorang ayah yang terpisah dengan anak dan istrinya di tempat pengungsian?

SENIN 27 April 2015, di sebuah wisma penampungan imigran di ujung jalan Mallombasang, Makassar, seorang warga dari Thailand duduk mengawasi anak perempuannya yang bermain. Memanjat terali pagar dan sesekali menengadahkan tangannya untuk menadah tetesan air hujan dari atap seng.

Kemudian hujan turun menderas dan membuat suara yang ribut. Anak perempuan itu menutup dua telinganya dengan tangan, lalu ayahnya mendekati, bercakap-cakap dengan bahasa Thailand. Lantas sebelum mereka meninggalkan saya, si ayah—bernama Muhammad—berkata dalam Melayu yang masih terbata-bata, “Tunggu saja. Sepertinya dia ada pergi sembahyang ke masjid. Kalau hujan reda, pasti pulang.”

Jelang pukul 5 sore ketika hujan mereda, seorang pria berbadan tegap berkulit coklat gelap berjalan menuju teras halaman wisma. Ia adalah Kabir Ahmad, imigran yang telah saya tunggu itu.

Orangnya ramah. Saat kami berjabat tangan, ia menggenggam kuat dan mengusap lengan saya. “Mari … Mari … Apa yang saya bisa bantu?” Ia mengajak saya menuju kamarnya.

Di dalam kamarnya: satu kursi plastik, satu meja, kasur ukuran satu orang, pendingin udara, lemari pakaian, televisi 14 inci, kamar mandi, tali gantungan yang menempel tembok, sebuah galon air tanpa disepenser, dan meja kayu yang di atasnya berjejer beberapa panci dan karung beras.

Kabir Ahmad duduk di kasur. Kami saling berhadapan. Lutut kami sesekali saling bersentuhan. Kemudian ia memperlihatkan sebuah album foto ukuran 3R. Empat bocah berdiri di depan sebuah kios di Thailand.

Itu foto anak-anaknya. Ia menunjuk satu demi satu. Anak pertamanya, berdiri di sisi belakang, adalah si sulung, laki-laki kelahiran 2003; anak kedua dan ketiganya yang mengapit si sulung adalah anak kembarnya, laki-laki dan perempuan, lahir tahun 2007. Dan anak keempatnya adalah perempuan kelahiran 2010.

Terakhir kali Ahmad melihat anak-anaknya lima tahun lalu. “Sudah rindu sekali. Kalau malam susah tidur. Tak bisa tidur. Tak bisa tidur. Baring saja, duduk, merokok. Nanti jam 2 dinihari baru bisa tidur.”

“Orang tak tahu rasanya itu. Kalau menelepon, pasti menangis. Anak sudah panggil saya pulang, tapi kita tidak tahu nasib,” ia berkata.

Saat ini, istri Ahmad dan keempat anaknya di satu wilayah di Thailand. Ada ribuan kilometer jarak yang merentangkan mereka dan sambungan telepon internasional yang memakan banyak biaya.

“Satu atau dua bulan sekali menelepon. Yang penting dengar suara anak dan istri. Tidak bisa menelepon sering-sering, tak ada uang.”

KABIR AHMAD lahir 1 Januari 1971 di Burma. Dokumen penanda dari badan PBB untuk urusan pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees/ UNHCR) tak mencantumkan kampung kelahirannya. Namun, ia adalah etnis Rohingya, dan kemungkinan sekali lahir di negara bagian utara Rakhine/ Arakan, tempat tinggal mayoritas Muslim Rohingya di Burma.

Etnis Rohingya adalah salah satu minoritas paling menderita di dunia karena persekusi dan diskriminasi oleh pemerintahan Burma, negara mayoritas pemeluk Buddha. Sejak 1982 mereka dicabut hak kewarganegaraannya, dan pada Sensus Penduduk tahun 2014, pemerintah Myanmar mengabaikan lebih dari 1 juta orang (termasuk 800.000 etnis Rohingya) untuk mendapatkan status warganegara. Propaganda pemerintah junta militer Burma lewat pembersihan etnis telah mengusir ratusan ribu Muslim Rohingya.

Selama kekerasan mutakhir pada 2012 misalnya, sekira 280 orang Rohingya terbunuh dan mendorong sedikitnya 140.000 orang mengungsi di kamp-kamp penuh sesak di pinggiran Sittwe, ibukota negara bagian Rakhine, yang dijaga ketat pasukan bersenjata. Sekira 70 persen dari para pengungsi internal ini sulit mendapatkan akses secara layak atas makanan, air, sanitasi, dan layanan kesehatan. Aparat-aparat negara Burma mengambil keuntungan dari situasi tersebut dengan memperdagangkan orang Rohingya yang berusaha kabur lewat laut, yang keuntungannya bisa sampai 7.000 dolar AS untuk setiap muatan.

Mereka inilah, disebut pula ‘manusia perahu’, mencari negara-negara suaka, sebagian darinya menuju Australia yang terdampar di kawasan pantai Indonesia, menciptakan krisis kemanusian di kawasan Asia Tenggara.

Kabir Ahmad, yang saya temui di rumah pengungsi, mengisahkan bahwa ia meninggalkan kampung kelahirannya pada 1989 sewaktu berusia 18 tahun. Ia bosan dengan pertikaian etnis dan agama di Arakan.

“Saya juga ikut perang. Tembak-tembak,” katanya, sembari memperlihatkan bekas luka di kepalanya.
Akhirnya bersama rombongan lain, ia menyeberang dan mencoba peruntungan ke India, yang tak seberapa lama, lalu membuatnya pindah ke Thailand, dan kemudian Malaysia.

