Rabu, April 01, 2020

Berlari dan Berburu


Alat batu dari Matano. Foto oleh: Nono BALAR Makassar.
Apakah kamu pernah mengendarai kendaraan lalu mogok. Aki-nya soak dan mungkin businya tak berfungsi. Sementara kejadian itu terjadi pada siang yang terik. Kamu akan ngedumel. Benar kan.

Tapi coba merasakan hal lain. Jalan lah ke Maros, tepatnya di kawasan yang dipenuhi gunung karst. Dan cobalah berjalan tanpa menggunakan alas kaki. Kalau kamu belum tahu, dimana itu ambillah gawaimu dan cari di sekitar tempatmu tinggal. Kini kamu harus menuju ke sana. Benar sekali, batu itu seperti ujung pisau, runcing dan tajam. Sepatu yang kuat bahkan bisa terkoyak.

Karst Maros dan Pangkep ini, luasnya sudah kujelaskan pada bab awal, seluas 44.000 ha itu adalah halaman leluhur kita. Halaman nenek moyang kita. Ya, ya, nenek moyang itu bukan berarti adalah mereka yang sudah tua. Tapi manusia yang hidup berbeda masa dengan manusia sekarang. Mereka juga hidup berkelompok, punya orang tua, remaja, dan anak-anak.

Anak-anak nenek moyang kita itu, sama dengan kamu yang membutuhkan halaman. Ingin berlari dan bermain. Lalu memanjat, dan juga berenang. Membayangkan, masa itu, tentu saja perbandingannya bukan dengan masa sekarang. Waktu itu, tak ada listrik apalagi jaringan seluler. Mereka tak punya handphone untuk bermain game. Mereka kemungkinan, bermain lemparan batu di sungai, atau berlari di hamparan rumput dan juga menjejak tebing karst.

Kakinya, sudah terbiasa, telapak kakinya mungkin sudah kebal. Tapi mereka sama dengan kamu. Bisa saja diwaktu senggang, mereka bermain di sela tebing, duduk-duduk bersantai, dan meneguk air dari sungai. Mereka juga kemungkinan menggunakan tebing, gua, dan pohon untuk bermain petakumpet. Menarik ya.

Tapi, keuntungan lain dari tebing dan ceruk, mereka bisa bersembunyi lalu menunggu hewan buruan dan memanahnya. Atau melemparnya. Pada masa itu, mereka belum memiliki kuda, seperti dalam film berburu. Mereka mengandalkan kekuatan dan strategi. Di banyak gua ketika para arkeolog menggali tanahnya, ditemukan ada banyak tulang hewan. Ada tikus, kuskus, monyet, babi rusa, bahkan tulang burung. Dan baru-baru ini juga ditemukan gigi hiu.

Sisa tulang itu adalah sisa makanan mereka yang terpendam dalam tanah. Jadi, sumber daging mereka masa itu cukup melimpah. Coba bayangkan, mereka membuat api lalu memanggangnya di depan mulut gua, sembari melihat bintang dan cerahnya langit. Mereka makan bersama, setelah itu mereka beristirahat.

Masa itu memang belum ada listrik. Cahaya api dan bulan lah yang menjadi temaramnya. Mata mereka terbiasa dengan malam, itu melatih mereka untuk tetap waspada. Jika kamu bertanya bagaimana mereka melakukannya, dan apakah orang bisa tanpa senter malam hari? Maka jawabannya tentu saja bisa.

Saat ini, penglihatan kamu mulai tidak terbiasa, dan terlatih, karena bergantung pada fasilitas dan kemudahaan. Jadi ketika listrik padam sesaat saja, kamu mulai tidak bisa berjalan. Akan menabrak kursi, atau bisa saja menabrak tembok rumah. Ihh, ngeri sekali.

Oh ya, hampir lupa, tadi saya sudah mengajakmu ke kawasan karst bukan. Mari kembali ke tempat itu. Coba kamu perhatikan, ini adalah Leang Pettae. Mulut guanya ada ribuan rumah kerang yang sudah menempel, karena membatu bersama larutan karst lainnya. Gua ini adalah tempat hunian nenek moyang kita.

