Selasa, Oktober 27, 2020

Melihat LBH Makassar Bekerja



Di kelokan dan tanjakan jalan sempit yang membelah kawasan karst Taman Nasional Bantimurung itu, Said mulai ragu menginjak pedal gas mobil. Truk besar di depan berjalan lamban. “Kalau kau tidak pepet, kau nda bisa melambung itu,” kata Rido.

“Karena truk nda mau ke pinggir (menepi),”

“Kalau kau ikut begini terus di belakangnya, sampai Bone kita itu.”

Akhirnya, Said menepi lalu melepas stir mobil. Rido menggantikannya, dan wussss, mobil melaju cepat, melambung kendaraan besar di depan kami. Menikung dengan cepat, menanjak dan menurun. “Terlempar kita kak,” kata Said yang duduk di bangku depan, sembari tangannya memegang gantungan tangan dalam kendaraan.

Perjalanan itu dimulai sekitar pukul 19.00, di kawasan perumahaan Bantimurung, Maros. Kami bertiga akan menempuh perjalanan lintas kabupaten – Maros, Bone, Soppeng. Sekitar pukul 22.30 kami tiba di kampung Sewo, kabupaten Soppeng. Rumah La Natu, petani yang berusia 75 tahun. Petani yang diperkarakan Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan, dan hendak dipenjarakan karena menebang pohon dalam kebunnya – kebun yang diklaim lembaga negara itu masuk dalam zona hutan lindung - untuk membangun rumah anak.

Esok pagi, pada Selasa 27 Oktober, akan berlangsung sidang dalam agenda mendengarkan saksi ahli. Ini sidang ke lima, yang akan dijalani petani itu. Rido dan Said menjadi kuasa hukum La Natu. Mereka membantu petani itu atas nama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar.

Malam kedatangan kami, di rumah panggung yang sejuk itu, keluarga La Natu sudah menyiapkan makan malam. Kami makan sembari berbagi cerita. Beberapa orang bertanya ke Rido, tentang perkara itu.

Di rumah itu ada Ario Permadi anak La Natu. Seorang iparnya juga bernama Sabang ikut hadir. Tiga orang ini menjadi pesakitan, karena terlibat penebangan pohon. Cerita mulai mengendor, kantuk mulai menyerang. Selimut dan bantal sudah disiapkan. Kami berselonjoran di atas karpet di ruang utama rumah itu, lalu tidur pulas, di hembus udara yang masuk melalui sela dinding bambu.

Selasa pagi, puluhan keluarga petani berkumpul. Mereka akan mengantar La Natu, Ario Permadi, dan Sabang, menuju pengadilan negeri Watansoppeng. Jelang pukul 10.00, kerabat lainnya bernama Sudi memimpin doa di dekat tangga. Lalu kami bersama menuju kantor pengadilan. Pukul 10.15 persidangan dimulai.

Saya menyaksikannya dengan dada yang sesak.

Pekan depan, pada 3 November, agenda sidang selanjutnya adalah pemeriksaan terdakwa. Di perjalanan pulang ke rumah, saya duduk bersama La Natu di kursi belakang mobil. “Sebenarnya bukan kebun saya yang masuk dalam hutan lindung, tapi hutan lindung masuk ke kebun saya,” kata La Natu.

Saya memandangnya, dan La Natu mengulangi lagi kalimat itu. “Dulu kalau ada kehutanan, orang ditangkap saja. Di bawa ke kantor polisi. Nda ada yang melawan karena takut. Sekarang ada LBH mi yang bantu. Saya jadi tau, orang kampung sudah tau. Kalau polisi kehutanan tidak boleh semena-mena.”

LBH di Akar Rumput

Di sebuah rumah makan prasmanan, wilayah Camba, Maros, seorang perempuan muda mempersilahkan kami makan. Perempuan lainnya yang menggunakan jilbab, dengan ramah menyapa kami lalu bilang,“makan apa adanya ya nak,” katanya.

Rido memilih duduk di kursi lainnya. “Ayo makan saja,” kata Rido.

“Bapak ini sudah dikenal di sini e. Akamsi (akronim Anak Kampung Sini),” kata saya.

“Iya. Na kenalka memang.”

Selesai makan, kami tak langsung beranjak. Rido bahkan mempersilahkan saya menikmati dulu rokok. Dan bilang, “santai saja.”

Lalu lelaki paruh baya lainnya, mendekati Rido. Mereka bersalaman dan saling bertanya kabar. Dan sebuah map kertas dibuka, dan mereka berdua serius mendiskusikannya. Beberapa menit kemudian, kami pamit beranjak. “Eh, tidak byar kah,” kata saya mengingatkan Rido.

