Kamis, Desember 04, 2025

Elang, Karya dan Kepalanya


Pencemaran Laut. @Elang

Suatu waktu, Elang begitu sapaan anak lelaki itu, mengatakan keinginannya untuk belajar melukis. Saya tentu senang. Dan seorang kawan mengarahkannya. Dia belajar membuat lingkaran, membuat gambar bintang yang dan menarik garis lurus. 

Pertemuan singkat sekitar empat kali itu, dilakukannya di teras rumah. Elang telaten dan teman itu juga penuh sabar. Kertas-kertas HVS putih berlembar-lembar jadi tempat latihannya. Kemudian, teman itu berpindah tempat, kami menjadi putus komunikasi. 

Tapi Elang tetap menggambar. Dia ingat betul pesan gurunya itu; gambarlah sesuai imajinasi dan yang kau pikirkan. Tapi jangan contoh gambar orang lain. 

Sederhana, tapi itu menjadi rumit dilakukan. Elang yang senang menonton anime, terpengaruh dengan visual itu. Tapi perkataan guru harus selalu diingat. Nama gurunya adalah Bang Ken – entah siapa nama aslinya, tapi kami menyapanya demikian. 

Elang terus menggambar. Membeli buku gambar, kanvas, pensil, krayon, cat minyak hingga cat minyak. Perkembangannya cukup baik menurutku. Dia sudah memiliki alasan dengan warnanya sendiri, bukan lagi alasan karena indah dan memang menarik warna. 

Suatu kali dia membuat sketsa di kanvasnya yang memperlihatkan deretan rumah dan gedung tinggi berdempetan. Lalu dia menimpa semua kanvasnya dengan cat air biru tipis, hingga gambarnya gedung masih terlihat jelas. 

Warna Lembut @Elang
Saya menerka-nerka alasannya, apakah untuk menunjukkan kedamaian. Dia menjawabnya singkat, bukan. “Warna biru biar kelihatan lembut dan soft saja,” katanya. 

Kenapa biru lembut? “Ya karena mata, bisa tenang lihat warn aitu. Coba mi lihat, lanjutnya. 

Saya mafhum. Memilih dan membuat alasan melakukannya, memang seharusnya menjadi urusan personal masing-masing orang. Pilihan tak seharusnya dilakukan untuk mempertimbangkan orang lain.

Deretan karya lainnya, yang bagi saya memukau adalah sketsa mengenai suasana pabrik dengan cerobongnya yang mengeluarkan asap, lalu menutupi langit. Kemudian di gambar itu dituliskan kalimat, KAMI BUTUH SOLUSI, BUKAN POLUSI. 

Kalimat itu didapatkannya ketika pagelaran Makassar International Writer Festival di Makassar, tahun 2025. Dia memasuki tempat yang menampilkan bagaimana pekerja dan lingkungan di pabrik nikel. 

Tapi sebelum itu, dia juga pernah melihat secara langsung kondisi kampung Papan Loe dan Parang Tinggia, di samping Kawasan Industri Bantaeng (KIBA). Elang menyaksikan debu dan rumah-rumah warga yang sudah berubah warna menjadi coklat. “Kenapa perusahaan ini datang dan buat semua jadi kacau begini,” katanya saat kami berkeliling kampung itu. 

“Karena orang perusahaan tidak perduli warga. Mereka rakus,” jawabku. 

Elang masih menimbang-nimbang pernyataan itu dan terdiam menatap keadaan kampung. “Dan Pemerintah juga tidak perduli warganya,” lanjutku. 

“Kan ada Bupatinya. Bupatinya juga diam,” 

“Bupati lah yang mulai panggil perusahaan datang. Dulu bupati namanya Nurdin Abdullah, sekarang anaknya, jadi bupati, namanya Uji  - entah siapa nama lengkapnya,” 

“Ahh semua memang Bupati sama. Bupati Maros juga. Saya benci sekali nama Bupati,” 

“Elang nanti jangan jadi Bupati nah,”

“Siapa juga yang mau.” 

