Rabu, Maret 11, 2020

Dia Yang Sudah Tiga Tahun

Anak itu tumbuh dengan cepat. Secepat waktu menghantar kami, bermula dari Makassar menuju Maros. Atau mungkin semacam kalian memberi ungkapan selamat atas kelahiran anak, lalu pertemuan selanjutnya, si anak itu sudah mampu menyapamu dengan kata Om. 

Saya kira secepat itu lah, anak-anak melaju hampir meninggalkan yang tua.
Kasur kecil. Dua orang tua. Dan anak yang sudah tiga tahun enam bulan. Waktu tidur, anak itu menghentakkan kaki. Menggerakkan tangan. Berucap sempit. Meminta salah seorang dari orang tuanya untuk turun ke lantai tidur bersama kecoa.

Anak itu, sudah mulai tak ingin disebut kecil. Dia selalu mengangkat kakinya dan menunjukkan jempolnya lalu bilang: sudah besar. Anak itu sekarang mengangkat dirinya sendiri menjadi kakak. Adiknya ada banyak; boneka monyet, babi, burung elang, hingga kucing.

Jika sudah larut malam, orang tuanya memaksa tidur. Tapi usia tiga tahun itu, otaknya sudah mulai bekerja dengan baik. Dia punya banyak alasan untuk menunda proses tidur. Minta makan. Ingin liat para adiknya, apakah di tempat aman. Mau kencing. Mau berak. Mau main.

Anak tiga tahun itu bertumbuh. Kepalanya diisi dengan tontonan film kartun super hero dan bacaan yang dibeli orang tuanya. Anak itu sudah mulai berani berjalan di sekitar rumah. Menerebas rumput yang buat betisnya gatal-gatal. Sekali waktu juga, mandi air hujan di depan rumah. Di rumah mereka di Maros, saya melihatnya tumbuh dengan rasa penasaran menakjubkan.

Saat tertentu anak itu, melihat kupu-kupu dan mengejarnya. Anak itu ingin sekali menangkapnya. Tapi orang tuanya tak membolehkan. Kupu-kupu harus terbang bebas. Lalu anak itu, menyanggahi; kalau ditangkap nanti dicari mamaknya. Dicari temannya. Atau adiknya. Kakaknya. Neneknya. Nanti mamaknya menangis.

Orang tua anak itu, sering kali ditembakkan pernyataan-pernyataan yang menggelikan, bahkan tak jarang mereka kelimpungan. Saya melihat mereka. orang tuanya, sibuk mencari literatur untuk menjawab pertanyaan si anak. Tentang, bagaimana para binatang saling mengenal dalam kawanan. Apa jadinya jika para hewan mengenal struktur keluarga seperti manusia.

Lalu tak lama kemudian, pada sebuah sore, anak itu berjalan bersama orang tuanya, ke tempat penangkaran kupu-kupu Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Mereka berhenti dan berjokok dengan diam di bawah pohon sukun. Ada beberapa individu monyet, yang bermain dan mengambil beberapa buah. Ada pula yang turun ke tebing karst, berlarian saling mengejar, hingga dedaunan kering berbunyi sangat riuh. Anak itu lalu bilang; wouww, hebat itu monyet di’. Monyet nda jatuh dan kuat. Lalu, pertanyaan lain mencuat, itu monyet kenapa kenapa suka lari dan memanjat pohon kah.

Anak tiga tahun itu, mengharuskan orang tuanya membaca dan memahami sekeliling dengan baik. Lalu, jelang meninggalkan penangkaran, anak itu mencari kupu-kupu, sudah tak ada. Dia tanya ke orang tuanya lagi, kemana kupu-kupu? Pertanyaan belum dijawab, tapi anak itu kemudian nyerocos; mungkin pi bobo. Kalau mau malam nanti mamaknya cari.

Kupu-kupu sedang bobo? Ini menjadi petaka di kepala si orang tua. Bagaimana serangga cantik itu tidur? Orang tuanya kemudian, mengirim pesan ke staf peneliti kupu-kupu di taman nasional. Tak puas, mereka juga mengirim pesan ke peneliti serangga di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Rupanya, serangga punya banyak mata. Mata komunal. Tidur serangga, tidur bukan seperti manusia, yang harus menutup mata. Serangga istirahat, hingga 12 jam. Dan hampir dikata macam mati suri.

Lalu bagaimana menjelaskan ke anaknya, tentang keadaan istirahat si serangga? Saya melihat anak dan orang tua itu, bercanda bersama. Lalu ada kupu-kupu masuk ke rumah mereka pada malam hari. Ada kupu-kupu yang tidak tidur. Anak itu protes, kenapa kupu-kupu tidak bobo padahal sudah malam.

Ahli serangga LIPI itu kemudian bilang, ada serangga yang aktif di malam hari. Termasuk kupu-kupu malam dalam artian sebenarnya. “Kalau mereka aktif siang, rata-rata sekitar 13 jam (18.00-06.00) serangga istirahat. Walaupun ada yang aktif sore hingga malam hari, sekitar magrib,” katanya.

Lalu orang tua itu menjelaskannya dengan pelan. Mereka bilang, kupu-kupu tidurnya tidak baring. Tapi diam. “Tidak pake bantal?” sanggah anak itu.

“Tidak, kan kupu-kupu rumahnya nda seperti rumah manusia. Jadi kupu-kupu bisa menggantung,”

“Tapi kupu-kupu nda dingin?,”

Orang tuanya mulai stres. Pertanyaan tak terjawab.

“Kemarin toh, saya tidak lihat kupu-kupu makan,”

“Makan juga. Kalau kupu-kupu ada di bunga, itu makan?,”

“Ih, kenapa dia makan bunga?,”

“Bukan bunga. Tapi ada di dalam bunga, seperti air gula. Manis. Namanya nektar?,”

“Ohhh,”

Anak itu mengangguk seolah-seolah mengerti. Lalu orang tua itu mengajaknya mengambil kuncup bunga di samping rumah. Lalu bunga itu di preteli, dan memperlihatkan tempat nektar yang berbentuk cairan. Anak itu, kemudian bilang; tapi kupu-kupu makan pake sendok kah? Ada juga tangannya kah?

Haaa? Saya lihat ekspresi muka orang tua itu, sambil menggaruk-garuk kepala. Ilmunya belum mampu menandingi pertanyaan si anak. Lalu waktu mandi sore tiba. Anak itu diajaklah masuk ke rumah. Sembari menyikat giginya, menggosok badan anak itu dengan sabun, orang tua itu masih mencari akal. Bagaimana kemudian menjawab segala hal dengan baik.

Buat kalian para orang tua. Selamat menikmati pergantian tahun. Selamat mengukur kemampuan diri. Mari belajar bersama. Sebab orang tua itu adalah saya. Saya yang tak tahu apa-apa di depan La Wellang Rawallangi, anak lelaki kami. Anak yang bahkan sudah mampu memberi nasehat ke Mamaknya, kalau bekerja itu tidak baik. Bahwa yang baik itu adalah bermain.
 
Selamat tahun 2020...