Sabtu, Februari 19, 2022

Bagaimana selayaknya memperkarakan hasil penelitian. Perlukah mempidanakannya?

 

Malam pertengahan Februari 2022, pesan masuk dari seorang kawan, disertai dengan link berita. Komunitas masyarakat Rongkong melaporkan, Iriani, seorang peneliti dari Balai Nilai dan Pelestarian Budaya (BNPB) Sulawesi Selatan, karena dianggap menghina.  

Saya terhenyak. Sungguh benar-benar kaget. Lalu menghubungi beberapa kawan yang kemungkinan kenal dengan Iriani. Benar saja, saya mendapatkan akses jurnalnya secara utuh. Dan sebenarnya dapat diunduh. Saya membacanya dengan pelan dan hati-hati. Lalu menemukan paragraf yang menjadi pangkal masalah.
 
Saya kutipkan dengan utuh: “Secara tradisional orang Rongkong masuk dalam strata kaunang dan maradeka. Sehingga orang Rongkong tidak dapat menjadi datu atau raja, namun hanya sebagai prajurit perang Kedatuan Luwu pada masa lampau.”
 
Kalimat ini kemungkinan besar memang dapat melukai hati masyarakat Rongkong. Namun, apakah cukup dengan satu paragraf itu membuat Iriani harus dilaporkan ke polisi? Mari melihatnya;  penelitian itu diterbitkan, jurnal WALASUJI yang juga dikelolah oleh BNPB, pada Volume 7, No.1, Juni 2016. Judulnya, Mangaru Sebagai Senin Tradisi di Luwu.
 
Pada abstraknya, penelitian itu bertujuan untuk menjelaskan makna tari tradisi Mangaru di Luwu. Iriani menggunakan metode kualitatif, dengan wawancara, observasi, studi dokumentasi, dan studi kepustakaan.
 
Hasilnya, bahwa Mangaru, yang ditarikan oleh masyarakat Rongkong menggambarkan keperkasaan pasukan prajurit kerajaan masa lalu. Tarian ini juga menggambarkan bagaimana hubungan antara kerajaan dan masyarakat Rongkong. Dan tarian itu mengandung makna dan nilai-nilai dari masyarakat Rongkong. Selebihnya, penelitian itu mengulas bagaimana tata cara tari itu digelar. Apa saja perlengkapannya, kostum, musik, hingga cara melaksanakannya.  
 
Lalu paragraf yang dilaporkan ke polisi itu, berada dalam subjudul Stratifikasi Sosial, halaman 113. Pada laman ini, ada tujuh paragraf, yang menjelaskan soal stratifikasi kelas di Luwu. Dimana lapisan atas bergelar Opu. Lapisan menengah yakni Daeng. Dan lapisan bawah adalah To Maradeka dan Kaunang.  
 
Iriani dalam sub penjelasan itu mengutip satu narasumber, yakni Andi Sanad Kaddi Raja, pada 22 Februari 2011. Dan kemudian mengutip Chabot (1984:196) tentang pembagian kelas sosial. Belakangan Kaddi Raja membantah telah mengeluarkan pernyataan itu.
 
Jika Iriani memiliki rekaman wawancara, maka itu bisa membuatnya selamat. Namun, jika tidak, ini akan membuatnya menjadi semakin rumit. Tapi apakah dia memiliki catatan saat wawancara dengan Kaddi Raja, itu juga bisa membantunya.
 
Terlepas dari keliru, ataupun lemahnya penelitian itu – jika memang demikian – seharusnya tidak disikapi lewat ranah pidana. Dan membawanya ke polisi bagi saya adalah prseden buruk dalam dunia literasi Indonesia. 
 
