Senin, Desember 01, 2025

Mempertanyakan Kembali Warisan Kata

Beberapa daun sirih dan pinang dipersiapkan untuk upacara Aluk Todolo Masyarakat Toraja, unutk meminta berkat sebelum penggantian atap Tongkonan. (Project M/Iqbal Lubis)


Pada suatu perjalanan ke Papua saya mengunjungi Biak – penulisan Indonesia. Di pulau terpisah dari Papua Besar itu, saya bertemu dengan banyak orang. Mendengar mereka bercerita dan berkisah. Satu tempat yang bersih dan nyaman, yang tanahnya dekat lapangan terbang itu dikuasai banyak oleh Angkatan Udara. 

Orang-orang di pulau bercerita dan melafalkan nama kampungnya. Saya berkali-kali mendengarnya dengan saksama. Dan menemukan pelafalan nama kampung yang berbeda dengan ejaan Indonesia. Orang-orang  melafalkannya dengan kata Biyak. Menggunakan huruf “Y” di tengah. Bukan Biak, tanpa huruf Y. 

Bagi mereka, kata Biak yang sekarang menjadi ejaan, akan dibaca seperti bi-ak. Itu tidak memiliki arti dalam bahasa lokal. 

Hal sama juga terjadi di Fak-fak – untuk ejaan Indonesia. Orang-orang di sana melafalkannya dengan lurus, tanpa tanda sambung. Mereka melafalkannya dengan kata Fakfak. 

Fakfak tanpa tanda sambung itu berarti sebuah tempat, yang lapang yang pernah dijadikan medan perang dan membuat perjanjian. “Jadi kalau Fak-fak, pakai garis datar itu, tidak ada. Kami tidak tahu artinya,” kata beberapa orang disana. 

Bukan hanya itu, di Sulawesi Selatan, ejaan tempat juga banyak bersoal. Kota Pare-pare, yang pada masa lalu ditulisnya sebagai Pare2. Padahal ejaan dalam pelafalannya adalah Parepare tanpa tanda sambung. 

Pada pertengahan November 2025, saya juga mengunjungi kampung Kalumpang – dengan ejaan Indonesia. Kampung ini berada di Sulawesi Barat. Kampung yang dikenal sebagai tempat peradaban awal periode neolitik tertua di Indonesia pada sekitar 3.800 tahun yang lalu. 

Kalumpang, seharusnya adalah nama sebuah pohon. Tapi orang-orang kampung itu menyebutnya sebagai Kaluppang. Jadi jika merujuk pada ejaan Indonesia, Kalumpang tidak memiliki arti. Yang benar adalah Kaluppang. 

Peng-Indonesia-an itu adalah sesuatu yang pelik dan rumit. Mengubah nama pada sesuatu yang salah dalam ejaan pasti akan mengaburkan banyak hal. Jika seseorang misalkan menuliskan nama saya menjadi Ekko dengan dua huruf K, maka otomatis itu bukan saya. Maka saya bisa dengan serta merta bisa berkilah dan beragumen untuk bisa lepas tangan pada apa yang saya sampaikan. 

Menyederhanakan banyak hal
Bukan hanya soal nama tempat. Para petualang, “berpendidikan” masa lalu juga melakukan banyak hal bias. Sebagai seorang yang besar dalam lingkungan sosial dan budaya di Luwu, saya menyadari betul jika kata “budak” dalam mendefinisikan ungkapan “ata’” di masyarakat Luwu, sangatlah keliru. 

Ata’ – dengan tanda koma atas – bukan lah budak seperti yang dikenal saat ini. Ata’ bukan lah Slave dalam bahasa Inggris itu. Tapi ata’ merujuk pada kepatuhan sosial. Saya akan mengambil contoh keadaan di kampung saya di Luwu. 

Jika saya punya anak, lalu ada keluarga saya, baik para tante dan om, berkumpul di rumah. Kemudian anak saya yang remaja, berjalan di depan para orang tua, tanpa permisi dan menurunkan tangan tanpa mengucapkan kata tabe’, maka itu menjadi sesuatu yang kurang pantas dalam adat istiadat. 

Maka saya akan berucap pada orang tua di sekitar situ, dengan mengucapkan; ta addampangi ata’ ta. Yang berarti, tolong maafkan ketidak sopanan ponakanmu. 

Pada peristiwa lainnya, ata’ bisa diartikan pada sebuah kekalahan. Misalkan ketika seseorang berduel dan lawannya akan kalah, maka dia menyebut dirinya ata’ sebagai orang yang kalah dan tak akan melawan kembali. Tapi bukan budak. 

