Yadin Wololi (60 tahun) berjalan di lapangan golf PT Vale yang dulunya meruapakan lahan persawahan warga, @2014 Eko Rusdianto |
Yadin Wololi (60 tahun), berjalan melintasi lapangan golf PT Vale.
Menginjakkan kaki di rumput yang tercukur rapi. Dan tiba-tiba melambatkan
langkahnya. “Ini letak kampung Dongi dulunya. Dulu rumah di sini rumah berjejer membentuk huruf L besar,”
katanya.
“Di tengah
kampung, ada lapangan. Di sana juga ada gereja,” lanjutnya.
Dia lalu menyebut beberapa nama orang, mungkin kerabatnya. Menunjukkan letak
rumahnya. Tapi semua hanya dalam
bayangan. “Ini pohon jambu monyet,
saya ingat ini. Ini jambu yang di tanam di halaman rumah,” kenangnya. “Saya
kira ini juga pohon mangga yang ada sejak dulu, juga kelapa itu. Ada juga
rumpun bambu,”
“Nah tempat kita
berdiri ini dulunya sawah. Dulu tanahnya datar, tak ada itu bukit seperti ini.
Semua rata. Ini sawah kepala suku kami,”
“Kalau itu mata
air. Tak pernah kering, makanya sawah selalu dapat air melimpah,”
“Tahun 1950-an itu
saya masih menggembalakan kerbau di sekitaran sini. Kadang-kadang membawanya minum
di pinggiran danau.”
Yadin Waloli bercerita
seakan tak terputus. Derap langkahnya tak terlihat lelah, padahal kami hampir
mengelilingi lapangan golf yang luasnya sekira 8 hektar. Tatapannya kuat,
berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ketika dia memandang sekitarnya,
sebuah mobil melintas di dekat kami. Seorang petugas dengan cekatan, memutar
dan memindahkan selang penyemprot air untuk menumbuhkan dan menjaga kesuburan
rumput.
Saya
mencoba memegang air yang keluar dari keran, segar dan dingin. Sementara, di
depan lapangan golf, tepat di seberang jalan, berdampingan dengan lapangan
perkemahan, puluhan rumah warga Dongi dari suku Karunsie, Kecamatan Nuha,
Kabupaten Luwu Timur Sulawesi Selatan, harus rela mengirit penggunaan air.
Rumah-rumah warga
Dongi itu adalah rumah non permanen. Berlantai semen halus, atau rumah panggung
dengan tiang dan dinding sederhana. Tak ada penerangan jalan di sekitaran
kampung. Begitu gelap, saat malam tiba.
Sebagian besar
orang-orang Dongi menggarap kebun, atau juga menjadi buruh, tukang ojek, memulung dan beberapa bekerja
di perusahaan kontraktor PT Vale dengan upah kelas rendah. Mereka seperti tuan
rumah yang terlupakan.
Teror Sepanjang Masa
TAHUN 1952 ketika
pergolakan Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI/TII) berlangsung besar di wilayah
Kecamatan Nuha – meliputi Sorowako, Towuti, Wasuponda – dan Malili, penduduk meninggalkan kampung.
Tahun 1953 warga di kampung
Dongi yang mayoritas memeluk agama Nasrani, berpindah ke wilayah Malaulu –
sekarang Kecamatan Malili. Hingga tahun 1959 situasi tak kunjung kondusif,
warga pun berpindah ke Mangkutana hingga akhir tahun 1961.
Pergolakan refresif
pasukan DI/TII tetap semakin kuat, Mangkutana pun akhrirnya dikuasai. Tahun
1962, warga Dongi kembali mengemas barang dan menuju kampung Gontara di wilayah
Beteleme, Sulawesi Tengah.
Di Gontara, warga
Dongi bertahan dan memulai kehidupan hingga sekarang. Keahlian bertani dan
bercocok tanam mereka lakukan. Beberapa diantara warga bahkan menuai
keberhasilan. Namun apakah mereka melupakan kampung leluhur mereka? “Tidak sama
sekali,” kata Yadin.
Pada masa pengungsian,
kata Yadin, beberapa orang tua kampung termasuk ayahnya, selalu mengunjungi
kampung Dongi. Mereka melewati belukar dan tebing tinggi pegunungan Verbeek. Orang-orag
Dongi dengan begitu hati-hati memasuki kampung, memanen beberapa tanaman yang
dapat diangkut menuju tempat pengungsian. Tak sedikit dari mereka yang di
temukan oleh pasukan DI/TII dan berakhir dengan kematian.