Di Malaysia, ia bertahan menurut ingatannya sekitar 15 tahun, dan belajar bahasa Melayu. Selama di sana, ia bekerja di beberapa tempat termasuk di restauran. Ia bilang, penghasilannya “cukup bagus” dan dari sana merencanakan pernikahan. Dengan bantuan satu lembaga, seorang perempuan Burma yang dikenalnya sejak jadi imigran di Thailand didatangkan. “Istri saya cantik dan sabar,” katanya.

Keempat anaknya lahir di Malaysia. Namun ironis, ketika anak pertamanya berumur 7 tahun hendak sekolah pada 2010, otoritas Malaysia tak mengizinkan. Dokumen suaka bagi istrinya pun ditolak dan dikembalikan ke Thailand.

Pada tahun itu, akhirnya, Ahmad bersama delapan rekannya menyewa mobil dan melarikan diri menuju Bandar Lampung, Sumatra. Tujuan utama mereka negara Australia. Tapi mereka keburu ditangkap. Berturut-turut, mereka dipindahkan ke Pekanbaru, Medan, Sukabumi, Tanjungpinang (Kepulauan Riau), lalu Makassar.

“Tak tahulah. Dibawa kemana lagi,” kata Ahmad, yang bertemu Muhammad, imigran dari Thailand, saat di Makassar.

Namun, ia berharap UNHCR bisa memberikannya kesempatan bertemu istri dan anaknya.
Kenapa para pengungsi ini, termasuk Ahmad, tak bisa langsung dikembalikan ke negara asalnya?
Muhammad Bakri, yang bekerja di kantor imigrasi Makassar, berkata kepada saya bahwa departemennya telah “beberapa kali” menyurati Kedutaan Myanmar. “Tapi, orang Rohingya tak diakui (di sana),” ujarnya.

Di Sulawesi Selatan, jumlah imigran yang tercatat per 28 April 2015 sebanyak 1.768 orang dari pelbagai negara. Sementara perkiraan jumlah imigran dari Myanmar mencapai 300-an orang.

Para pencari suaka ini tinggal di sejumlah tempat yang telah disediakan UNHCR dan kementerian hukum dan HAM. Di Makassar, ada rumah detensi di wilayah Bolangi. Tapi kapasitasnya hanya dapat menampung 89 orang, sementara saat ini jumlah pengungsi mencapai 500 orang.

Untuk itulah, rumah singgah sementara dibangun di beberapa tempat, salah satunya yang ditempati Ahmad dan puluhan imigran lain. Di tempat-tempat inilah para imigran menunggu hasil dari UNHCR yang bertugas mencarikan dunia ketiga buat mereka.

“Jika lolos dalam tahap seleksi wawancara dan beberapa persyaratan, maka imigran akan langsung ditempatkan ke negara tujuan. Kalau tidak, akan dikembalikan ke negara asal,” kata Bakri.

Di Indonesia, jumlah imigran yang terdata di 14 provinsi mencapai 12 ribu orang. Kebanyakan hendak menuju Australia dan Indonesia sekadar tempat “transit utama.” Tetapi, justru di negara transit macam Indonesia ini mereka tinggal lebih lama.

“Anda bayangkan, di Makassar sudah ada imigran yang tinggal sampai 3 tahun, dan belum mendapatkan kepastian,” kata Bakri.

SELAMA IMIGRAN ini manjalani masa transit, organisasi internasional antarpemerintah untuk migrasi (International Organization for Migration) menyediakan akomodasi dan segala macam kebutuhan. Setiap imigran mendapatkan uang bulanan sekitar Rp1.250.000, jumlah yang menurut beberapa orang dinilai cukup tinggi.

“Kalau ada satu keluarga, ayah, ibu dan anak—katakanlah tiga orang, maka satu bulan itu Rp 3.750.000,” kata Muhammad Bakri.

Tapi Bakri lupa, bagaimana dengan kondisi Kabir Ahmad yang hanya tinggal sendiri? Apakah uang bulanan itu cukup?

“Tidak. Untuk tambah-tambah, saya ikut bantu-bantu tetangga memperbaiki apapun. Jadi bisa ada beli lauk dan makan lainnya,” kata Ahmad.

Saya meminta Ahmad membuka lemari pakaian. Ada empat potong kemeja dan beberapa celana panjang. Ada sajadah digantung di samping handuk yang sudah kumal.

“Kamar bapak nyaman dan sejuk ada AC-nya,” kata saya.

“Iya, ini bantuan PBB. Tapi sempit. Karena saya selalu ingat anak. Selalu menangis,” katanya.
Pada Januari 2015, Ahmad berusia 44 tahun. Ia menghela nafas dan menatap saya dengan tajam.

“Saya sudah tanya orang PBB untuk datangkan istri dan anak saya. Supaya bisa kumpul lagi. Tapi belum ada jawaban,” katanya.

“PBB kasih bantuan itu sangat baik. Tapi tidak hidup dengan keluarga … itu menyiksa dan itu orang PBB tidak tahu rasanya. Mau kembali ke negara saya pun tidak bisa. Bakal mati.”

Saya mencoba mencari gambaran bagaimana rasanya terpisah dengan keluarga?

“Seperti kamu teriris pisau. Dokter hanya mengobati, tapi sakitnya hanya kamu yang tahu dan rasa,” kata Muhammad, imigran Thailand yang menjadi tetangga kamar Ahmad dan bersimpati akan nasib para imigran Rohingya.*

* Tulisan ini juga di publikasikan oleh Pindai: http://pindai.org/2015/05/16/imigran-rohingya/

0 comments:

Posting Komentar