Selasa, Juni 08, 2021

Perihal Kematian yang Memukau

Penguburan tebing di wilayah Lemo, Toraja. 

Pada usiaku yang ke tiga puluh tujuh tahun, saya mengingat Jufri Buape yang beberapa tahun lalu meninggal dunia. Ketika saya jumpa dengannya, di ruangan depan rumahnya yang sederhana di wilayah Takalar. Usianya sudah renta, sebagian tubuh yang mati karena serangan stroke.

Kepalanya sudah botak di bagian depan, hingga jidatnya terlihat lebar. Dia menggunakan kemeja, dengan dua kancing bagian atasnya tak terpasang. Jufri Buape adalah sekretaris Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) organisasi sayap Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai yang sangat sangat sangat terlarang di Indonesia. Partai yang kemudian membuat anggotanya atau simpatisannya, atau bahkan orang yang dituduh pernah berhubungan dengannnya, meregang nyawa, mati di antara rerumputan, di dalam hutan, di pinggir jalan, atau di liang-liang serampangan di hampir seluruh pelosok negeri ini.

Menggunakan satu tangannya yang bergetar hebat, Jufri berusaha membuka album fotonya. Ada beberapa foto kawannya berdiri di depan bangunan camp tahanan Moncongloe. “Dia orang baik,” katanya saat menyebut nama kawannya.

“Dia suka tertawa,”

“Kalau ini suka menulis,”

Jufri seperti mengoceh. Beberapa jam bertemu dan kemudian berbagi kabar di telefon. Dan ketika seorang kerabatnya memberi kabar, jika dia meninggal dunia. Meninggalkan harapannya, untuk melihat semua keadilan berjalan. “Entah kapan semua ini berakhir,” kata Jufri.

PADA USIAKU yang bilamana, mendapatkan umur panjang, tiga tahun selanjutnya saya akan berusia empat puluh tahun. Usia ketika  saya melakukan perjalanan ke Toraja, lalu bertemu seorang sahabat berusia empat puluh tiga tahun. Dia perempuan yang ramah, selalu mengajak makan, dan suka bercanda.

Namanya Manaek Bara’ Allo. Kak Mona, begitu saya menyapanya. Dia ibu dari dua anak lelaki. Menikah berbeda agama dengan suaminya, yang juga seorang Toraja. Jumpa dengan Kak Mona, kami selalu cerita tentang anak. Tentang menjadi orang tua. Lalu entah kenapa kami bicara tentang kematian.

Apakah ini sudah saatnya bicara tentang kematian dan amanah? Entahlah. Tapi perihal kematian, adalah perihal kehilangan yang dalam. Perihal separuh jiwa dan kenangan yang pelan-pelan tergerus menghilang.

Perihal-perihal kematian ini, pertama kali mendatangi tahun 2010, ketika nenek saya meninggal dunia. Saat keranda meninggalkan halaman rumah, itulah saat kehilangan besar yang mendekap. Rasanya seperti sesak.

Dan berjalan waktu, setiap memikirkan kematian, saya tak bisa tidur. Bagaimana rasanya menjadi jasad dan bagaimana meninggalkan orang-orang yang kita kasihi. Akal ku belum bisa menjangkaunya dan masih meraba-raba.

Di kedai kopi, Djoeng Coffee Roastery di Rantepao, saya dan Kak Mona saling berhadapan membagi kisah. Sebagai seorang muslim dia ingin dikuburkan dengan prosesi yang hikmat. Di masukkan dalam liang tanah dan memiliki nisan. Tapi suaminya, yang seorang penganut Kristen, kelak akan dimasukkan dalam Patane, tempat pemakaman orang Toraja. “Jadi itu bagaimana mi saya kasihan, pisahma sama dia,” kata Mona.

“Kan bisa dalam Patane, tidak di lantai. Kak Mona di kubur di bawah, suami di atas,”

“Tapi ada lagi bilang kalau kuburan orang islam, tidak boleh diatapi. Kenapa kah itu semua banyak sekali aturan,”

“Lah kuburan Sultan Hasanuddin dan kuburan orang islam di sekitar Arab juga diatap ji nah,”

“itu mi deh.”

Mona, lalu menatap saya. Matanya terlihat berair. Sepertinya ini sesuatu yang serius. Tapi Mona, adalah perempuan yang mampu mengelabui kesedihannya dengan beberapa candaan. Jika kelak, katanya, mereka meninggal dunia, dia mau misalkan kuburannya di dekat Patane suami. “Biar kalau Papa Karrang (Sapaan suaminya dari nama anak pertama), keluar Patane minum kopi, saya juga ada duduk-duduk di atas kuburanku,”

“Jadi masih bisa kami minum kopi sama-sama. Dan cerita-cerita,”

Kami terbahak bersama. Lalu menyeruput kopi.  

Sehari sebelum bertemu Mona. Saya jumpa dengan Yusuf. Keluarga Tino Sarungallo (orang Toraja). Tino adalah seorang filmaker. Meninggal di Jakarta karena sakit. Yusuf adalah kolega yang menemaninya ketika Tino menghembuskan nafas terakhirnya.

Tino meninggal dengan prosesi muslim. Dimandikan dan dikafani. Saat pelepasan jenasah menuju mobil, di dalam rumah dilakukan pemberkatan yang dipimpin seorang pendeta. Dalam perjalanan menuju Tanah Kusir, pusara terakhirnya, jenasah itu erhenti di masjid dan dilakukan ritual salat jenasah.

“Dia hidup dengan asyik. Dan meninggalkannya pun dengan tetap asyik,” kata Yusuf.

“Terakhir, Tino meminta saya mengambil tanah kuburan yang pertama menyentuhnya untuk dibawa ke Toraja. Sebagai ungakapan syukurnya untuk leluhur Toraja,” 

Kami sepakat dengan itu. Dan saat saya mengisahkannya kembali pada Mona, dia terharu. “Doa semua orang adalah pasti baik. Apapun agamanya,” katanya. 

Tapi bagaimana rasanya meninggal dunia? Tentu saja tak ada yang memiliki pengalaman itu. Tapi yang pasti, hadiah kehidupan, adalah kematian. Dua sisi yang berjalan saling bergadengan. Hidup dan mati, seperti kekasih yang saling merindukan.

SAYA MENULIS perihal-perihal kematian ini, saat anakku berusia enam tahun. Ketika suatu malam dia bertanya, kenapa kakek-kakek dan nenek-nenek selalu meninggal sakit. Makanya dengan itu, dia menonton Avatar dan mengidolakan Avatar Roku. Pendahulu Ang, yang berada di dunia roh.

“Avatar Roku bisa bicara dengan roh,” katanya.

“Roh itu orang sudah mati kah?,”

“Saya mau seperti Avatar Roku. Dia hebat.”

 

 

0 comments:

Posting Komentar