Definisi lainnya yang menurut saya juga keliru adalah pengungkapan kata Toraja untuk menyebutkan wilayah gunung di sekitar pegunungan Latimojong. Definisi para penulis kolonial awal ini, membuat garis imajiner untuk memisahkan orang yang berada di pesisir dan pegunungan. 

Hingga tahun 1980-an awal, orang Seko masih didefinisikan sebagai bagian dari Toraja sebagai sebuah entitas suku. Kaluppang juga menjadi bagian Toraja. Mamasa bahkan menyebut diri mereka Toraja Mamasa. 

Daerah lain di Luwu, adalah Basse Sang Tempe atau Bastem, juga digolongkan sebagai Toraja. Padahal dalam ungkapan lain, Toraja dalam pengertian bahasa pesisir adalah To Riaja – orang yang berada di bagian atas. 

Maka, dampaknya menjadi sungguh serius. Beberapa kali ketika saya melakukan tugas reportase, egoisme ini muncul dalam kisah tutur. “Dulu itu adalah wilayah kami, sebelum ada pemekaran kabupaten,” 

“Jadi dulu, semuanya adalah (menyebut tempat), nanti ada Indonesia, baru dibagi-bagi secara geografis.” 

Atas dasar inilah, saya acapkali menuliskan nama kampung dalam naskah-nasah liputan. Kampung bagi saya adalah nama yang memiliki nuansa dan kehidupan yang kompleks. Nama kampung Pangngala, misalkan, yang sekarang masuk Kabupaten Toraja Utara, adalah nama yang sungguh sangat anggun. Nama itu, dalam bahasa lokal berarti hutan. Satu tempat yang sungguh sejuk. 

Atau Kaluppang yang merujuk pada identitas sebuah pohon perdu di tepian sungai Karama, Sulawesi Barat. 

Kampung lain di Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu ada yang bernama Nase. Kampung kecil yang mendapatkan namanya dari tanaman jenis pandan hutan. Yang daunnya dapat digunakan masyarakat untuk membuat anyaman tikar, atau keranjang. Sekarang kampung itu telah lenyap karena digusur oleh perusahaan tambang emas PT Masmindo Dwi Area. 

Dalam kurun Niaga Asia Tenggara, karya Anthony Reid, dia juga menjelaskan agama lokal orang Sulawesi Selatan di bagian selatan disebut Patuntung. Ini adalah definisi sederhana untuk menyebutkan jika agama yang ritualnya menggunakan pohon besar atau gunung, dan dilakukan dengan usaha berjalan dengan telaten – yang dalam bahasa lokal Patuntung. 

Sekian lama, sekian ratus tahun, agama-agama baru mendefinisikan agama lokal sebagai kepercayaan kafir dan tak bertuhan. Dan ratusan tahun berjalan, definisi kafir itu kita serap sebagai kata animisme. Kepercayaan rendah dan tradisional. 

Permainan kata dan definisi sederhana itu terus berkembang hingga saat ini. Saya mencoba melompat ke era sekarang. Dimana semua orang sepakat – saya juga beberapa lama terjebak – menyepakati definisi Gen Z – generation Z. 

Babakan generasi ini membuat semua embel-embel-nya ikut dalam definisi yang disepakati bersama. Ketika menyebut Gen Z, maka hampir generasi sebelumnya yang kemudian disebut Generasi Milenium atau bahkan Baby Boomer, akan melabelinya sebagai generasi cengeng dan sukar dimengerti. 

Saya teringat, seorang kawan saya bercerita. Dia punya anak perempuan remaja. Di rumahnya dia, membicarakan era anaknya tumbuh kembang. Ungkapannya seperti ini; “Kalian itu Gen Z, kenapa cengeng sekali dan lemah,” katanya. 

Anaknya yang remaja perempuan, hanya duduk mendengar. Tanpa komentar. Tiba-tiba ketika sang anak berdiri dan hendak menuju kamarnya, dia berucap di depan ayahnya, “Permisi generasi Tangguh.” 

Ayahnya terhenyak dan tak bisa menimpali. Kisah itu disampaikannya dalam pertemuan penuh tawa. Tapi ketika kalimat anaknya itu terlontar, kami tertawa lalu terdiam. Dan kembali terbahak, untuk menertawai diri sendiri.  

0 comments:

Posting Komentar