Pergolakan DI/TII
berakhir pada tahun 1965. Kondisi kampung sekitar masih menyisakan kecaman.
Doktrin tentang agama masih kuat. Dan saat itu, Yadin sudah menamatkan Sekolah
Menengah Pertama tahun 1967 di Manado. Saat pulang liburan itulah, dia bersama empat
orang tua dari Dongi menuju kampung mereka.
Dan alangkah terperanjatnya
mereka, ketika mendapati rumah dan kampung telah menjadi arang. Yadin menggambar
dan menghitung letak-letak rumah yang telah hangus. Jumlahnya mencapai 57
unit. “Saya ingat sekali, hanya gereja
yang tidak terbakar, tapi atapnya sudah tidak ada,” katanya.
Tahun 1968, Anggaran
Dasar pembentukan PT Inco disepakati. Dan tahun 1978 dilaksanakan
penandatanganan kontrak karya dengan pemerintah Indonesia untuk wilayah konsesi
yang luasnya mencapai 118 ribu hektar, termasuk di dalamnya wilayah pemukiman
warga Dongi.
Saat pengembangan
proyek penambangan berjalan, beberapa proyek infrastruktur dan fasilitas
diadakan, rumah untuk karyawan, sekolah dan sarana pendukung lainnya seperti
tempat olahraga. Pada tahap inilah, kampung Dongi diratakan dengan alat berat
dan disulap menjadi lapangan golf.
Awal tahun 1970-an, orang-orang
Dongi mencoba mengunjungi kampung halaman. Namun mereka hanya mampu mengelus
dada, melihat sisa-sisa rumah sudah tak ada lagi.
Tak ada yang dapat
diperbuat. Tahun 1977, beberapa warga mengadu kepada pemerintah setempat,
karena melihat kampung sudah teracak-acak. Namun, jawaban dari pemerintah
Kecamatan Nuha yang saat itu masih berkantor di Wasuponda, dengan tegas memihak
perusahaan. “Lebih baik kami kehilangan masyarakat daripada
kehilangan perusahaan,” kata
kepala Kecamatan saat itu, yang ditirukan Yadin.
Komunitas Adat yang Terabaikan
RABU 15 Oktober 2014,
saat mulai petang, Husein melaksanakan tugas akhirnya di nursery kawasan taman
Wallacea dan area pembibitan PT Vale, menyiram tanaman dan mematikan keran air.
Dia bekerja di sebuah perusahaan kontraktor dengan upah kelas rendah. Upahnya
Rp2,8 juta setiap bulan dengan jam kerja lembur yang padat.
Saat melihatnya menarik
selang, ototnya mengencang, dengan keriput disekujur tubuhnya. “Untuk hidup
dengan keluarga ya seperti ini. Harus sabar dan bersyukur,” katanya.
Di tempat pembibitan
itu, Husein tak hanya merawat tanaman, tapi juga menjaga sepuluh-an rusa totol
putih, seekor anoa dataran tinggi dan seekor lagi anoa dataran rendah. Memberi
makan, menyiapkan air untuk kumbangan anoa. Tak ada seorang pun yang bekerja di
nursery PT Vale yang begitu paham tentang binatang itu, kecuali dia.
“Anoa itu liar. Tapi
begitu manja. Tapi juga kotor, air kubangannya ditempati mandi,buang kotoran
dan minum disitu juga,” kata Husein.
Dia mengajak saya
masuk kawasan taman itu melalui pintu belakang bersama Yadin. Ada pagar kawat
setinggi 2 meter mengelili taman dan menutup jalur penduduk menuju Tempat
Pembuangan Akhir Sampah Kecamatan Nuha.
TPA itu disediakan
oleh PT Vale sebagai bagian dari kepedulian dengan masyarakat. Terletak di
belakang kantor General Facilities and
Service PT Vale. Masih dalam kawasan konsesi perusahaan. Beberapa warga
Dongi mengatakan, tertutupnya akses menuju TPA membuat mereka harus berpikir
lebih keras lagi untuk menambah penghasilan. “Ada banyak warga yang menjadi
pemulung, mengumpulkan beberapa sisa air mineral kemudian dijual.”
“Jadi jika ada
pertemuan pramuka, kami mengumpulkan sisa air mineral. Kami tak malu, itu
kerjaan halal. Tapi perkemahan hanya ada beberapa kali dalam setahun, jadi tak
berharap banyak,” kata Tini Lanapu, yang juga istri dari Husein.
“Saat akses belum di
tutup (akses menuju TPA ditutup tahun petengahan tahun 2014), setiap hari saya
dan beberapa warga ke TPA. Mengambil sisa-sisa sampah yang dapat dijual
kembali,” ujar Tini.
