Senin, Mei 02, 2022

Mudik, Idul Firti pada 2 Mei 2022

Makan Kapurung bersama keluarga di halaman rumah. Foto: Asti

Kenapa mudik menjadi sesuatu yang mengagumkan. Selalu seumur hidup, akan selalu dilakukan oleh  jutaan orang. Bukan soal harga tiket bus, pesawat, dan kapal laut yang naik. Tak peduli pula bahan bakar kendaraan yang ikut mahal. Ini soal berkumpul dan bersama dengan keluarga. 
 
Kampung begitu selalu dianggap sebagai tujuan mudik. Iya adalah kehangatan yang menyenangkan. Ada keluarga, tetangga, dan sepupu. Kampung adalah masa kecil yang terus tersimpan rapi dalam ingatan. Pada tanah, udara, kerikil, sungai, dan kisah-kisah yang akan terus bertahan, seperti hidup.
 
Pada 2 Mei 2022, di kampung saya Kombong, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu, sejak pukul 06.00 ratusan warga telah berjalan dengan pakaian salat dua rakaat untuk idul fitri. Mereka melewati rumah-rumah, dan saling berteriak untuk membuat penghuni lainnya, bersigap. Warga berjalan dengan penuh semangat. Manggandeng anak dan mengenalkannya pada semua keluarga.
 
Ber-idul fitri, adalah bersama. Di kampung saya, salat dilakukan di lapangan kecamatan. Orang-orang datang menggelar tikar, terpal plastik, hingga koran bekas, sebagai alas sajadah. Diantara setiap baris, sendal terususun berjejer pula.
 
Ketika salat dimulai, kami menghadap alas kaki orang di depan. Bersujud hampir menyentuh sendal. Biasanya salat akan dimulai pada pukul.07.30. Dua rakaat itu akan kelar sekitar 10 menit.
 
Namun persiapannya panjang. Sebelum salat, para perwakilan masjid dari setiap lingkungan kampung akan berdiri di mimbar dan mengumandangkan takbir. Jemaah akan mengikutinya. Setelah itu, baru kemudian mednengarkan kata sambutan Bupati Luwu, yang dibacakan kepala kecamatan.
 
Kali ini, di tengah matahari yang semakin tinggi, dan membuat punggung serasa terpanggang, saya berpikir mengenai sambutan itu. Sambutan yang entah siapa yang menuliskannya. Terasa sangat kering. Isi sambutan yang terulang setiap tahun, siapa pun bupatinya. Apakah pentingya sambutan itu?
 
Saya menimbang-nimbang dan berusaha mengikutinya dengan baik. Mencari pengetahuan baru di dalamnya, kepalanya saya bekerja keras. Sambutan itu, bilang kalau ini adalah hari kemenangan, hari dimana semua umat muslim bersuka ria, karena telah melalui puasa. Lalu diakhir sambutan, kepala kecamatan, kemudian membaca permintaan maaf pada semua masyarakat atas nama bupati, Basmin Mattayang dan keluarga.
 
Benarkah warga penting mendengar sambutan bupati dalam rangka idul fitri itu? Beberapa orang malah mengeluh. Mereka bilang, tidak tahu apa yang dibicarakan dalam kata sambutan itu.
 
Saya jadi berpikir, mungkin akan lebih menarik, setiap tahun sambutan bupati pada setiap perayaan idul fitri menjadi laporan pertanggung jawabannya. Berapa anggaran, dan apa saja yang telah dilakukannya dalam menjalankan pemerintahan di wilayahnya.
 
Tapi, apapun itu, saya kemudian menduga jika sambutan itu seperti halnya khutbah jumat, yang membaca buku lama. Dimana beragam perkembangan isu tidak menjadi landasan khutbah.
 
Pernah kalian berpikir, jika khutbah jumat dan sambutan bupati saat idul fitri itu sama saja dengan kalian mendengarnya puluhan tahun lalu sampai sekarang.
 