Nenek moyang kita mengumpul kerang itu, lalu dimakan di rumahnya. Mereka menumbuk bagian belakang kerang, lalu menghisap isinya. Ini teknik mengumpul. Tapi bagaimana dengan gambar Babirusa di dinding guanya?

Tentu saja, mereka mendapatkan itu dengan cara berburu. Atau ada kemungkinan mereka menggunakan perangkap. Jadi saya ingin sederhanakan agar kita sepakat, bahwa menjebak, memanah, mengejar, dan membuat perangkap adalah teknik berburu. Kamu sepakat kan.

Saat nenek moyang kita melakukan perburuan, mereka pasti akan berlari di antara tebing, hingga melompat. Ketika sudah menemukan Babirusa incarannya, mereka akan menombak dan memanahnya. Dan bisa juga menimpanya dengan batu besar. Saat hewan buruan tertangkap, mereka membawanya pulang ke rumah.

Di rumah, mereka akan membuat api dan mulai membakarnya. Sementara itu, kulit hewan buruan besar seperti Babirusa, akan dikelupas dengan penuh hati-hati menggunakan alat batu – dinamakannya litik. Alat batu itu, bentuknya lucu. Pipih dan sangat tajam.

Para arkeolog sudah menekuni kajian itu sejak bertahun-tahun lalu, untuk bisa membedakan bagaimana serpihan batu yang terbentuk secara alamiah dan bagaimana serpihan batu yang dibuat secara sengaja. Para arkeolog ini, melihatnya dari beragam sisi. Di peralatan itu, mereka melihat dataran pukul, hingga penajaman dengan menggunakan miskroskop.

Arkeolog-arkeolog itu melihatnya dengan hati-hati, hingga mereka bisa membedakan ada alat batu untuk memotong hingga menyerut. Ya benar, itu seperti kau melihat peralatan dapur ibumu, ada pisau untuk memotong daging, ada untuk mengupas bawang, ada untuk mengelupas daging ikan. Nenek moyang kita, tentu saja memilikinya, tapi menggunakan batu.

Lalu bagaimana pemilihan makanan nenek moyang kita itu. itu tidak lepas dari letak wilayahnya tinggalnya. Seorang arkeolog, baru-baru ini telah membuat pola sebaran fauna dalam gua hunian. Temuannya mengejutkan. Gua-gua hunian, atau rumah nenek moyang kita yang berada di wilayah Pangkep – dinamakan wilayah utara – dominasi lukisan faunanya adalah dari air (fauna aquatik). Lukisan guanya sungguh mengagumkan, ada gambar ikan paus, penyu, ubur-ubur, hingga teripang. Sementara di wilayah Maros – wilayah selatan – faunanya adalah dari daratan, seperti Babirusa dan Anoa.

Pada masa itu, itu sekitar 44.000 tahun yang lalu, nenek moyang kita di Pangkep dan Maros, punya makanan favorit sendiri-sendiri tergantung dari persediaan alam di sekitarnya. Jadi karena wilayah pangkep itu berdekatan dengan laut, maka mereka terbiasa berburu di air. Sementara di Maros, karena wilayahnya berdekatan dengan hutan, maka mereka berburu binatang mamalia. 

Itu adalah hal lumrah. Misal jika kamu berkunjung ke Toraja, kamu akan sulit menemukan variasi makanan dari ikan. Tapi mengunyah daging, seperti babi, ayam, hingga rusa, selalu ditemukan. Nah ini berbeda dengan orang Barru, yang sangat senang menyantap ikan laut.

Jadi nenek moyang kita yang tinggal di gua dan kemungkinan yang membuat lukisan itu, mereka belum memiliki peternakan. Mereka juga belum mampu mendomestikasi – atau menjinakkan – hewan, mereka hanya mengambil dari alam apa yang dibutuhkan. Maka dari itu, mereka mencarinya. Atau berburu. 

Domestikasi – atau menjinakkan itu - adalah nenek moyang kita yang datang belakangan. Mereka adalah bangsa dari penutur Austronesia. Mereka datang dan mulai bertani menetap. Ketika bangsa ini datang, maka nenek moyang kita sebelumnya, tersingkir. Tapi beberapa anggapan menyatakan, kemungkinan mereka hidup berbaur, dan kemungkinan mereka saling benci. Jadi untuk orang-orang penutur Austronesia ini, kita akan mebahasnya di bab lain ya.