Solusi bukan Polusi. @Elang

DILAIN WAKTU, dia menggambar deretan gedung tinggi berwarna hitam dengan latar belakang langit kemerahan.  Di bagian depanya, ada lautan yang tenang. Sekelebat itu adalah pemandangan yang banyak dijumpai di perkotaan jelang malam (tapi dengan listrik padam). 

Tapi alasannya tepat. Dia bilang, orang-orang di gedung itu saluran pipa pembuangannya semua ke laut. Jadi lautnya dari atas bagus berwarna biru, tapi dibawahnya sudah rusak. Elang, suka menggerutu dengan pikirannya sendiri. Dia benar-benar rajin membuat kepalanya selalu sibuk. 

Hal lain yang buat saya ketinggalan jauh, ketika dia mengirimkan link mengenai awal mula pembentukan daratan di bumi. Dia menulis, kalau puluhan juta tahun yang lalu, Kepulauan Indonesia masih kecil dan belum terbentuk. Terus Philipina dan Thailand itu, jaraknya dekat sekali. 

Saya melongo membaca chatnya. Saya jawab, jika tak tahu soal ini. Tapi nanti coba akan dicari tahu bersama. Elang punya minat terhadap lapisan bumi. Dia senang dengan mengumpulkan batuan yang menurutnya menarik. 

Batuan-batuan kecil yang didapatkannya di jalanan, dia bisa membawanya pulang dan menyimpannya di kotak khusus batunya. Dia bilang, kalau batunya ada yang berbentuk dinosaurus, ada yang menyerupai burung, atau menyerupai apapun dalam imajinasinya. 

Hal lainnya, jika saya liputan ke luar daerah, oleh-olehnya adalah membawakannya batuan dari tempat itu. Yang terbaru adalah menghadiahkannya batuan dari sungai Karama. Sebuah tempat yang memiliki cerita panjang sejarah peradaban manusia. Satu tempat bermula para penutur Austronesia dari ras Mongoloid yang dalam buku dituliskannya sebagai masa Neolitik. Neolitik Kalumpang adalah yang paling tertua di Nusantara, sekitar 3.800 tahun yang lalu. 

Elang senang dengan batuan hadiah itu. Yang paling beruntung, dari Kalumpang, saya diminta teman-teman Arkeolog untuk mengembalikan koleksi artefak yang dipamerkan ke BRIN  - yang kantornya ada di bekas Balai Arkeologi Makassar. 

Koleksi itu, ditempatkan dalam kotak plastik dan dibungkus plastik. Dalam kotak ada kapak dengan batu hijau yang halus dan memukau. Saya perlihatkan ke Elang sebelum mengembalikannya. Lalu dia pegang dan mengaguminya sesaat. “Ini batu kah,” katanya. 

“Iya. Alat batu yang dibuat 3.000 tahun lalu,” 

“Wahhh…Halus sekali. Dan tajam.” 

Kemudian saya ceritakan kembali bagaimana suasana kampung Kalumpang. Akses jalan yang susah dan tidak diperdulikan Pemerintah. “Kenapa. Pemerintah tidak suka sejarah,” 

“Mungkin. Atau mereka tidak mau belajar. Dan bodoh kali ya,” 

“Iya, mungkin.”

Kini Elang sudah kelas 4 Sekolah Dasar. Dia menikmati sekolahnya dan membuat kami harus bangun lebih pagi, karena menyiapkannya bekal. Dia tak mau makan bekal dari MBG – program pemerintah itu. Alasannya sederhana, makanannya tidak dimasak dengan baik. Sayurnya potongnya sembarangan, ayamnya kecil, nasinya banyak sekali. 

Meski beberapa kali saya memintanya untuk mencoba. Tapi dia hanya bilang tidak enak. Mungkin dia pernah mencicipinya. 

Maka tahu kau nak, kenapa kami memilih untuk memasukkan mu ke sekolah negeri? Supaya kau menyadari bagaimana negara ini berjalan. Dan bagaimana buruknya negara memperlakukan warganya sendiri.     


Matahari dan Tanaman. @Elang


0 comments:

Posting Komentar