DIKISAHKAN, sebelum manusia diturunkan dari langit, di
Tanah Luwu terdapat sebuah kampung binatang. Di antara penduduk kampung itu,
terdapat seekor kumbang yang tampan lagi kaya.
Lahan pertaniannya luas. Sang kumbang adalah teladan
binatang yang mau bekerja keras. Tiada hari dilewatkannya tanpa mengolah lahan,
mencangkul, menanam, dan menyiram tanaman. Melihat ketampanan dan kekayaan si
Kumbang, banyak gadis yang jatuh cinta. Yang paling bersemangat adalah si Udang
dan Bekicot. Udang dan Bekicot adalah remaja putri paling jelita di kampung
binatang masa itu.
Suatu hari, si Udang dan si Bekicot terlibat
pertengkaran. Mereka saling cemburu. Untunglah si Kumbang melihatnya. Maka dia
pun melerai mereka dan memberikan syarat bagi siapa pun yang mau menjadi calon
istrinya.
“Besok pagi-pagi buta aku akan bekerja di kebun.
Banyak pekerjaan yang akan kulakukan. Aku pasti akan kelelahan. Siapa di antara
kalian yang paling tepat waktu membawa sarapan untukku, akan kujadikan istri,”
kata si Kumbang.
“Makanan apakah yang harus disajikan,” tanya si Udang.
“Itu tidak penting, yang penting enak
dan tepat waktu.” Maka bergegaslah si Udang dan si Bekicot ke rumah
masing-masing untuk menyiapkan diri.
Sementara si Kumbang, di rumahnya, sibuk
menimbang-nimbang siapakah di antara Udang dan Bekicot yang pantas menjadi
istrinya. Si Udang gesit dan cekatan, namun suka teledor. Keselamatan dan
kenyamanan bekerja tak begitu diperhatikannya. Si Bekicot bekerja sangat
lambat, pemilih, dan amat hati-hati. Namun semua pekerjaan dilakukan dengan
sangat teliti.
“Ah, mereka sebenarnya adalah calon-calon istri yang
saling melengkapi. Betapa bahagianya jika aku bisa menikahi keduanya,” kata si
Kumbang dalam hatinya. Malam itu si Kumbang sulit memejamkan mata. Gagasan
memiliki istri dua benar-benar dia anggap sebagai ide yang cemerlang.
Namun ketika si Kumbang tengah asyik dengan pikirannya
sendiri, suara kokok ayam telah terdengar. Dia harus segera pergi ke kebun.
”Inilah hari untuk mewujudkan gagasanku yang cemerlang,” kata si Kumbang
berbunga-bunga.
Pagi-pagi betul si Udang sudah siap dengan bakul penuh
makanan masih mengepul. “Bekicot tidak
bakal mengalahkanku. Sebentar lagi aku akan menjadi istri si Kumbang,” kata si
Udang. Bakul penuh masakan masih panas itu disungginya di atas kepala.
Ketika melewati rumah Bekicot, si Udang menyapa
Bekicot yang tampak masih enak-enakan duduk di teras rumah. “Makananmu sudah
jadikah Bekicot?” tanya Udang.
“Sudah. Tapi tunggu biar dingin dulu,” jawabnya.
“Ah, kalau begitu aku duluan.”
“Heh Udang, nasi yang kau bawa di atas kepalamu itu
masih panas. hati-hati, nanti kau bisa masak terpanggang di tengah jalan!” kata
Bekicot memperingatkan.
“Ah, tenang saja,” jawab Udang.
Ketika matahari mulai muncul dari balik bukit di depan
rumah Bekicot, dia baru mulai membungkus makanan. Dengan perlahan dia menyungginya di atas kepala menuju kebun si
Kumbang. “Ah, sepertinya saya tidak bakal menang. Tapi biarlah, lebih baik
makanan ini dibawa saja untuk Kumbang,” kata si Bekicot sambil berjalan perlahan.
Namun alangkah senangnya Bekicot ketika dari kejauhan
tampak si Kumbang masih bekerja. Dia yakin Udang belum menemui si Kumbang.
Tiba-tiba, ketika melewati sebuah belokan, Bekicot
menemukan si Udang sudah mengering karena terpanggang makanan panas yang
disungginya. Melihat jasad si Udang yang sudah memerah itu, Bekicot pun
menangis tersedu-sedu.
Tanpa disadari, airmatanya meleleh begitu banyak. Hidungnya
dipenuhi cairan ingus. Langsung saja suaranya hilang, karena semua lendir di
dalam tubuhnya keluar. Maka ia pun meninggal.
Menjelang tengah hari, si Kumbang telah merasa
kelaparan. Sementara si Udang dan Bekicot belum juga datang. Dia merasa kecewa.
Akhirnya dia memutuskan pulang ke rumah. Maka alangkah terkejutnya pula dia
ketika di tengah jalan menemukan si Udang dan si Bekicot yang sudah menjadi
mayat.
Kumbang pun menangis meraung-raung. Dia berusaha
mengangkat jasad dua calon istrinya itu. Maka dia perkuat tali ikatan
celananya. Namun saking kuatnya, ikatan itu justru memutuskan pangkal perut si
Kumbang. Dan matilah pula si Kumbang.