“Saya ikut andil dalam
memagari akses ke TPA. Tapi itu perintah perusahaan dan saya lakukan. Saya
hanya jadi buruh. Kepada keluarga-keluarga lain, saya sudah minta maaf,” kata
Husein.
Sebelum meningglakan kawasan
nursery PT Vale, Yadin menjelaskan jejak taman yang kami lalui. Pohon dan
rumput yang tertata apik, jalan-jalan beton untuk tempat berlari, tempat duduk
untuk mengasoh, gundukan-gundukan tanah untuk menopang kegiatan outdoor.
Sungguh menyenangkan.
“Coba lihat, kami sudah tak ada bukti. Dulu kawasan ini
adalah tanah datar yang luas. Ini adalah lahan pertanian orang Dongi. Gundukan
ini, dulunya tak ada, ini sisa tanah kerukan dari gunung Buton yang ditambang,” katanya.
Kini, gunung Buton itu
sudah terkelupas. Saat ini, rasanya tak elok menggunakan kata gunung untuk
Buton, lebih tepatnya bukit. “Dulu gunung ini tinggi. Ada pancuran yang menjadi
tempat warga mengambil air. Dekat pancuran itu, ada tasima (kuburan leluhur). Tapi ya itu, semua sudah tak ada, sudah
dikeruk dan diratakan,” ujar Yadin.
Kampung Dongi yang ada
saat ini (disamping depan lapangan golf) dihuni pertama kali oleh Yadin Wololi
tahun 2003. Dia membuka dan membersihkan belukar. Membangun sebuah tenda kecil
bersama keluarganya. Beberapa hari kemudian, aparat kepolisian dan pengamanan
dari perusahaan mendatangi. Yadin diancam.
Pada Oktober 2003,
pada sebuah pagi saat Yadin sedang mencangkul di halaman rumah. Beberapa orang
polisi menghampiri, mengokang senjata dan menyatakannya sebagai seorang keras
kepala.
“Saya disuruh keluar dari tempat ini. Padahal ini kampung leluhur saya.
Tidak mungkin saya meninggalkannya. Apapun yang terjadi. Mati sekalipun,” kata
Yadin.
Akhirnya, polisi
membawanya menuju kantor keamanan PT Vale. Dalam ruangan yang bersuhu dingin,
Yadin diinterogasi, dibentak dan diancam. Setelah kejadian itu, beberapa orang
memasang plang larangan untuk tidak beraktivitas dalam kawasan konsesi
perusahaan.
Yadin tentu tak
menghiraukannya. Akhirnya beberapa kali dia dijemput polisi dan pemerintah
setempat. “Apakah bapak pernah di pukul?.”
“Soal seperti jangan
ditanya. Saya sudah melaluinya dan sudah tak terhitung. Sudah tak terhitung,
tapi hingga sekarang saya masih ada disini,” jawabnya.
Beberapa kali
perusahaan dan Pemerintah Daerah membuat kesepakatan untuk mengeluarkan
penduduk Dongi dari kawasan itu. Salah satunya adalah membuat relokasi tahun
2010 ke wilayah di Kecamatan Wasuponda.
Tahun 2010, perusahaan
bekerjasama dengan Pemerintah Daerah membangun 57 unit rumah sesuai jumlah
rumah yang berada di kampung Dongi (di lapangan golf). Letak perumahan baru itu
berada di sisi bukit, dari pusat kecamatan Wasuponda dibutuhkan sekitar 30
menit berkendara. Saat hujan mengguyur akan lebih lama lagi, karena jalannya
yang berbatu dan tanah.
Saat terjadi
perjanjian, beberapa warga Dongi tak menyetujuinya. Namun tetap dilaksanakan.
Dalam perjanjian awal rumah yang dibangun memiliki ukuran 6x8 meter, halaman 15
meter, dengan fasiitas air dan listrik. Namun pada kenyataan bangunan rumah
hanya 4x5 meter. Sangat kecil, dengan dinding batako yang rapuh. Bahkan tak ada
fasilitas air bersih dan listrik. “Begitukah perusahaan dan pemerintah
memanusiakan orang,” kata Kepala Suku karunsie (Mohola) Bali Pombu.
Akhir tahun 2012 kemewahan
akan listrik baru menyentuh perumahaan itu. Sebelumnya warga hanya menggunakan
penerangan seadanya. Genset yang ada hanya cukup menerangi beberapa rumah dan
dilakukan dengan swadaya. “Alhamdulilah sudah ada listrik. Tapi untuk air
bersih kami masih menggunakan air sumur. Saat kemarau seperti ini, kami membeli
air bersih di Wasuponda untuk keperluan minum dan masak,” kata ibu Elis salah
seorang warga yang menghuni perumahaan baru itu.