“Tidak. Tenang saja,” jawabnya.

Di mobil, kami terkekeh. “Jadi ini bukan kenalan, tapi klien?,” kata saya.

“Iya, hahahaha,”

“Klien sendiri, atau klien LBH,”

“Klien LBH.”

Dari sini lah cerita lain bermula. “Itumi kasi tobat i Rambo (staf LBH lainnya) kalau pergi begini. Jadi ada pernah, singgah di warung seperti itu. Dia ambil makanan sedikit karena takut bayar banyak. Pas pulang, dikasi tau kalau itu gratis, dan klien LBH, dia menyesal tidak makan banyak,” kata Rido.

“Kalau anak-anak LBH kemana-mana, sepertinya nda bakal kelaparanmi. Ada banyak teman di semua kampung,”

“Di LBH kan, kalau mau cari pertemanan dan berproses ini tempatnya. Kalau cari uang tentumi nda ada.” 

Cerita di LBH adalah kisah-kisah para petarung. Mereka mendatangi tempat-tempat terpencil dimana warga membutuhkan pendampingan hukum. LBH membangun komunikasi dan melakukan penguatan serta pembelajaran. Mereka berdiskusi hingga larut malam dan mencari solusi.

Pengacara publik LBH tidak menunggu di pengadilan lalu, melakukan sidang, setelah itu pulang. Di LBH klien dan kuasa hukum, tidak melakukan transaksi jasa. Mereka juga tak dibenarkan memungut bayaran pada dampingan.

Toh suatu ketika misalnya, seorang staf LBH yang mendampingi kasus buruh, mendatangi tempatnya. Sebelum ke pengadilan, si pengacara LBH tidak punya rokok. Buruh lainnya, melihat itu. Dan kemudian berinisiatif membeli rokok untuk si kuasa hukum. “Ini pak rokoknya,” kata buruh itu.

Rokok itu dikeluarkan dari saku depan baju. Tiga batang rokok. “Itulah bayarannya pengacara LBH, hahahahahha,” kata Rido.

Tak jarang, pengacara-pengacara LBH itu ketika sidang selesai, mereka diberikan imbalan Rp50 ribu atau bahkan Rp20 ribu.

Rido mengulangi cerita-cerita itu sebagai guyonan. Di halaman rumah kami yang sempit di Bantimurung, udara semakin dingin. Pukul 02.00 dinihari, akhirnya kami membubarkan diri bercerita. “Nginap lah. Besok baru ke Makassar,” kataku.

“Jangan kak, besok hari Sumpah Pemuda. Ada demo lagi, semoga nda ada lagi mahasiswa yang ditangkap,” kata Said.

Jika Anak LBH Menikah

Jika ada anak LBH yang akan menikah, sebaiknya mereka menikah diam-diam dan mengundang teman-teman dekat saja. “Kalian akan membuat banyak orang repot, kalau mengumumkan pernikahan,” kata saya, suatu kali pada Cappa.

Cappa adalah staf LBH Makassar yang belum menikah. Suatu kali saya, Melissa (staf LBH lainnya), dan Cappa, melajukan motor menuju Soppeng. Kami menuju kampung Compo Liang. Jalannya sebagian sudah di rabat beton, sebagian lainnya masih tanah merah. Jika musim hujan jalanan itu menjadi sangat licin dan susah dilalui.

Melissa yang berboncengan dengan Cappa misalnya, harus terjatuh dari motor. Dan masih tertawa lepas. Saya melihat mereka menjangkau orang-orang itu sebagai sebuah keluarga. Mereka bersenda gurau dan bahkan saling bergurau sebagai anak angkat.

“Kalau besok Cappa, atau Melissa menikah, kasi tau e. Ansar juga. Kau semua anakku mi. Jadi kami sewa mobil ke Makassar,” kata Nenek Mari.

“Pokoknya, kami usahakan datang. Jangan sampai nda bilang-bilang itu.”

Melihat LBH bekerja, ibarat melihat kereta api berjalan bergandengan. Mereka bergerak bersama hingga sampai tujuan. Tak ada yang saling meninggalkan. Melaju lah terus teman-teman LBH. Bergerak lah bersama.

Selamat ulang tahun YLBHI yang ke 50 tahun (28 Oktober 1970). Selamat ulang tahun LBH Makassar yang ke 38 tahun (28 Oktober 1983).

 

0 comments:

Posting Komentar