Jadi selepas salat idul fitri, di kampung kami juga mendegar ceramah dari orang yang ditunjuk pemerintah setempat sebagai ulama. Kali ini, ceramahnya sangat mengesankan kelirunya. Dia melontarkan kalimat seksis. Dia masih bilang jika perempuan yang akan mencium bau surga adalah mereka yang melayani suaminya dengan baik, untuk dapur, rumah, hingga kasur.
 
Anak saya berusia jelang tujuh tahun, melihat saya dengan baik. Dia hendak bertanya, tapi kusanggah dengan cepat. Bahwa yang dibicarakannya keliru. Semua orang punya cara beribadah sendiri, punya cara mensyukuri kenikmatannya sendiri sebagai manusia. Bukan soal layan melayani.
 
Jelang pukul 08.30, prosesi salat idul fitri selesai. Ratusan warga meninggalkan lapangan. Mereka berdiri, dan saling mengulurkan tangan saling bermaafan. Mereka saling memeluk dan saling mengenalkan diri pada orang yang lebih tua.
 
Berjalan keluar lapangan pun, dengan pelan. Sebab semua saling mengenal. Warga yang dilalui rumahnya akan meminta setiap orang untuk singgah dan mencoba makanan lebaran. Ada kue kering, ada kari ayam, ada sirup dingin, ada kopi, ada kisah.
 
Setelah itu, berbondong-bondong warga menuju kuburan umum. Di sana, orang-orang berziarah dan memberikan doa pada mendiang keluarga yang meninggal. Anak saya, yang ikut dengan antusias membaca semua nama di nisan.
 
Dia ingin mengenal siapa nenek moyangnya. Saya memperlihatkannya nama Nenek dan kakek. Lalu memperlihatkannya kuburan orang tua nenek saya, lalu saudaranya, dan keluarga lainnya.
 
Dia tak puas, dia ingin tahu siapa nama nenek-nya nenek moyangnya. Dan bagaimana kuburnya. Keluarga lain yang mendengar ikut tertawa dan menjawabnya jika itu susah. Sebab tradisi kami menguburkan jenasah dengan nama, hanya ada beberapa puluh tahun belakangan. Sebelumnya, orang tua kami hanya menandainya dengan nisan batu dan menurunkan kisah, jika itu adalah keluarganya.
 
Generasi selanjutnya kemudian banyak lupa. Ini tentu saja berbeda, dengan tradisi masyarakat Toraja, dimana jenasah dan kerangka leluhurnya terjaga dengan baik. Pun dilakukan ritual ma’nene – ritual membuka liang kuburan untuk mengenang kembali leluhur.
 
Ini lah mudik bagi saya. Dia membawa saya kembali terhubung dengan kampung dan leluhur. Dia menjelaskan mengapa kami para anak keturunan berada dalam dunia ini. Kami hidup dengan menekuni ilmu pengetahuan dan terus menjaga keterhubungan itu.
 
Saya pun masih mencintai kisah mistis di kampung. Jalanan yang punya hantu, agar pelan-pelan saat melajukan kendaraan. Atau pohon yang punya penjaga mahluk halus, agar benar-benar menghargai setiap yang hidup.
 
Kampung juga memberi saya pengetahuan akan perubahaan bentang alam. Sungai yang dikeruk menjadi lebih buruk. Pangan yang terus menerus dipenuhi pestisida. Hingga bagaimana anak muda semakin jauh dari pekerjaan dengan tanah.
 
Saya sendiri adalah generasi yang tak mampu mengolah tanah. Tangan saya tak piawai mengayunkan parang untuk menebas rumput. Punggung saya tak kuat membawa beban. Atau kulit saya menjadi begitu rapuh ketika digigit nyamuk dan daun yang punya efek gatal.
 
Padahal saat saya kecil, saya merasa daun dan rumput yang gatal untuk saat ini bukanlah sebuah masalah. Saya bisa berlari tanpa menggunakan sandal, kini tak kuat lagi. Ini lah yang menjadikan mudik menjadi begitu mengesankan. Memberi pengetahun yang jauh lebih dalam, mengenai kekurangan-kekurangan saya.

0 comments:

Posting Komentar