Minggu, Maret 29, 2020

Rumah Moyang


Leang Jarie, 26 Maret 2020. Saat monitoring lukisan gua oleh BPCB Makassar.


Bagaimana aku menjelaskannya padamu tentang gua. Apakah kamu sudah pernah melihatnya sendiri, memasukinya, dan mencoba memegang dindingnya. Kalau kamu pernah membaca dan melihatnya di salah satu buku, akan disebutkan soal mulut gua. Itu tentu saja untuk memudahkan penjelasan mengenai pintu masuk.

Jadi jika ada mulut, maka seharusnya ada tenggorokan juga kan. Aku kira itu adalah analogi yang tepat. Aku akan membawamu jalan ke Maros dan Pangkep. Sebuah tempat yang menawan. Sebuah kawasan yang membentangkan puluhan ribu punggungan karst. Sebuah tempat yang hampir juga dinamai sebagai hutan batu.

Secara umum, karst adalah tandon raksasa yang menyimpan berjuta kuik air dalam perutnya. Mengalir melalui jaringan yang rumit, diantara sela batuan. Karst ini juga lah yang menciptakan banyak gua. Mungkin ada ribuan di tempat ini, dan hanya ada beberapa yang pernah ditelisik manusia. Gua-gua itu berbagai orang dari beragam keilmuan, untuk melihat gua. Ada yang meneliti airnya, hewannya, tumbuhannya, atau membuat pemetaan dalam lorong-lorongnya.

Tapi ratusan gua lainnya, adalah ladang ilmu dan yang menentukan masa depan identitas aku dan kamu. Mereka adalah para arkeolog yang bekerja dengan rapi dan tekun. Mereka mendatangi gua-gua yang memiliki kisah panjang. Arkeolog itu menggali lantai gua, mengukur suhu, mencatat angin, melihat kelembaban. Mereka bersusapayah memecahkan teka teki gua itu, kemudian berusaha kembali mempertahankannya. Menemukan dan merawatnya.

Ratusan gua yang dikunjungi para arkeolog itu adalah gua-gua yang memiliki lukisan, atau gua yang meninggalkan sampah dapur, atau pula gua mengindikasikan sebagai hunian. Aku sendiri berkali-kali menyaksikan lukisan dinding gua, rasanya seperti melihat keajaiban. Aku melihatnya dengan berdiri, memanjat, dan bahkan harus duduk. Gambar-gambar itu benar-benar beragam, lukisan telapak tangan, binatang, hingga gambar yang menyerupai manusia.

Inilah orang-orang awal yang menghuni pulau Sulawesi. Mereka disebutnya sebagai bangsa dari ras melanesid. Mereka bermukim dan menghuni ceruk dan gua untuk kemudian menjadikannya rumah. Mereka adalah pembentuk kebudayaan awal yang belum mengenal pertanian menetap. Mereka adalah masyarakat pemburu dan pengumpul.

Mereka mengkonsumsi hewan-hewan yang mereka jumpai, dengan cara memburu. Di dalam lapisan tanah gua, para arkeolog menemukan tulang mamalia kecil seperti tikus. Tulang burung. Ada pula tulang kuskus, dan monyet. Para ahli itu yakin, tulang-tulang itu adalah sisa dari makanan.

Apakah para pendukung kebudayaan ini mengkonsumsi semua binatang itu? Kemungkiannnya tentu saja, yap. Mereka membakarnya dengan rapi, mengulutinya dengan alat batu yang sangat tajam, dan menangkap hewan buruannya dengan mata panah yang sangat cantik.

Lalu belum lama ini, di salah satu lukisan gua di Pangkep, ditemukan gambar Anoa yang berusia 44.000 tahun yang lalu. Gambar hewan yang paling tua di seluruh dunia untuk saat ini. Ya, ya, tentu saja kamu bisa berbangga dengan itu. Dan itu yang aku harapkan. Kebanggaanmu pada tinggalan kebudayaan, yang ada di sekitarmu akan membuatmu lebih melihat manusia dalam beragam zaman.

Dan mereka adalah nenek moyangmu. Meskipun secara faktual, kamu belum bisa membuktikan diri karena harus ada tes DNA, untuk mengetahui asal usul. Kenapa kamu berhenti membacanya? Coba kamu tenang.

Mari kita berjalan-jalan. Oke, ini adalah Leang Jarie. Gua yang punya beragam gambar cap tangan. Dan tahun 2018, salah satu gambarnya telah dilakukan uji usia menggunakan teknik uranium sries di Australia, hasilnya mencapai 39.700 tahun yang lalu. Gua yang lain bahkan lebih tua yakni Leang Timpuseng, mencapai 39.900 tahun yang lalu.

Jadi ada dua objek dengan dua gambar; gambar Anoa di Pangkep, serta gambar cap tangan di Maros, rentang usianya adalah 4.100 tahun. Jauh sekali kan. Sementara kita dalam menentukan rentang waktu menggunakan kalender masehi, dimana ditentukan tahun 1 Masehi adalah tahun kelahiran Yesus atau nabi Isa.

Apakah kamu sudah punya bayangan mengenai rentang usia itu? Itu sesuatu yang sangat lama kan. Jika demikian bagaimana orang-orang menggambar dan bagaimana mereka melakukannya. Kamu harap tenang, bukankah pada cerita ini, kita sudah sepakat untuk menulis mengenai rumah.

Jadi orang-orang pada 44.000 tahun yang lalu itu belum mampu membuat rumah seperti kita saat ini. Jadi mereka menjadikan gua, sebagai rumah. Mereka tidur dan beraktivitas di tempat itu. Setiap gua, kemungkinannya akan dihuni antara 10-30 orang. Hidup mereka berkelompok. Jadi setiap gua, adalah tetanggaan.

Ketika mereka sudah kembali dari berburu mengumpulkan makanan, di depan gua akan diadakan jamuan makan malam. Kerang-kerang air tawar, akan dipecah pada bagian cangkang belakangnya dan isinya dihisap. Ketika mereka menemukan hewan buruan, akan dikuliti lalu di bakar.

Menjelang, malam, ketika matahari sudah mulai turun, gua menjadi tempat berlindung yang paling aman. Mereka tak akan takut kehujanan. Pada siang hari pun akan terlindung dari matahari. Udara dalam gua sungguh sejuk. Mereka tak menggunakan selimut dan kemungkinan besar hanya menggunakan kain dari kulit kayu.

Apakah mereka kedinginan, itu pertanyaan yang baik sekali. Ini akan menjelaskan bagaimana tubuh beradaptasi pada keadaan lingkungan. Kamu tak bisa membawa dirimu pada keadaan sekarang, mengenai keadaan masa lalu. Karena mereka terbiasa dengan alamnya, maka kulit mereka tentu saja beradaptasi. 

Itu sama halnya jika kamu orang pesisir dengan udara panas, akan kelabakan pertama kali mengunjungi wilayah gunung yang dingin. Tapi jika kamu sudah lama di gunung, maka tubuhmu akan bisa menerima itu. Apakah penjelasan itu bisa membuatmu memahami teori adaptasi?

Setelah rumah, berikutnya aku akan mengenalkanmu mengenai makanan mereka, tentang tentang biji-bijian. Tentang sayur mayurnya. Mengenai hewan peliharaan. Mengenai rumah yang sudah menetap. Akan kujelaskan di bab Austronesia – si pendatang baru yang jumawa.