Akses Layanan
Umum yang Sulit
Pertengahan tahun 2014,
Tini Lanapu bergegas membawa anaknya ke rumah sakit PT Vale yang hendak
melahirkan. Petugas rumah sakit enggan memeriksanya, dia meminta kartu pengenal
sebagai masyarakat asli kawasan. Namun, ironisnya warga Dongi tak masuk dalam
daftar. Dan harus membayar sejumlah uang.
Beruntung seorang
kawannya dari Sorowako yang tergabung dalam KWAS (Kerukunan Wawoinia Asli
Sorowako) membantunya. Maka dapalah dia pengobatan gratis. “Kalau bilang dari
Dongi, kami tak pernah dilayani. Itu terjadi beberapa kali,” kata Tini.
Dari segi pendidikan,
masyarakat di kampung Dongi hanya mampu menyekolahkan anak hingga Sekolah
Menengah dengan alasan biaya pendidikan yang tinggi. Padahal sejak tahun
2000-an awal hingga tahun 2013, program beasiswa yang digagas perusahaan dan
Pemerintah Daerah telah berjalan dan sudah menelorkan beberapa alumni. Dan
ironisnya, warga Dongi hanya mendengar, tapi tak pernah merasakannya.
Saat mengunjungi
kampung Dongi (yang saat ini berada di dekat lapangan perkemahan dan berhadapan
dengan lapangan golf), rasanya seperti berada di luar wilayah kontrak karya PT
Vale. Kampung Dongi hanya berupa jalan berangkal tanah. Jumlah rumah hanya
sekitar 50 unit. Halaman rumah dijadikan kebun-kebun kecil untuk menanam sayur
dan tanaman musiman lainnya.
Secara administrasi
pemerintahan, kampung Dongi masuk dalam wilayah Kelurahan Magani, Kecamatan
Nuha, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kepala Kecamatan Nuha, Kamal
Rasyid mengatakan kondisi masyarakat Dongi sekarang ini memang menjadi
perhatian utama. “Saya tahu ada disana listrik dan air diambil dari fasilitas
perusahaan. Itu akan kami koordinasikan untuk mencari jalan terbaik,” katanya.
Beberapa tahun lalu,
kata Kamal Rasyid, telah dilaksanakan kesepakatan antara Pemerintah, Perusahaan
dan Warga Dongi. Dalam perjanjiannya disepakati jika wilayah adat yang saat ini
menjadi kampung Dongi akan dibuat menjadi cagar budaya.
Bagaimana konsep cagar budaya itu? “Inilah yang kami
belum tahu seperti apa, karena belum dilakukan. Apakah warga tetap bisa
mendiami lokasi atau tidak,” katanya.
Sejarah dan Asal Usul Orang Dongi
Orang Dongi berasal
dari suku Karunsie yang pada masa awal bermukim di wilayah Witamorini di Lembo
Mbo’o (lembah yang busuk). Penamaan Lembo Mbo’o karena masyarakat Karunsie
memiliki usaha pertanian yang sangat maju, tanaman yang melimpah yang terkadang
tak mampu di panen secara keseluruhan dan kemudian tinggal membusuk.
Sementara Karunsie berarti
tiang lumbung pangan. Sekitar tahun 1880 saat Belanda mulai masuk, penduduk
Karunsie meninggalkan tempat secara terpisah, seperti di Lawewu, Kaporesa dan
Balo-balo (masih dalam kawasan Luwu Timur). Dari Lawewu masyarakat kemudian
berpindah ke Salonsa dan Tapulemo.
Tahun 1920, kepala
distrik Nuha menyatukan kampung yang kemudian dikenal dengan sebutan kampung
baru – sekarang telah menjadi lapangan golf PT Vale. Dari kampung inilah nama
Dongi muncul.
Dongi adalah nama
pohon yang memiliki buah masam dan kecut. Digunakan masyarakat untuk memasak
ikan. Pohon Dongi atau pohon Dengen tumbuh subur di beberapa tempat di sekitar
wilayah danau Matano. Bentuk buahnya lucu, seperti jeruk manis. Tapi ketika
matang, kulitnya akan terbuka dan jatuh ke tanah.
*Laporan ini juga diterbitkan di Mongabay Indonesia: http://www.mongabay.co.id/2014/11/04/nestapa-warga-dongi-tersingkir-di-tanah-leluhur/
0 comments:
Posting Komentar