Surat pada 25 November 2021, BNP membuat surat perihal Permohonan Maaf atas Publikasi Walasuji, dan menyatakan empat poin:
 
1. Menarik seluruh publikasi jurnal Walasuji volume 7 No.1, Juni 2016 khususnya artikel berjudul "Mangaru Sebagai Seni Tradisional di Luwu" dan mengajukan permohonan maaf secara terbuka. 
2. Melakukan revisi artikel "Mangaru Sebagai Seni Tradisional di Luwu" sesuai dengan kaidah ilmiah dan melalui pemeriksaan pakar budaya dan sejarah masyarakat Rongkong.
3. Membuka ruang diskusi secara terbuka yang bertujuan meluruskan informasi tentang adat Rongkong dan disiarkan di seluruh kanal media sosial BNPB Sulawesi Selatan. 
4. Mendorong program-program pengkajian lebih lanjut terutama terkait nilai-nilai budaya masyarakat Rongkong. 
 
Dan apakah BNPB telah melaksanakan isi surat itu? Tak jelas, tapi artikel itu sampai sekarang masih bisa ditemukan di kanal lembaga, tanpa perbaikan
    
Namun perihal stratifikasi sosial masa lalu, Leonard Andaya, The Herritage of Arung Palakka yang kemudian diterbitkan Inninawa menjadi Warisan Arung Palakka, pada Bab IV mengenai Perjanjian, juga menggambarkan bagaimana sistem sosial dalam masyarakat. “Kadang-kadang pakaian yang pantas bagi keturunan terhormat (todeceng) diberikan sebagai tanda kesukaan,” tulisnya.
 
Pada kalimat selanjutnya, Andaya mengutip Noorduyn (1955:238), jika Gilireng yang sekarang masuk dalam kabupaten Wajo, pada masa lalu statusnya bagi Kerajaan adalah budak (ata). Tapi, “ketika penguasa Gilireng mengorbankan hidup untuk atasannya, penguasa Wajo, dia mengangkat Gilireng dari status budak menjadi anak bagi Wajo.”
 
Bagaimana penjelasan kelas sosial ini, Andaya, melanjutkan, jika di dasar pada hirarki hubungan antar negara adalah hubungan antara tuan (puang) dan budak (ata’). Kerajaan bawahan yang berperang melawan kerajaan atasannya dan berhasil dikalahkan akan kehilangan status terdahulunya dan terperosok ke posisi budak.
 
Saya kira, hasil-hasil penelitian sejarah semacam itu akan menjadi sangat penting dalam memahami kerangka sosial politik di setiap wilayah pada masa lalu. Bahwa, para budak dapat saja menjadi tuan.
 
Namun Iriani, dalam penelitian ini tak menjelaskan, bagaimana tari Mangaru dan apakah memiliki hubungan dengan penjelasan mengenai strata sosial. Apakah tarian ini bagian dari strategi memasuki istana? Atau tari ini telah ada jauh sebelum kebesaran kerajaan Luwu?
 
Tapi apapun itu, melaporkan penelitian ke polisi bagi saya adalah sikap tergesa-gesa? Bukan tidak mungkin mendatangi kantor tempat Iriani bekerja dan meminta penjelasan. Tapi, Dan jika Iriani dinyatakan bersalah kemudian ditahan apakah itu akan mengubah keadaan? Saya kira, dalam rilis komunitas masyarakat Rongkong, selain akan melakukan aksi demonstrasi. Mereka akan membantah “bias” itu.
 
“Melakukan penelitian untuk membantah karya ilmiah yang ditulis oleh Iriani khususnya kalimat yang menyebut “secara tradisional orang Rongkong masuk dalam strata kaunang dan maradeka.”
 
Dan jika masyarakat Rongkong, melakukan penelitian tandingan itu, kelak saya dengan sabar akan menanti. Bukan kah, itu adalah sebuah langkah yang paling elegan dalam dunia literasi. Dan kita akan disuguhkan debat terbuka, yang memiliki masing-masing sumber, serta metodelogi.
 
Sebab, kita berharap kepolisian tidak melanjutkan laporan itu. Sebab membincangkannya pada ranah pidana untuk sebuah hasil penelitian dalam publikasi ilmiah tidak lah etis. Sebab bila, kepolisian menggunakan Undang Undang ITE. Sebab hal itu akan membuat banyak orang berdiri bersama Iriani.

0 comments:

Posting Komentar